DAN PEMBENTUKAN PERDA SERTA PENGATURANNYA
Teguh Imam Sationo
Abstract : The locale legislation program (the
planning of legislation enactment) is an important part in locale legislation
enactment. This program will be a guide for locale government and local
representative to make a priority scale of locale legislation enactment. Other
wise there are judicially problem in this program because there are no clarity
about position and mechanism of program’s arrangement and management.
Kata Kunci : Legislasi, Peraturan,
Daerah.
Keputusan politik untuk memberikan otonomi yang lebih luas
kepada daerah telah memberikan perubahan
yang signifikan terhadap sistem pemerintahan Indonesia pada umunya dan
khususnya Pemerintahan Daerah. Dengan
diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian
disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004, telah memberikan kewenangan yang
luas kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga
praktek sentralisasi pemerintahan yang
telah berjalan bertahun-tahun berubah
kearah
desentralisasi. Desentralisasi dalam teori
dan prakteknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat
daerah didalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama terhadap
kepentingan masyarakat daerah (Nasution, 2002). Lebih kanjut menurut Wirjosoegito (2004) tujuan pemberian otonomi
daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah,
memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan keratifitas masyarkat.
Dalam
rangka menjalankan otonomi daerah,
diperlukan kerangka hukum yang melandasinya. Sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, bahwa ”Perda
dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota
dan tugas pembantuan, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas
masing-masing daerah”.
Program pembangunan peraturan perundang-undangan daerah perlu
menjadi prioritas karena perubahan terhadap Undang-Undang tentang pemerintahan daerah dan berbagai
peraturan perundangan lainnya serta
dinamika masyarakat dan pembangunan daerah menuntut pula adanya penataan
sistem hukum dan kerangka hukum yang melandasinya. Peningkatan
peran Peraturan Daerah (Perda) sebagai
landasan pembangunan akan memberi jaminan bahwa agenda pembangunan berjalan dengan cara yang teratur, dapat
diramalkan akibat dari langkah-langkah yang diambil (predictability), yang didasarkan pada kepastian hukum
(rechtszekerheid),
kemanfaatan, dan keadilan (gerechtigheid). (Anonim, 2006) Dalam
konteks pemikiran tersebut maka adanya
perencanaan yang baik dalam pembentukan Perda menjadi kata kunci dalam menata sistem hukum dan peraturan perundang-undangan daerah
secara menyeluruh dan terpadu. Sehingga dengan demikian pembentukan Perda tidak terlepas dari akar visi pembangunan daerah, sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari visi pembangunan nasional yang menjunjung tinggi
prinsip-prinsip supremasi hukum. Oleh karena itu program pembentukan Perda
perlu didasarkan pada Progral Legislasi Daerah (Prolegda), yaitu instrumen
perencanaan program pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana,
terpadu dan sistematis.
Kendati demikian program pembetukan
Perda di berbagai daerah di Indonesia selama ini masih jarang sekali didasarkan
pada Prolegda. Akibatnya
Perda yang dihasilkan kurang terintegrasi dengan bidang-bidang pembambangunan
lainnya. Bahkan tidak jarang yang tumpang tindih dan bertentangan dengan peraturan yang labih tinggi, yang sering
diesebut sebagai ”Perda bermasalah”. Berkenaan dengan Perda bermasalah ini
secara nasional, berdasarkan data
Departemen Dalam Negeri, pada tahun 2005 dari sebanyak 6000 Perda yang
masuk Ke Depdagri untuk dievaluasi, 236
Perda dibatalkan (Kompas, 12 Maret 2006). Sedangkan dari data Departemen
Keuangan, kondisi per 21 November 2005, jumlah Perda pajak dan retribusi yang
diterbitkan di 30 Provinsi dan 370 kabuapten/kota sebanyak 13.520 buah, belum
terhitung Perda di luar pajak dan retribusi. Dari jumlah tersebut, 700
Perda dinilai departemen keuangan tidak
menunjang investasi, sehingga derekomendasikan untuk dibatalkan (Kompas, 20
Maret 2006). Dalam tahun 2006 Menteri Dalam Negeri menerbitkan sebanyak 117 Keputusan
tentang Pembatalan Perda.
Berkenaan dengan persoalan tersebut, UU No. 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Perautan Perundang-undangan mengamanatkan
pentingnya Prolegda dalam program pembentukan Perda. Kendati demikian masih
ditemui adanya beberapa permasalahan berkenaan dengan ini. Pertama, belum adanya kesadaran dari Pemerintah Daerah akan
pentingnya Prolegda dalam pembentukan Perda, Hal ini terbukti dari kenyataan
bahwa sangat jarang Pemerintah daerah yang telah memiliki Prolegda. Kedua, dari sisi yuridis sampai saat ini
belum ada kejelasan peraturan yang
mengatur tentang mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda, sehingga ada
keraguan daerah dalam menyusun Prolegda.
MAKNA DAN SUBSTANSI PROLEGDA
Dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 10 Tahun 2004 tetang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan ”Program Legislasi
Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis”.
Mengenai muatan dalam suatu Prolegda, baik UU
No. 10 Tahun 2004, maupun Peraturan
Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah
tidak penyebutkan secara jelas. Dari
pendapat Mahendara (2005) dalam Prolegda juga perlu memberikan gambaran
obyektif tentangkondisi umum mengenai permasalahan pembentukan peraturan
daerah. Beda
halnya dengan Prolegnas, dari penjelasan Pasal 15 UU No. 10 Tahun
2004, dapat diketahui bahwa Prolegnas
berisi skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.
Untuk maksud tersebut, maka dalam Prolegnas memuat program legislasi jangka
panjang, menengah, atau tahunan.
Berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka paling tidak
Prolegnas memuat, hal-hal sebagai berikut:
1.
memuat program pembentukan Undang-Undang
dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya.
2.
Pokok materi materi tersebut meliputi :
a. latar belakang dan tujuan penyusunan;
b. sasaran yang akan diwujudkan;
c. pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d. jangkauan dan arah
pengaturan.
Sedangkan gambaran
utuh substansi Prolegnas dapat dilihat dari sistematikan
Prolegnas tahun 2005-2009, yang disusun sebagai berikut:
1. Pendahuluan
2. Prinsip Dasar Pembentukan Undang-Undang
3. Maksud Dan Tujuan
4. Kondisi Obyektif
5.
Visi Dan Misi
6. Daftar Rancangan Undang-Undang Dan Skala
Prioritas
7.
Penutup
Kendati belum ada kejelasan tentang bentuk baku
Prolegda sehingga ditemui kesulitan dan keraguan untuk menetukan bentuk
prolegda secara pasti, namun Prolegda
sebagai sebuah dokumen perencanaan, maka bentuk dan isinya yang pasti
haruslah sesuai dengan bentuk dan isi suatu dokumen perencanaan. Bertitik tolak
dari paparan diatas, maka Pemerintah Daerah dalam penyusunan Prolegda mengenai
muatan materinya dapat berpedoman pada muatan materi dan sistematika Prolegnas
atau dengan modifikasi dan penyesuaian sepanjang tetap sesuai dengan
prinsip-prisnip dan kaedah perencaan.
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DAERAH DAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH
Perda menjadi salah satu alat dalam melakukan
transformasi sosial dan demokrasi, sebagai perwujudan masyarakat daerah yang
mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi dan
globalisasi saat ini serta terciptanya good
local governance sebagai bagian dari pembangunan yang berkesinambungan di
daerah. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk merumuskan Perda yang dapat menciptakan multiplier effect. Atas dasar itu maka pembentukan Perda harus
direncanakan sebaik-bainya. Melalui pembentukan Perda yang berencana,
aspiratatif dan berkualitas dalam bentuk Prolegda, maka dapat diharapkan Perda
akan menjadi penggerak utama bagi perubahan
mendasar yang diperlukan daerah (Djajaatmaja, 2006).
Secara normatif, dalam Pasal 1 angka 10
disebutkan, bahwa: ”Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses
pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari
perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan,
pengundangan, dan penyebarluasan”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
perencanaan merupakan tahap yang paling awal yang harus dilakukan dalam setiap
pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk juga Perda. Pentingnya perencanaan atau persiapan juga
telah disasdari sejak sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan (Ranggawidjaja, 1998)
Dalam bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan istilah perencanaan tersebut
diperkenalakan dengan istilah ”Program Legislasi”. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, program legislasi terdiri dari
Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda).
Dalam Pasal 1 angka 9 dan 10 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan, Program Legislasi
Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang
disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis. Sedangkan
Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program
pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan
sistematis.
Mengenai perlunya Prolegnas dan Prolegda tersebut
penjelasan Pasal 15 menyebutkan:
Agar dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana,
maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan
Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut
ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat
program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan.
Di samping
memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga
agar produk Peraturan Perandang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan
sistem hukum nasional.
Berdasarkan penjelasan tersebut, paling tidak terdapat empat alasan mengapa
pembentukan peraturan perundang-undangan daerah perlu didasarkan pada Prolegda,
yaitu:
a. agar pembentukan Perda berdasar pada skala prioritas sesuai dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat;
b. agar Perda sinkron secara vertikal dan
horisontal dengan Peraturan
Perundang-undangan lainnya;
c. agar pembentukan Perda terkoordinasi,
terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
d.
agar
produk Peraturan Perandang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem
hukum nasional.
Selain itu menurut Mahendra
(2005), terdapat beberapa alasan mengapa
Prolegda diperlukan dalam perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan
daerah, yaitu:
a. untuk memberikan gambaran obyektif tentang
kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan peraturan daerah;
b. untuk menentukan skala prioritas
penyusunan rancangan Perda untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek
sebagai pedoman bersama DPRD dan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda;
c. untuk menyelenggarakan sinergi antara
lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah;
d. untuk mempercepat proses pembentukan Perda
dengan menfokuskan kegiatan menyusun Raperda menurut sekala prioritas yang
ditetapkan;
e. menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan
Perda.
Sehubugan dengan urgensi
penyusunan Prolegda tersebut lebih lanjut Usman (2006) menyebutkan,
pertama, Prolegda diperlukan dalam
perencanaan pembangunan secara keseluruhan (makro perencanaan). Kedua, Prolegda
dapat mengurangi berbagai kelemahan
dalam penyusunan Perda yang ditemukan selama ini. Berkenaan makro perencanaan,
bahwa otonomi daerah memberikan kewenangan luas kepada daerah dalam penyelenggaraan pembangunan. Dalam pembangunan daerah yang dilaksanakan harus
memiliki kerangka hukum yang memberikan arah serta legalitas kegiatan
pembangunan yang dilakukan dalam bentuk Perda. Untuk memperoleh Perda yang berkualitas,
pembentukan perda perlu dilakukan secara terencana, sistematis dan partisipatif.
Pembentukan Perda merupakan bagian integral dalam pembangunan daerah
perlu menyesuaikan dengan kerangka perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan
daerah dilakukan secara terencana dan sistematis terdiri dari Rencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMD) dan Rencana Kerja Pemerintah
daerah (RKPD).
Mengenai berbagai kelemahan dalam penyusunan Perda yang
ditemukan selama ini adalah sebagai berikut:
a.
Penyusunan Raperda tanpa perencanaan yang jelas dan
sering kali tidak terkait dengan RPJM/Renstra SKPD;
b.
DPRD dan SKPD kesulitan untuk mengusulkan yang
sesungguhnya dibutuhkan karena tidak adanya acuan;
c.
Pengusulan Raperda oleh SKPD seringkali tanpa
melalui kajian yang mendalam karena tidak diagendakan dalam program/kegiatan
SKPD
d.
Kesulitan dalam proses penyusunan perda, misalnya
dalam penganggaran; evaluasi/pengkajian; penyusunan naskah akademik;
e.
Kurang mampu menjaring partisipasi dan mengakomodasi
kepentingan publik;
f.
Munculnya perda yang tumpang tindih (tidak sinkron);
g. Banyak memunculkan perda bermasalah.
Dengan adanya Prolegda maka berbagai kelemahan tersebut akan dapat
ditekan, sehingga proses pembentukan Perda lebih mudah dan tujuan untuk
menghasilkan Perda yang baik dapat lebih mudah diwujudkan.
Dari gambaran beberapa
pendapat di atas, terlihat betapa pentingnya makna Prolegda dalam program
pembentukan Perda. Penyusunan Prolegda tidak hanya untuk kepentingan
pembentukan Perda semata, tapi lebih luas lagi terkait dengan keseluruhan
program pembangunan daerah. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada alasan yang
kuat bagi Pemerintah Daerah untuk tidak melakukan penyusunan Prolegda.
PROSEPEK PENGATURANNYA MEKANISME
PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH
Berbeda
dengan Prolegnas yang telah terdapat pengaturan yang cukup memadai mengenai
substansi, prosedur penyusunan dan pengelolaannya, sebagaimana diatur dalam UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-udangan dan Peraturan
Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional, maka tidak demikianhalnya dengan Prolegda. Di dalam UU No.
10 Tahun 2004, materi tentang Prolegda hanya ditemukan dalam dua pasal, yaitu Pasal 1 tentang batasan
pengertian Prolegda, dan Pasal 15 ayat (2) mengenai keharusan perencanaan
penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
Kedua
pasal tersebut juga tidak mengamanatkan
tentang pengaturan lebih lanjut mengenai muatan, proses penyusunan dan
pengeloaan Prolegda. Berbeda dengan Prolegnas yang secara tegas mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (4) UU No. 10
Tahun 2004.
Sehubungan
dengan keadaan tersebut, terdapat dua kemungkinan. Pertama, pembentuk undang-undang menyerahkan
pengaturan tentang tatacara dan mekanisme penyusunan Prolegda kepada Pemerintah
Daerah. Kedua, pembentuk undang-undang menyerahkan pengaturan tentang tatacara
dan mekanisme penyusunan Prolegda ke
dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, sebagaimana telah diatur
sebelumnya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah.
Keputusan
Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004
tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah, dilihat dari sejarah lahirnya, Peraturan Menteri Dalam
Negeri ini lahir sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-udangan, sehingga secara substantif materi muatannya banyak
yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut. Dari sisi cakupan yang diatur,
Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut
hanya mengatur tentang perlunya disusun Prolegda dan tahapan
penyusunan Prolegda, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, bahwa Prolegda Provinsi disusun setiap tahun, yang
disusun sesuai kewenangan provinsi yang
meliputi :
a.
Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi;
b.
Rancangan
Keputusan Gubernur;
Pasal 3 menentukan prosedur penyusunan Prolegda, yaitu sebagai berikut:
1. Pimpinan unit kerja menyiapkan rencana
prolegda provinsi setiap
tahun sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan tugas dan
fungsi masing-masing unit kerja.
2. Pembahasan rencana prolegda dikoordinasikan oleh Biro Hukum Sekretariat
Provinsi.
3.
Hasil pembahasan prolegda diajukan oleh Biro Hukum Sekretariat Provinsi
kepada Gubernur.
4.
Prolegda Provinsi
ditetapkan oleh Gubernur.
Sedangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ditentukan
bahwa Prolegda Kabupaten/Kota disusun
setiap tahun, yang disusun sesuai kewenangan kabupaten/Kota yang meliputi:
a.
Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/Kota;
b.
Rancangan Keputusan Bupati/Walikota.
Prolegda Kabupaten/Kota disusun melalui tahapan:
1. Pimpinan unit kerja menyiapkan rencana
prolegda kabupaten/Kota setiap tahun sesuai kebutuhan penyelenggaraan
pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing unit kerja.
2. Pembahasan rencana prolegda
Kabupaten/Kota dikoordinasikan oleh
Bagian Hukum Sekretariat kabupaten/Kota.
3. Hasil pembahasan prolegda Kabupaten/Kota
diajukan oleh Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
4. Prolegda Kabupaten/Kota ditetapkan oleh
Bupati/Walikota.
Menyimak
materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri
No. 169 Tahun 2004, jika dibandingkan dengan UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah sudah tidak sesuai lagi. Karena di dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri tersebut masih menekankan
penyusunan Prolegda itu pada jajaran eksekutif saja. Padahal berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah Perda merupakan hasil persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dan
DPRD. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri
tersebut juga menyebutkan
Rancangan Keputusan Gubernur atau Bupati sebagai bagian dari Prolegda.
Padahal berdsarkan UU No. 10 Tahun 2004 Keputusan Gubernur atau Bupati bukan
merupakan bentuk peraturan perundang-undangan daerah. Sehingga dapat dikatakan
bahwa Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang
Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah ini sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan peraturan hukum positif sehingga tidak dapat lagi dipedomani.
Sehubungan dengan hal tersebut yang menjadi persoalan adalah, apakah acuan dalam penyusunan
Prolegda? Baik menyangkut
substansi maupun mekanismenya. Apakah ketentuan yang ada dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden
No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program
Legislasi Nasional secara analog dapat dijadikan acuan? Atau perlu diatur
terlebih dahulu dalam Perda atau Peraturan Kepala Daerah?
Menyikapi
permasalahan tersebut, pertama perlu ditegaskan bahwa seseuai dengan ketentuan
Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah
mendapat persetujuan bersama DPRD. Oleh karena itu dalam penyusunan Prolegda
juga perlu mendapat persetujuan bersama, yang berarti baik DPRD maupun
Pemerintah Daerah sama-sama menyusun rancangan Prolegda untuk kemudian
disepakati bersama.
Berkenaan
dengan penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD, menurut Djajaatmadja (2006),
Mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda di lingkungan DPRD perlu diatur
dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan berpedoman pada UU No. 10 Tahun 2004
dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan
Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Dengan asumsi bahwa penyusunan Prolegda
antara DPRD dengan Pemerintah Daerah dikoordinasi oleh DPRD melalui alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Alat kelengkapan DPRD
tersebut adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf e jo. Pasal
141 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 141
(1)
Rancangan
Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan
mengambil Contoh Peraturan Tatatertib DPRD Provinsi Jwa Timur, dalam Pasal 59
ayat (2) dinyatkan, bahwa kedudukan Panitia Legislasi adalah alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak
tetap. Berdasarkan Pasal 61 Peraturan Tatatertib tersebut, Penitia Legislasi
mempunayi tugas:
a. mengusulkan inisiatif DPRD dalam membuat
rancangan peraturan daerah;
b. meneliti dan mengevaluasi materi inisiatif DPRD dalam mengajukan
rancangan peraturan daerah;
c. usul inisiatif sebagaimana huruf a dengan
mengkoordinasikan pada pengusul, Komisi-Komisi dan atau masukan dari
Fraksi-Fraksi;
d. meneliti dan mengevaluasi peraturan daerah
yang sdang berlaku untuk dikaji efektifitasnya dan kesesuaiannya dengan
undang-undang yang berlaku dan atau permintaan dari Komisi-Komisi;
e. menguji dan meneliti kelayakan rancangan
peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah sebelum memasuki
pembahasan oleh Komisi-Komisi dan oleh Panitia Khusus;
f. melakukan penyelarasan akhir sebelum
memasuki paripurna pandangan akhir Fraksi-Fraksi dan penetapan;
g. menyampaikan rekomendasi dari hasil
pelaksanaan tugas kepada Pimpinan Dewan.
Selanjutnya dinyatakan pula,
bahwa dalam melaksanakan tugasnya Panitia Legislasi dapat mengadakan koordinasi
dan konsultasi dengan pihak-pihak
terkait yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui pimpinan DPRD,
mengadakan rapat kerja, dengar pendapat dan seminar-seminar, serta dapat meminta tegaga ahli/pakar.
Persoalannya
kemudian adalah ternyata tidak semua DPRD di Indonesia telah memiliki alat kelengkapan berupa
Panitia Legislasi. Misalnya DPRD Provinsi Jambi, berdasarkan Pasal 46 ayat (1)
peraturan tata tertibnya, menentukan:
Alat
kelengkapan DPRD terdiri dari:
a. Pimpinan;
b. Panitia musyawarah;
c. Komisi;
d. Badan kehormatan;
e. Panitia angaran; dan
f. Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Karena tidak terdapat panitia legislasi, maka
berdsarkan Pasal 52 fungsi legislasi diemban oleh komisi, yaitu komisi I.
Dengan demikian, maka terdapat perbedaan dalam
penanganan bidanng legislasi di dalam peraturan tata tertib DPRD di Indonesia. Ada yang menempatkannya pada alat kelengkapan DPRD panitia, yaitu panitia
legisalasi sebagaimana yang diikuti oleh DPRD Jawa TImur. Namun adapula tugas
legislasi diemban secara umum oleh komisi I sebagaiman Perturan Tata Tertib
DPRD Provinsi Jambi. Oleh karena itu di dalam penyusunan dan pengelolaan
Prolegda dimungkinkan pula dengan menggunakan pola-pola tersebut, sesuai dengan
situasi dan kondisi daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD
masing-masing.
Dengan menganalogikan dengan penyusunan Prolegnas
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka tata cara penyusunan Prolegda secara umum
sebaiknya diatur dalam Peraturan Kepala Daerah. Sedang mekanisme penyusuna prolegda di lingkungan
DPRD perlu diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan asumsi tersebut, mengacu pada Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005, penyusunan
Prolegda dilakukan melaui tahapan sebagai berikut:
1. Penyusnan Prolegda di lingkungan DPRD.
a. Panitia Legislasi/Komisi I/panitia yang menangani bidang legislasi, mengkoordinasikan penyusunan Prolegda;
b. Dalam mengkoordinasikan penyusunan Prolegda
dapat meminta atau memperoleh bahan dan/atau masukan dari masyarakat.
c.
Hasil penyusunan Prolegda di
lingkungan DPRD dikoordinasikan dengan
Pemerintah Daerah melalui Kepala Bagian/Kepala Biro Hukum dalam rangka
sinkronisasi dan harmonisasi Prolegda.
2.
Penyusnan
Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah.
a.
Kepala Biro/Bagian
Hukum meminta kepada SKPD lain perencanaan pembentukan Rancangan Perda di
lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan
tanggung jawabnya.
b.
Penyampaian perancanaan
pembentukan Rancangan disertai dengan
pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan
perundang-undangan lainnya;
c.
Dalam hal SKPD
telah menyusun Naskah Akademik Rancangan Perda, maka Naskah Akademik
tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan
Perda.
d.
Kepala Biro/Bagian
Hukum melakukan pengharmonisasian,
pembulatan, dan pementapan konsepsi Rancangan Perda yang diterima dengan SKPD
lain dan Pimpinan instansi terkait
lainnya.
e.
Upaya pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda diarahkan pada perwujudan keselarasan
konsepsi tersebut dengan kebijakan nasional dan Undang-Undang yang telah ada berikut segala peraturan
pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur
dalam Rancangan Perda tersebut.
f.
Upaya pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda dilaksanakan melalui forum
konsultasi yang dikoordinasikan oleh Kepala Biro/Bagian Hukum. Dalam hal
konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut disertai dengan naskah Akademik, maka
Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.
g.
Dalam forum konsultasi dapat pula diundang para ahli dari lingkungan
perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau
kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
h.
Konsepsi Rancangan Perda
yang telah memperoleh keharmonisasian, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, oleh
Kepala Biro/Bagian Hukum wajib
dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Kepala Daerah sebagai Prolegda
yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah sebelum dikoordinasikan dengan
DPRD.
i.
Dalam hal Kepala Daerah
memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas dan/atau
memberikan arahan terhadap konsepsi Rancangan Perda, Kepala Daerah menugaskan
Kepala Biro/Bagian Hukum untuk
mengkoordinasikan kembali konsepsi Rancangan Perda dengan SKPD lain dan Pimpinan instansi terkait lainnya dan hasilnya dilaporkan kepada Kepala Daerah.
j.
Hasil penyusunan Prolegda di
lingkungan Pemerintah Daerah Kepala Biro/Bagian Hukum dikoordinasikan dengan DPRD melalui Panitia Legislasi/Komisi I dalam
rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegda.
3. Penyusnan Prolegda di lingkungan DPRD.
a.
Hasil Penyusunan Prolegnas
di lingkungan DPRD dan Pemerintah Daerah dibahas bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya
dikoordinasikan oleh DPRD melalui Panitia Legislasi/Komisi I/panitia bidang legislasi.
b.
Kepala Biro/Bagian
Hukum mengkonsultasikan terlebih dahulu
masing-masing konsepsi Rancangan
Perda yang dihasilkan oleh DPRD kepada SKPD lain dan Pimpinan instansi terkait lainnya dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan,
dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda
termasuk kesiapan dalam pembentukan.
c.
Hasil penyusunan Prolegda di
lingkungan DPRD dan konsultasi dalam
rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda
dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Kepala Daerah sebelum dikoordinasikan
kembali dengan DPRD.
d.
Persetujuan Kepala
Daerah terhadap Prolegda yang disusun di
lingkungan DPRD diberitahukan secara
tertulis kepada dan sekaligus menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk mengkoordinasikan
kembali dengan DPRD.
e.
Prolegda yang disusun di
lingkungan DPRD dan Pemerintah yang
telah mamperoleh kesepakatan bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah,
dilaporkan pada Rapat Paripurna DPRD
untuk mendapatkan penetapan.
Secara
sederhana tentang mekanisme penyusunan Prolegda tersebut dapat diilustrasikan
dalam bentuk bagan sebagai berikut:
|
Dari
gambaran di atas, ada beberapa prinsip yang perlu ada dalam proses penyusunan
Prolegda, yaitu:
1. Keselarasan materi prolegda dengan perencanaan pembangunan daerah lainnya
serta keselarasan dengan kebijakan nasional dan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi;
2. Sinergis antar SKPD;
3. Partisipatif;
4. Keputusan bersama DPRD dan Pemerintah Daerah.
PENUTUP.
Dalam proses pembentukan
peraturan perundangan daerah, Prolegda memeiliki kedudukan yang sangat penting.
Karena dengan adanya Prolegda, maka dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan daerah terdapat acuan mengenai skala prioritas penyusunan rancangan Perda
untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek. Selain itu terdapat sinergi
antara lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah, dan dapat mempercepat proses pembentukan Perda dengan
menfokuskan kegiatan menyusun Raperda menurut sekala prioritas yang ditetapkan,
di samping terdapat sarana pengendali dalam kegiatan pembentukan Perda. Dengan adanya Prolegda juga dapat menekan berbagai masalah dalam
pemebentukan Perda seperti kesulitan
dalam proses penganggaran; evaluasi/pengkajian atau penyusunan naskah akademik,
dan munculnya perda yang tumpang tindih (tidak sinkron) dan memunculkan perda
bermasalah.
Sampai saat ini masih belum
terdapat peraturan perundang-undangan yang opersional untuk dapat dijadikan
acuan dalam penyusunan Prolegda. Karena Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan
Program Legislasi Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum
positif. Oleh karena itu segera direvisi. Untuk mengisi kekosongan hukum
sebaiknya Permerintah Daerah perlu berinisiatif untuk membentuk peraturan
tentang tatacara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam bentuk Perturan
Kepala Daerah dan Tata Tertib DPRD dengan bepedoman pada UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata
Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional,
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Naskah
Akadek Program Legisalasi Daerah Provinsi Jambi Tahun 2006-2011, Bappeda
Provinsi Jambi, Jambi.
Djajaatmaja, Bambang
Iriana, 2006. Peran Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Dalam Perencanaan Pembentukan Peratuan Perundang-undangan Daerah.
Dalam Jurnal Legislasi Indonesia,
Volume 3 No. 1 Maret 2006.
Mahendra, AA. Oka, 2006. mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 3
No. 1 Maret 2006.
Nasution, Faisal Akbar, 2002, Beberapa Pemikiran tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah),
dalam Majalah Hukum Volume 7 Nomo2 Agustus 2002. Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Ranggawidjaja, Rosjidi, 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Usman, 2006. Program Legislasi Daerah. Makalah disampaikan pada Bintek Penyusunan Produk
Hukum Daerah, diselenggarakan oleh Biro
Organisasi dan Hukum Pemerintah Provinsi Jambi, 27 Desember 2006.
Wirjosoegito, Soebono, 2004. Proses dan Perencanaan Peraturan Perundang-undangan. Ghalia
Indonesia, Jakarta.
Terimakasih atas Ulasan Ilmuahnya.. Smoga Supremasi Hukum sbg bagiann Integral dari Prinsip Good Governance bisa terwujud.. salut..!!
BalasHapus