Senin, 17 Juni 2013

PROGRAM LEGISLASI DAERAH DAN PEMBENTUKAN PERDA SERTA PENGATURANNYA



DAN PEMBENTUKAN PERDA SERTA PENGATURANNYA

Teguh Imam Sationo
Abstract :  The locale legislation program (the planning of legislation enactment) is an important part in locale legislation enactment. This program will be a guide for locale government and local representative to make a priority scale of locale legislation enactment. Other wise there are judicially problem in this program because there are no clarity about position and mechanism of program’s arrangement and management.

Kata Kunci : Legislasi,  Peraturan,  Daerah.


Keputusan politik  untuk memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah telah memberikan perubahan  yang signifikan terhadap sistem pemerintahan Indonesia pada umunya dan khususnya Pemerintahan Daerah.  Dengan diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian disempurnakan melalui UU No. 32 Tahun 2004, telah memberikan kewenangan yang luas kepada Pemerintah Daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri, sehingga praktek sentralisasi  pemerintahan yang telah berjalan bertahun-tahun berubah  kearah

desentralisasi. Desentralisasi dalam teori dan prakteknya lebih memberikan kebebasan dan kemandirian kepada masyarakat daerah didalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, terutama terhadap kepentingan masyarakat daerah (Nasution, 2002). Lebih kanjut menurut  Wirjosoegito (2004) tujuan pemberian otonomi daerah adalah untuk meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah, memberdayakan, menumbuhkan prakarsa dan keratifitas masyarkat.
Dalam rangka menjalankan otonomi daerah,  diperlukan kerangka hukum yang melandasinya. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, bahwa ”Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan, merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.
Program pembangunan  peraturan perundang-undangan daerah perlu menjadi prioritas karena perubahan terhadap Undang-Undang  tentang pemerintahan daerah dan berbagai peraturan perundangan lainnya serta  dinamika masyarakat dan pembangunan daerah menuntut pula adanya penataan sistem hukum dan kerangka hukum yang melandasinya.   Peningkatan peran  Peraturan Daerah (Perda) sebagai landasan pembangunan akan memberi jaminan bahwa agenda pembangunan  berjalan dengan cara yang teratur, dapat diramalkan akibat dari langkah-langkah yang diambil (predictability), yang didasarkan pada kepastian hukum (rechtszekerheid), kemanfaatan, dan keadilan (gerechtigheid). (Anonim, 2006) Dalam  konteks pemikiran tersebut maka adanya perencanaan yang baik dalam pembentukan Perda menjadi kata kunci dalam  menata sistem hukum  dan peraturan perundang-undangan daerah secara menyeluruh dan terpadu. Sehingga dengan demikian pembentukan Perda  tidak terlepas dari akar   visi pembangunan daerah, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari visi pembangunan nasional yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip supremasi hukum. Oleh karena itu program pembentukan Perda perlu didasarkan pada Progral Legislasi Daerah (Prolegda), yaitu instrumen perencanaan program pembentukan peraturan daerah yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis.
Kendati demikian program pembetukan Perda di berbagai daerah di Indonesia selama ini masih jarang sekali didasarkan pada Prolegda. Akibatnya Perda yang dihasilkan kurang terintegrasi dengan bidang-bidang pembambangunan lainnya. Bahkan tidak jarang yang tumpang tindih  dan bertentangan dengan  peraturan yang labih tinggi, yang sering diesebut sebagai ”Perda bermasalah”. Berkenaan dengan Perda bermasalah ini  secara nasional, berdasarkan data  Departemen Dalam Negeri, pada tahun 2005 dari sebanyak 6000 Perda yang masuk Ke Depdagri untuk dievaluasi,  236 Perda dibatalkan (Kompas, 12 Maret 2006). Sedangkan dari data Departemen Keuangan, kondisi per 21 November 2005, jumlah Perda pajak dan retribusi yang diterbitkan di 30 Provinsi dan 370 kabuapten/kota sebanyak 13.520 buah, belum terhitung Perda di luar pajak dan retribusi. Dari jumlah tersebut, 700 Perda   dinilai departemen keuangan tidak menunjang investasi, sehingga derekomendasikan untuk dibatalkan (Kompas, 20 Maret 2006). Dalam tahun 2006 Menteri Dalam Negeri menerbitkan sebanyak 117 Keputusan tentang Pembatalan Perda.
Berkenaan dengan persoalan tersebut, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Perautan Perundang-undangan mengamanatkan pentingnya Prolegda dalam program pembentukan Perda. Kendati demikian masih ditemui adanya beberapa permasalahan berkenaan dengan ini. Pertama, belum adanya kesadaran dari Pemerintah Daerah akan pentingnya Prolegda dalam pembentukan Perda, Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa sangat jarang Pemerintah daerah yang telah memiliki Prolegda. Kedua, dari sisi yuridis sampai saat ini belum ada kejelasan  peraturan yang mengatur tentang mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda, sehingga ada keraguan daerah  dalam menyusun Prolegda.
MAKNA DAN SUBSTANSI PROLEGDA
Dalam Pasal 1 angka 10 UU No. 10 Tahun 2004 tetang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ditentukan,  bahwa yang dimaksud dengan ”Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis”.
 Mengenai muatan dalam suatu Prolegda, baik UU No. 10 Tahun 2004, maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri   No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah tidak penyebutkan secara jelas.  Dari pendapat Mahendara (2005) dalam Prolegda juga perlu memberikan gambaran obyektif tentangkondisi umum mengenai permasalahan pembentukan peraturan daerah.  Beda halnya dengan Prolegnas,  dari  penjelasan Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004,  dapat diketahui bahwa Prolegnas berisi skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Prolegnas memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan.
Berdasarkan Pasal  4 dan Pasal 5 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka paling tidak Prolegnas memuat, hal-hal sebagai berikut:
1.      memuat program pembentukan Undang-Undang dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
2.      Pokok materi  materi tersebut  meliputi :
a.      latar belakang dan tujuan penyusunan;
b.      sasaran yang akan diwujudkan;
c.      pokok-pokok pikiran, lingkup atau obyek yang akan diatur; dan
d.       jangkauan dan arah pengaturan.
Sedangkan gambaran utuh  substansi  Prolegnas dapat dilihat dari sistematikan Prolegnas tahun 2005-2009, yang disusun sebagai berikut:
1.      Pendahuluan
2.      Prinsip Dasar Pembentukan Undang-Undang
3.      Maksud Dan Tujuan
4.      Kondisi Obyektif
5.      Visi Dan Misi
6.      Daftar Rancangan Undang-Undang Dan Skala Prioritas
7.      Penutup
Kendati belum ada kejelasan tentang bentuk baku Prolegda sehingga ditemui kesulitan dan keraguan untuk menetukan bentuk prolegda secara pasti, namun Prolegda  sebagai sebuah dokumen perencanaan, maka bentuk dan isinya yang pasti haruslah sesuai dengan bentuk dan isi suatu dokumen perencanaan. Bertitik tolak dari paparan diatas, maka Pemerintah Daerah dalam penyusunan Prolegda mengenai muatan materinya dapat berpedoman pada muatan materi dan sistematika Prolegnas atau dengan modifikasi dan penyesuaian sepanjang tetap sesuai dengan prinsip-prisnip dan kaedah perencaan.
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAERAH DAN   PROGRAM LEGISLASI DAERAH  
Perda menjadi salah satu alat dalam melakukan transformasi sosial dan demokrasi, sebagai perwujudan masyarakat daerah yang mampu menjawab perubahan yang cepat dan tantangan pada era otonomi dan globalisasi saat ini serta terciptanya good local governance sebagai bagian dari pembangunan yang berkesinambungan di daerah. Oleh karena itu diperlukan kemampuan untuk merumuskan Perda  yang dapat menciptakan multiplier effect. Atas dasar itu maka pembentukan Perda harus direncanakan sebaik-bainya. Melalui pembentukan Perda yang berencana, aspiratatif dan berkualitas dalam bentuk Prolegda, maka dapat diharapkan Perda akan menjadi penggerak utama bagi perubahan  mendasar yang diperlukan daerah (Djajaatmaja, 2006).
Secara normatif, dalam Pasal 1 angka 10 disebutkan, bahwa: ”Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan”. Berdasarkan pengertian tersebut, maka perencanaan merupakan tahap yang paling awal yang harus dilakukan dalam setiap pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk juga Perda.  Pentingnya perencanaan atau persiapan juga telah disasdari sejak sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Ranggawidjaja, 1998)
Dalam bidang pembentukan peraturan perundang-undangan istilah perencanaan tersebut  diperkenalakan dengan istilah ”Program Legislasi”. Berdasarkan Pasal 15 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, program legislasi terdiri dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Dalam Pasal 1 angka 9 dan 10 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan, Program Legislasi Nasional adalah instrumen perencanaan program pembentukan Undang-Undang yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.  Sedangkan  Program Legislasi Daerah adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah yang disusun secara berencana, terpadu, dan sistematis.
Mengenai perlunya Prolegnas dan Prolegda tersebut penjelasan Pasal 15 menyebutkan:
Agar dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat dilaksanakan, secara berencana, maka Pembentukan Peraturan Perundang-undangan perlu dilakukan berdasarkan Program Legislasi Nasional. Dalam Program Legislasi Nasional tersebut ditetapkan skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat. Untuk maksud tersebut, maka dalam Program Legislasi Nasional memuat program legislasi jangka panjang, menengah, atau tahunan.
Di samping memperhatikan hal di atas, Program Legislasi Daerah dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Perandang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Berdasarkan penjelasan tersebut, paling tidak terdapat empat alasan mengapa pembentukan peraturan perundang-undangan daerah perlu didasarkan pada Prolegda, yaitu:
a.       agar pembentukan Perda  berdasar pada skala prioritas sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat;
b.      agar Perda sinkron secara vertikal dan horisontal  dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
c.       agar pembentukan Perda terkoordinasi, terarah, dan terpadu yang disusun bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah.
d.      agar produk Peraturan Perandang-undangan daerah tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Selain itu menurut Mahendra (2005),  terdapat beberapa alasan mengapa Prolegda diperlukan dalam perencanaan pembentukan peraturan perundang-undangan daerah, yaitu:
a.       untuk memberikan gambaran obyektif tentang kondisi umum mengenai permasalahan pembentukan peraturan daerah;
b.      untuk menentukan skala prioritas penyusunan rancangan Perda untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek sebagai pedoman bersama DPRD dan Pemerintah Daerah dalam pembentukan Perda;
c.       untuk menyelenggarakan sinergi antara lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah;
d.      untuk mempercepat proses pembentukan Perda dengan menfokuskan kegiatan menyusun Raperda menurut sekala prioritas yang ditetapkan;
e.        menjadi sarana pengendali kegiatan pembentukan Perda.
Sehubugan dengan urgensi penyusunan Prolegda tersebut lebih lanjut Usman (2006) menyebutkan, pertama,  Prolegda diperlukan dalam perencanaan pembangunan secara keseluruhan (makro perencanaan). Kedua, Prolegda dapat mengurangi berbagai  kelemahan dalam penyusunan Perda yang ditemukan selama ini. Berkenaan makro perencanaan, bahwa otonomi daerah memberikan kewenangan luas kepada daerah dalam penyelenggaraan  pembangunan. Dalam   pembangunan daerah yang dilaksanakan harus memiliki kerangka hukum yang memberikan arah serta legalitas kegiatan pembangunan yang dilakukan dalam bentuk Perda. Untuk memperoleh Perda yang berkualitas, pembentukan perda perlu dilakukan secara terencana, sistematis dan partisipatif. Pembentukan Perda merupakan bagian integral dalam pembangunan daerah perlu menyesuaikan dengan kerangka perencanaan pembangunan daerah. Pembangunan daerah dilakukan secara terencana dan sistematis terdiri dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD)  dan Rencana Kerja Pemerintah daerah (RKPD).
Mengenai berbagai  kelemahan dalam penyusunan Perda yang ditemukan selama ini adalah sebagai berikut:
a.       Penyusunan Raperda tanpa perencanaan yang jelas dan sering kali tidak terkait dengan RPJM/Renstra SKPD;
b.      DPRD dan SKPD kesulitan untuk mengusulkan yang sesungguhnya dibutuhkan karena tidak adanya acuan;
c.       Pengusulan Raperda oleh SKPD seringkali tanpa melalui kajian yang mendalam karena tidak diagendakan dalam program/kegiatan SKPD
d.      Kesulitan dalam proses penyusunan perda, misalnya dalam penganggaran; evaluasi/pengkajian; penyusunan naskah akademik;
e.       Kurang mampu menjaring partisipasi dan mengakomodasi kepentingan publik;
f.       Munculnya perda yang tumpang tindih (tidak sinkron);
g.      Banyak memunculkan perda bermasalah.
Dengan adanya Prolegda maka berbagai kelemahan tersebut akan dapat ditekan, sehingga proses pembentukan Perda lebih mudah dan tujuan untuk menghasilkan Perda yang baik dapat lebih mudah diwujudkan.
Dari gambaran beberapa pendapat di atas, terlihat betapa pentingnya makna Prolegda dalam program pembentukan Perda. Penyusunan Prolegda tidak hanya untuk kepentingan pembentukan Perda semata, tapi lebih luas lagi terkait dengan keseluruhan program pembangunan daerah. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada alasan yang kuat bagi Pemerintah Daerah untuk tidak melakukan penyusunan  Prolegda.
PROSEPEK PENGATURANNYA MEKANISME PENYUSUNAN PROGRAM LEGISLASI DAERAH
Berbeda dengan Prolegnas yang telah terdapat pengaturan yang cukup memadai mengenai substansi, prosedur penyusunan dan pengelolaannya, sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-udangan dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka tidak demikianhalnya dengan Prolegda. Di dalam UU No. 10 Tahun 2004, materi tentang Prolegda hanya ditemukan dalam  dua pasal, yaitu Pasal 1 tentang batasan pengertian Prolegda, dan Pasal 15 ayat (2) mengenai keharusan perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah.
Kedua pasal tersebut juga  tidak mengamanatkan tentang pengaturan lebih lanjut mengenai muatan, proses penyusunan dan pengeloaan  Prolegda.  Berbeda dengan Prolegnas yang secara  tegas mengamanatkan untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2004.
Sehubungan dengan keadaan tersebut, terdapat dua kemungkinan. Pertama,  pembentuk undang-undang menyerahkan pengaturan tentang tatacara dan mekanisme penyusunan Prolegda kepada Pemerintah Daerah. Kedua, pembentuk undang-undang menyerahkan pengaturan tentang tatacara dan mekanisme penyusunan Prolegda   ke dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, sebagaimana telah diatur sebelumnya dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah.
Keputusan Menteri Dalam Negeri   No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah, dilihat dari  sejarah lahirnya, Peraturan Menteri Dalam Negeri ini lahir sebelum lahirnya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-udangan, sehingga secara substantif materi muatannya banyak yang tidak sesuai dengan undang-undang tersebut. Dari sisi cakupan yang diatur, Peraturan Menteri Dalam Negeri  tersebut hanya mengatur  tentang  perlunya disusun Prolegda dan tahapan penyusunan Prolegda, yaitu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2, bahwa   Prolegda Provinsi disusun setiap tahun, yang disusun  sesuai kewenangan provinsi yang meliputi :
a.       Rancangan Peraturan Daerah Provinsi;
b.      Rancangan Keputusan Gubernur;

Pasal 3 menentukan prosedur penyusunan Prolegda, yaitu sebagai berikut:

1.      Pimpinan unit kerja menyiapkan rencana prolegda provinsi setiap tahun sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing unit kerja.
2.      Pembahasan rencana prolegda   dikoordinasikan oleh Biro Hukum Sekretariat Provinsi.
3.      Hasil pembahasan prolegda  diajukan oleh Biro Hukum Sekretariat Provinsi kepada Gubernur.
4.      Prolegda Provinsi  ditetapkan oleh Gubernur.
Sedangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ditentukan bahwa Prolegda  Kabupaten/Kota disusun setiap tahun, yang  disusun sesuai   kewenangan kabupaten/Kota yang meliputi:
a.       Rancangan Peraturan Daerah kabupaten/Kota;
b.      Rancangan Keputusan Bupati/Walikota.
Prolegda  Kabupaten/Kota disusun melalui tahapan:
1.      Pimpinan unit kerja menyiapkan rencana prolegda kabupaten/Kota setiap tahun sesuai kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan tugas dan fungsi masing-masing unit kerja.
2.      Pembahasan rencana prolegda Kabupaten/Kota  dikoordinasikan oleh Bagian Hukum Sekretariat kabupaten/Kota.
3.      Hasil pembahasan prolegda Kabupaten/Kota diajukan oleh Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten/Kota kepada Bupati/Walikota.
4.      Prolegda Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
Menyimak materi muatan Keputusan Menteri Dalam Negeri   No. 169 Tahun 2004, jika dibandingkan dengan UU No. 10 Tahun 2004  dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak sesuai lagi. Karena di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri  tersebut masih menekankan penyusunan Prolegda itu pada jajaran eksekutif saja. Padahal berdasarkan  UU No. 10 Tahun 2004  dan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Perda merupakan hasil persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dan DPRD. Di dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri   tersebut juga menyebutkan  Rancangan Keputusan Gubernur atau Bupati sebagai bagian dari Prolegda. Padahal berdsarkan UU No. 10 Tahun 2004 Keputusan Gubernur atau Bupati bukan merupakan bentuk peraturan perundang-undangan daerah. Sehingga dapat dikatakan bahwa   Keputusan Menteri Dalam Negeri   No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan hukum positif sehingga tidak dapat lagi dipedomani.
Sehubungan dengan hal tersebut yang  menjadi persoalan adalah,   apakah acuan dalam  penyusunan  Prolegda?   Baik menyangkut substansi  maupun mekanismenya. Apakah ketentuan yang ada dalam  UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional secara analog dapat dijadikan acuan? Atau perlu diatur terlebih dahulu dalam Perda atau Peraturan Kepala Daerah?
Menyikapi permasalahan tersebut, pertama perlu ditegaskan bahwa seseuai dengan ketentuan Pasal 136 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,  Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD. Oleh karena itu dalam penyusunan Prolegda juga perlu mendapat persetujuan bersama, yang berarti baik DPRD maupun Pemerintah Daerah sama-sama menyusun rancangan Prolegda untuk kemudian disepakati bersama.
Berkenaan dengan penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD, menurut Djajaatmadja (2006), Mekanisme penyusunan dan pengelolaan Prolegda di lingkungan DPRD perlu diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD dengan berpedoman pada UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional. Dengan asumsi bahwa penyusunan Prolegda antara DPRD dengan Pemerintah Daerah dikoordinasi oleh DPRD melalui alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. Alat kelengkapan DPRD tersebut adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf e jo. Pasal 141 ayat (1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 141
(1)  Rancangan Perda disampaikan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan mengambil Contoh Peraturan Tatatertib DPRD Provinsi Jwa Timur, dalam Pasal 59 ayat (2) dinyatkan, bahwa kedudukan Panitia Legislasi adalah  alat kelengkapan DPRD yang bersifat tidak tetap. Berdasarkan Pasal 61 Peraturan Tatatertib tersebut, Penitia Legislasi mempunayi tugas:
a.       mengusulkan inisiatif DPRD dalam membuat rancangan peraturan daerah;
b.      meneliti dan mengevaluasi  materi inisiatif DPRD dalam mengajukan rancangan peraturan daerah;
c.       usul inisiatif sebagaimana huruf a dengan mengkoordinasikan pada pengusul, Komisi-Komisi dan atau masukan dari Fraksi-Fraksi;
d.      meneliti dan mengevaluasi peraturan daerah yang sdang berlaku untuk dikaji efektifitasnya dan kesesuaiannya dengan undang-undang yang berlaku dan atau permintaan dari Komisi-Komisi;
e.       menguji dan meneliti kelayakan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh pemerintah daerah sebelum memasuki pembahasan oleh Komisi-Komisi dan oleh Panitia Khusus;
f.       melakukan penyelarasan akhir sebelum memasuki paripurna pandangan akhir Fraksi-Fraksi dan penetapan;
g.      menyampaikan rekomendasi dari hasil pelaksanaan tugas kepada Pimpinan Dewan.
Selanjutnya dinyatakan pula, bahwa dalam melaksanakan tugasnya Panitia Legislasi dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi  dengan pihak-pihak terkait yang menyangkut ruang lingkup tugasnya melalui pimpinan DPRD, mengadakan rapat kerja, dengar pendapat dan seminar-seminar, serta dapat  meminta tegaga ahli/pakar.
Persoalannya kemudian adalah ternyata tidak semua DPRD di Indonesia  telah memiliki alat kelengkapan berupa Panitia Legislasi. Misalnya DPRD Provinsi Jambi, berdasarkan Pasal 46 ayat (1) peraturan tata tertibnya, menentukan:
Alat kelengkapan DPRD terdiri dari:
a.       Pimpinan;
b.      Panitia musyawarah;
c.       Komisi;
d.      Badan kehormatan;
e.       Panitia angaran; dan
f.       Alat kelengkapan lain yang diperlukan.
Karena  tidak terdapat panitia legislasi, maka berdsarkan Pasal 52 fungsi legislasi diemban oleh komisi, yaitu komisi I.
Dengan demikian, maka terdapat perbedaan dalam penanganan bidanng legislasi di dalam peraturan tata tertib DPRD di Indonesia. Ada yang menempatkannya pada  alat kelengkapan DPRD panitia, yaitu panitia legisalasi sebagaimana yang diikuti oleh DPRD Jawa TImur. Namun adapula tugas legislasi diemban secara umum oleh komisi I sebagaiman Perturan Tata Tertib DPRD Provinsi Jambi. Oleh karena itu di dalam penyusunan dan pengelolaan Prolegda dimungkinkan pula dengan menggunakan pola-pola tersebut, sesuai dengan situasi dan kondisi daerah sebagaimana diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing-masing.
Dengan menganalogikan dengan penyusunan Prolegnas sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional, maka tata cara penyusunan Prolegda secara umum sebaiknya diatur dalam Peraturan Kepala Daerah. Sedang mekanisme penyusuna prolegda di lingkungan DPRD perlu diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Dengan asumsi tersebut, mengacu pada Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005,  penyusunan Prolegda dilakukan melaui tahapan sebagai berikut:
1.      Penyusnan Prolegda di lingkungan DPRD.
a.      Panitia Legislasi/Komisi I/panitia yang menangani bidang legislasi,   mengkoordinasikan penyusunan Prolegda;
b.      Dalam mengkoordinasikan penyusunan Prolegda  dapat meminta atau memperoleh bahan dan/atau masukan dari   masyarakat.
c.        Hasil penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD  dikoordinasikan dengan Pemerintah Daerah melalui Kepala Bagian/Kepala Biro Hukum dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegda.
2.      Penyusnan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah.
a.      Kepala Biro/Bagian Hukum  meminta kepada SKPD lain  perencanaan pembentukan Rancangan Perda di lingkungan instansinya masing-masing sesuai dengan lingkup bidang tugas dan tanggung jawabnya.
b.      Penyampaian perancanaan pembentukan Rancangan   disertai dengan pokok materi yang akan diatur serta keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya;
c.       Dalam hal  SKPD  telah menyusun Naskah Akademik Rancangan Perda, maka Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian perencanaan pembentukan Rancangan Perda.
d.      Kepala Biro/Bagian Hukum  melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pementapan konsepsi Rancangan Perda yang diterima dengan SKPD lain dan Pimpinan instansi   terkait lainnya.
e.      Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda  diarahkan pada perwujudan keselarasan konsepsi tersebut dengan kebijakan nasional dan   Undang-Undang   yang telah ada berikut segala peraturan pelaksanaannya dan kebijakan lainnya yang terkait dengan bidang yang diatur dalam Rancangan  Perda tersebut.
f.       Upaya pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda dilaksanakan melalui forum konsultasi yang dikoordinasikan oleh Kepala Biro/Bagian Hukum. Dalam hal konsepsi Rancangan Undang-Undang tersebut disertai dengan naskah Akademik, maka Naskah Akademik dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi.
g.      Dalam forum konsultasi  dapat pula diundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik, profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
h.      Konsepsi Rancangan Perda yang telah memperoleh keharmonisasian, kebulatan, dan kemantapan konsepsi, oleh Kepala Biro/Bagian Hukum  wajib dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Kepala Daerah sebagai Prolegda yang disusun di lingkungan Pemerintah Daerah sebelum dikoordinasikan dengan DPRD.
i.        Dalam hal  Kepala Daerah  memandang perlu untuk mendapatkan kejelasan lebih lanjut atas dan/atau memberikan arahan terhadap konsepsi Rancangan Perda, Kepala Daerah menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum  untuk mengkoordinasikan kembali konsepsi Rancangan Perda dengan SKPD lain   dan Pimpinan instansi   terkait lainnya dan hasilnya   dilaporkan kepada Kepala Daerah.
j.         Hasil penyusunan Prolegda di lingkungan Pemerintah Daerah Kepala Biro/Bagian Hukum  dikoordinasikan dengan DPRD   melalui Panitia Legislasi/Komisi I dalam rangka sinkronisasi dan harmonisasi Prolegda.
3.       Penyusnan Prolegda di lingkungan DPRD.
a.      Hasil Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPRD dan Pemerintah Daerah dibahas bersama antara DPRD   dan Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya dikoordinasikan oleh DPRD melalui Panitia Legislasi/Komisi I/panitia bidang legislasi.
b.      Kepala Biro/Bagian Hukum  mengkonsultasikan terlebih dahulu masing-masing konsepsi  Rancangan Perda   yang dihasilkan oleh DPRD   kepada SKPD lain  dan Pimpinan instansi   terkait lainnya  dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda  termasuk kesiapan dalam pembentukan.
c.      Hasil penyusunan Prolegda di lingkungan DPRD  dan konsultasi dalam rangka pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Perda dimintakan persetujuan terlebih dahulu kepada Kepala Daerah sebelum dikoordinasikan kembali dengan DPRD. 
d.      Persetujuan Kepala Daerah  terhadap Prolegda yang disusun di lingkungan DPRD   diberitahukan secara tertulis kepada dan sekaligus menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk mengkoordinasikan kembali dengan DPRD.
e.      Prolegda yang disusun di lingkungan DPRD  dan Pemerintah yang telah mamperoleh kesepakatan bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah, dilaporkan pada Rapat Paripurna DPRD  untuk mendapatkan penetapan.
Secara sederhana tentang mekanisme penyusunan Prolegda tersebut dapat diilustrasikan dalam bentuk bagan sebagai berikut:






BAGAN ALUR PENYUSUNAN PROLEGDA
 
 
 















Dari gambaran di atas, ada beberapa prinsip yang perlu ada dalam proses penyusunan Prolegda, yaitu:
1.      Keselarasan materi prolegda  dengan perencanaan pembangunan daerah lainnya serta keselarasan dengan kebijakan nasional dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;


















2.      Sinergis antar SKPD;
3.      Partisipatif;
4.      Keputusan bersama  DPRD dan Pemerintah Daerah.
PENUTUP.
Dalam proses pembentukan peraturan perundangan daerah, Prolegda memeiliki kedudukan yang sangat penting. Karena dengan adanya Prolegda, maka dalam pembentukan peraturan perundang-undangan daerah terdapat acuan mengenai  skala prioritas penyusunan rancangan Perda untuk jangka panjang, menengah atau jangka pendek. Selain itu terdapat sinergi antara lembaga yang berwenang membentuk peraturan daerah, dan dapat  mempercepat proses pembentukan Perda dengan menfokuskan kegiatan menyusun Raperda menurut sekala prioritas yang ditetapkan, di samping terdapat sarana pengendali dalam kegiatan pembentukan Perda. Dengan  adanya Prolegda juga  dapat menekan berbagai masalah dalam pemebentukan Perda seperti kesulitan dalam proses penganggaran; evaluasi/pengkajian atau penyusunan naskah akademik, dan munculnya perda yang tumpang tindih (tidak sinkron) dan memunculkan perda bermasalah.
Sampai saat ini masih belum terdapat peraturan perundang-undangan yang opersional untuk dapat dijadikan acuan dalam penyusunan Prolegda. Karena Keputusan Menteri Dalam Negeri  No. 169 Tahun 2004 tentang Pedoman Penyusunan Program Legislasi Daerah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum positif. Oleh karena itu segera direvisi. Untuk mengisi kekosongan hukum sebaiknya Permerintah Daerah perlu berinisiatif untuk membentuk peraturan tentang tatacara penyusunan dan pengelolaan Prolegda dalam bentuk Perturan Kepala Daerah dan Tata Tertib DPRD dengan bepedoman pada UU No. 10 Tahun 2004 dan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional,  
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Naskah Akadek Program Legisalasi Daerah Provinsi Jambi Tahun 2006-2011, Bappeda Provinsi Jambi, Jambi.
Djajaatmaja, Bambang Iriana, 2006. Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Perencanaan Pembentukan Peratuan Perundang-undangan Daerah. Dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 3 No. 1 Maret 2006.
Mahendra, AA. Oka, 2006. mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah.  Dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 3 No. 1 Maret 2006.
Nasution, Faisal Akbar, 2002, Beberapa Pemikiran tentang Pemerintahan Daerah (Otonomi Daerah), dalam Majalah Hukum Volume 7 Nomo2 Agustus 2002. Fakultas Hukum Sumatera Utara.
Ranggawidjaja, Rosjidi, 1998. Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
Usman, 2006. Program Legislasi Daerah. Makalah disampaikan pada Bintek Penyusunan Produk Hukum Daerah,  diselenggarakan oleh Biro Organisasi dan Hukum Pemerintah Provinsi Jambi, 27 Desember 2006.
Wirjosoegito, Soebono, 2004. Proses dan Perencanaan Peraturan Perundang-undangan. Ghalia Indonesia, Jakarta.





1 komentar:

  1. Terimakasih atas Ulasan Ilmuahnya.. Smoga Supremasi Hukum sbg bagiann Integral dari Prinsip Good Governance bisa terwujud.. salut..!!

    BalasHapus