Selasa, 11 Juni 2013

Penentuan Batas Maritim (Maritime Delimitation) Menurut International Tribunal for The Law Of The Sea (ITLOS)


A.    Alasan Pemilihan Judul
Studi Hubungan Internasional pada dasarnya bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor-aktor baik negara maupun aktor non negara di dalam arena transaksi internasional.[1] Hubungan atau interaksi yang terjadi antar aktor dalam sistem internasional sangat beraneka ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan karakteristik hubungan diantara aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada dua pola umum, yaitu konflik dan kerjasama (Holsti, 1992:589).[2] Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak bertabrakan dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda. Konflik yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penentuan batas maritim yang terjadi antara Bangladesh dengan Myanmar yang diajukan ke forum Tribunal Internasional untuk Hukum Laut atau ITLOS pada tahun 2012 dan pengaruhnya terhadap konsep kedaulatan perbatasan Indonesia.
Isu batas maritim terangkat pada tingkat internasional melalui kasus sengketa batas maritim yang dibahas di forum Tribunal Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS – Internasional Tribunal for The Law of The Sea) pada bulan September sampai dengan Oktober 2011. Kasus ini diajukan oleh Myanmar berkenaan dengan batas laut Bangladesh di wilayah dan di sekitar wilayah teluk Benggala.
Berdasarkan kepada letak dan maritim dan letak kontinentalnya, maka Bangladesh termasuk ke dalam negara yang banyak pulaunya dan batas laut atau Multi Sea dan Peninsular Location , yang mana Bangladesh dikelilingi oleh 27 buah pulau kecil dengan Pulau Bangladesh yang terbesar, memiliki luas seluruhnya 618,1 km persegi diantaranya 570, 4 km persegi merupakan luas negara Bangladesh sendiri.
     Bangladesh dikelilingi oleh Pakistan di sebelah Barat, Laut Myanmar sebelah Timur, Bhutan di sebelah Utara, dan perairan Samudara Hindia di sebelah Selatan. Dalam hubungannya dengan negara tetangga yang berbatasan langsung di sekitarnya atau vicinal, maka Bangladesh bertetangga dengan Myanmar di sebelah Barat[3](T May Rudy, 1997: 111-112).
Reklamasi terbaru yang dilakukan di Pulau Tekong dan Tuas View, pulau terbesar Bangladesh, telah menimbulkan kemarahan Myanmar. Negara tetangga terdekat Bangladesh itu mencemaskan akses ke pelabuhan-pelabuhannya di kawasan selatan di Pasir Gudang dan Tanjung Pelepas bakal terganggu. Padahal kedua pelabuhan sangat prospektif dan akan menjadi saingan utama pelabuhan-pelabuhan Bangladesh.
Myanmar menuding batas lautnya itu telah dipersempit ole Myanmar, perairan antara Pangkalan Angkatan Laut Myanmar di Tanjung Pulau Tekong hingga 70 mil.Isu tersebut muncul saat Deputi PM Bangladesh berkunjung ke Yangoon. Ia meminta Myanmar mengirimkan surat keberatannya, tetapi menegaskan bahwa batas laut itu dilakukan sesuai hak Myanmar.
Dalam kaitan ini negara Bangladesh dalam pelaksanaan penentuan batas laut telah menggunakan sebagai dasar hukum laut (UNCLOS 1982) dan Resolusi Majelis Umum PBB 1803 (XVII) tanggal 14 Desember 1962, mengenai kedaulatan permanen atas sumber-sumber daya alam dan prinsip hak atas pembangunan (Permanent Sovereignity over Natural Resources).[4]
Sebaliknya, negara Myanmar telah menggunakan dasar hukum Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) khususnya pasal-pasal mengenai kerjasama antara negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup, perlindungan dan pelestarian lingkungan laut, itikad baik dan penyalahgunaan hak (pasal 123, 192, 194, 198, 200, 204, 205, 206, 210, dan 300 UNCLOS). Sedangkan bentuk-bentuk konkrit pelanggarannya adalah pelanggaran batas perairan nasional negara tetangga, pelanggaran hak negara atas sumber-sumber daya alam dalam batas-batas laut nasionalnya, pelanggaran hak-hak negara tetangga terhadap integritas lingkungan laut di wilayah perairan nasionalnya.
Berdasarkan masukan tersebut, ITLOS selaku salah satu treaty body PBB telah membuat penafsiran hukum baru berkenaan dengan aplikasi prinsip kedaulatan permanen dalam Resolusi MU PBB 1803 (XVII) tahun 1962, dengan mengkaitkan aplikasi resolusi dimaksud dengan ketentuan bab tersebut mengatur mengenai Protection and Preservation of the Marine Environment. Adapun pertimbangan hukum utama ITLOS adalah bahwa kewajiban negara-negara untuk bekerjasama merupakan prinsip mendasar dalam rangka pencegahan polusi lingkungan laut di bawah Bab XII Konvensi dan hukum internasional umum. Pertimbangan hukum lainnya adalah bahwa kedua negara yang bersengketa pada kenyataannya berbagi lingkungan laut yang sama dan berada di bawah mandat pasal 123 UNCLOS mengenai kerjasama antara negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup. Pasal ini diatur di bawah Bab IX mengenai laut territorial atau setengah tertutup.
B.    Latar Belakang Masalah
Studi Hubungan Internasional pada dasarnya bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor-aktor baik negara maupun aktor non negara di dalam arena transaksi internasional. Hubungan atau interaksi yang terjadi antar aktor dalam sistem internasional sangat beraneka ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan karakteristik hubungan di antara aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada dua pola umum, yaitu konflik dan kerjasama.  Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak bertabrakan dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda.
    Semakin bertambahnya entitas yang menjadi subjek dari hukum internasional juga menjadi salah satu faktor yang menjadikan hubungan antara entitas ini semakin kompleks. Dalam hubungan yang hampir tak berbatas inilah potensi konflik yang berujung pada sengketa memunculkan dirinya semakin intens. Menurut beberapa pakar hukum internasional, subjek dari persengketaan bermacam-macam, mulai dari sengketa mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. Oleh sebab itu diperlukan sebuah sistem penyeleselaian sengketa yang mampu mewadahi pertikaian subjek-subjek hukum internasional ini.
Penyelesaian sengketa secara harfiah disamakan dengan pertikaian. Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah kata yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaiman salah satu pihak dan memunculkan reaksi penolakan oleh pihak lainnya.  Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan, yang tidak secara ekslusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional.[5]
 Batas antar negara yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan. Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi. 
Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi.  Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan. Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).
Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus tersebut adalah International Tribunal Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman.
Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini cukup bagus. Untuk beberapa hal, ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ. Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih cepat.
Di sekitaran putusan ITLOS, sengketa batas maritim yang paling terkenal dan bahkan paling pertama ditangani oleh tribunal ini adalah sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar di sekitaran Teluk Benggala. Berbagai pertimbangan terkait dengan batas maritim sangat baik untuk dijadikan rujukan dalam mempelajari aspek-aspek penentuannya dalam rangka mendapatkan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam perlindungan wilayah laut Indonesia yang memiliki struktur yang sama dengan para pihak yang bersengketa ini, karena ITLOS merupakan satu-satunya tribunal yang memakai rujukan khusus dalam bidang hukum laut. Atas dasar pertimbangan ini maka penulis merasa perlu diadakan pemahaman yang lebih lanjut lewat sebuah penulisan tentang Aspek Penentuan Batas Maritim Menurut International Tribunal For The Law Of The Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut Indonesia dengan Studi Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala.[6]
Secara umum, ada tiga unsur yang termasuk dalam wilayah negara yaitu unsur daratan, perairan/lautan, dan ruang udara. Masing – masing unsur ini mempunyai keterkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan negara. Terhadap wilayah daratan, negara mempunyai atau melaksanakan kedaulatan mutlak. Dalam konteks ini, secara ekstrim negara dapat menutup secara sepihak wilayah negaranya terhadap negara di sekitarnya. Sementara terhadap wilayah ruang udara dan perairan / kelautan, kewenangan negara dalam melaksanakan kedaulatannya harus mempertimbangkan kepentingan negara lain (kewenangan minus). Dengan demikian, ketentuan hukum internasional yang berkaitan dengan wilayah negara diatur dalam perangkat hukum yang berbeda pula. Namun karena sengketa ini oleh ICJ ini harus menunggu daftra tunggu kasus-kasus yang ditanganinya maka kedua belah pihak akhirnya memilih ITLOS (Internasional Tribunal for The Law of The Sea) sebagai lembaga internasional yang akan menyelesaikan kasus penentuan batas laut kedua negara tersebut.
C.    Rumusan Masalah
1.    Apakah yang menjadi aspek penentuan batas maritim menurut International Tribunal For The Law Of The Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut dalam Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala ?
2.    Mengapa Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala tidak dilakukan  oleh  ICJ (International Court of Justice) ?
D.    Kerangka Pemikiran
Setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konlik dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute). Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara. Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengekta internasional dapat menyangkut banyak hal. Menyangkut substansi sengketa itu, beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik (political dispute).[7] Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakteristik sengketa hukum adalah sebagai berikut:
1.    Mampu diselesaikan oleh penerapan prinsip-prinsip tertentu dan aturan-aturan hukum internasional.
2.    Pengaruh kepentingan vital negara seperti integritas teritorial.
3.    Pelaksanaan hukum internasional yang ada cukup untuk meningkatkan keputusan keadilan dan dukungan untuk hubungan internasional yang progresif.
4.    Sengketa terkait dengan hak hukum dengan klaim untuk mengubah aturan yang ada.
Selanjutnya pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai berikut[8]:
1.    Interpretasi perjanjian.
2.    Persoalan mengenai hukum internasional.
3.    Adanya fakta apapun yang jika didirikan akan merupakan pelanggaran kewajiban internasional.
4.    Sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk pelanggaran kewajiban internasional.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Hubungan Internasional adalah[9]:
1.     Secara Damai
a.       Jalur Politik
1)     Negosiasi
Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa internasional mereka. Dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral, formal maupun informal dan tidak ada kewajiban untuk memilih prosedur ini dulu baru bisa menggunakan cara-cara lain.
2) Jasa Baik (Good Offices)
Keterlibatan pihak ketiga dalam good offices tidak lebih dari mengupayakan pertemuan pihak-pihak bersengkata untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri. Pihak ketiga ini sering juga disebut saluran tambahan komunikasi.
3) Mediasi
Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah lebih besar. Dalam mediasi mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak bersengketa, memiliki kewenangan tertentu juga mendistribusikan proposal masing-masing pihak bersengketa.


4)       Pencari Fakta (fact finding/Inquiry)
Fungsi dari Inquiry adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus-menerus sampaiu fakta yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.
5) Konsiliasi (Conciliation)
a)    Penyelesaian Melalui PBB
b)    Penyelesaian Melalui Organisasi Regional
b.     Jalur Hukum
1)     Jalur Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut hukum Internasional adalah prosedur untuk penyelesaian sengketa antara negara-negara dengan penghargaan yang mengikat berdasarkan hukum. Sebagaimana halnya penyelesaian sengketa secara damai yang lain, prinsip sukarela juga mendasari penyelesaian sengketa melalui lembaga ini.
2)       Pengadilan Internasional
Pengadilan Internasional antara lain Internatinal Court of Justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice (PCIJ), Internatinal Tribunal for the Law of the Sea, berbagai  Ad Hoc Tribunal, juga Internatinal Criminal Court (ICC). Namun ICJ sering dianggap sebagai cara utama penyelesaian sengketa hukum antar negara.[10]
2.     Jalur Kekerasan
a.     Retorsi
Retorsi yaitu tindakan tidak bersahabat yang dilakukan oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah lebih dahulu melakukan tindakan yang tidak bersahabat dan ikan tindakan yang sah dimaksudkan untuk merugikan negara yang telah melakukan pelanggaran.


b.    Reprisal
Reprisal yaitu sebagai upaya paksa oleh suatu negara terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal atau tidak dibenarkan.
c.    Blokade Damai (Pacific Blocade)
Blokade damai dilakukan untuk memaksa negara yang diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang diderita negara yang memblokade.
d.    Embargo
Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang dikenaii embargo.
e.    Perang
Perang bertujuan untuk menaklukan negara lawan sehingga negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang.[11]


E.    Argumen Pokok
Untuk menentukan kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya untuk setiap zona, UNCLOS 1982 menetapkan berbagai ketentuan yang mengatur batas- batas maksimum suatu zona serta penerapan batas- batas terluarnya. Untuk Laut Teritorial (di bawah kedaulatan mutlak negara) ditetapkan lebarnya 12 mil laut. Zona Tambahan 24 mil laut, Zona Ekonomi eksklusif 200 mil laut dan Landas Kontinen antara 200 -350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dihitung dari kedalaman (isobath) 2.500 meter.
Putusan ITLOS penting yang paling pertama harus dibahas adalah bagaimana ITLOS menyikapi pertentangan yurisdiksi yang dikehendaki oleh kedua belah pihak terhadap ITLOS. Bangladesh yang berpendapat bahwa ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan batas laut teritorial, ZEE, dan Landas Kontinen sampai 200 mil laut berdasarkan UNCLOS 1982 Pasal 15, 74, 76, dan 83 ditentang oleh Myanmar dengan berpendapat bahwa ITLOS tidak berhak menentukan batas Landas Kontinen sampai 200 mil laut. ITLOS berpendapat bahwa dalam kesepakatan awal kedua belah pihak, ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan sesuai mandat yang telah disebutkan di atas, oleh karena itu pada intinya menerima pendapat Bangladesh, dan menolak pendapat Myanmar.
F.    Metode Penelitian
Metode Penelitian Deskriptif kulitatif  adalah menangani hal-hal bersifat khusus[12], dimana data yang didapat apa adanya dan yang sebenarnya terjadi, bukan hanya perilaku terbuka tetapi juga proses yang tak terucapkan, dengan sampel kecil/purposif, memahami peristiwa yang mempunyai makna yang historis, menekankan perbedaan individu, mengembangkan hipotesis (teori) yang terikat oleh konteks dan waktu, membuat penilaian etis/estetis atas fenomena (komunikasi) spesifik.
1. Teknik Pengumpulan Data
Pada teknik pengumpulan data penulis mendapatkannya dari data sekunder diantara referensi buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, laporan dan internet serta data-data yang mendukung  untuk data dan analisa data secara langsung. Dengan kata lain teknik ini mengunakan studi kepustakaan (library research).
2. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dengan metode kualitatif. Penelitian ini hanya menggambarkan suatu variabel, keadaan atau gejala yang diteliti secara apa adanya dari data. Jenis penelitian deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan studi kepustakaan atau dengan mengambil beberapa referensi dari buku-buku dan sumber elektronik lainnya yang berhubungan dengan tema yang dibahas.

G.    Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana aspek penentuan batas maritim menurut International Tribunal For The Law Of The Sea (ITLOS) dalam perlindungan Wilayah Laut dalam Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala Selain itu untuk mengetahui Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala tidak dilakukan  oleh  ICJ (International Court of Justice) melainkan oleh ITLOS.

H.     Batasan Penelitian
Batasan penelitian ditujukan agar penulisan skripsi ini menjadi fokus dan tidak meluas melampaui tema yang ada. Penulisan skripsi ini akan mengambil jangka waktu tahun 2003 yang didasarkan dari dimulainya sengketa kedua Negara terhadap Teluk Benggala hingga keluarnya putusan ITLOS .

I.     Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari:
Bab I, Membahas pendahuluan yang berisi pembahasan mengenai alasan pemilihan judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka pemikiran, hipotesa, metode penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan penelitian, serta sistematikan penulisan bab.
Bab II, Penentuan Zona Maritim menurut UNCLOS 1982. Bab ini menjelaskan mengenai pengaturan batas-batas laut Teritorial, Zona Tanmbahan, Zona Ekenomi Eksklusis (ZEE) hingga laut Bebas.
Bab III, Membahas Dinamika Hubungan Bangladesh dan Myanmar berkaitan dengan perbatasan baik batas negara di darat maupun batas maritimnya.
Bab IV adalah Penyelesaian sengketa dan penentuan Batas Maritim (Maritime Delimitation)antara Bangladesh dan Myanmar oleh ITLOS.
Bab V adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari bab-bab sebelumnya.


[1] Mochtar Mas;oed, 1994, Studi Hubungan Internasional Tingkat Analisis dan Teorisasi, Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM, Yogyakarta,hal. 28.
[2] KJ Holsti, 1992, “The Belief System and National Image : A Case Study”, Routdge, New York, hal 589.
[3] T. May Rudi, 1997,  , hal.111-112
[4] Aniek Pihartini, Pelanggaran batas wilayah dalam  dalam http://www.indomedia.com/sripo/2002/03/28/2803seleb5.htm diakses 18 Maret 2013 pukul 17:15)

[5] J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd ed., 1995,hal. 179
[6] Putusan ITLOS No.16 Tanggal 14 Maret 2012
[7] Sefriani. 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Hal. 134.
[8]Insarullah,2009,  Instansi Hukum Internasional., Jakarta: Yayasan masyarakat Indonesia Baru, hal 82-83.
[9] Sumaryo Suryokusumo, 1993, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional, Bandung: Alumni. hal. 37
[10] Ibid, Sumaryo Suryokusumo, hal. 42-45
[11] J.G. Starke., Pengantar Hukum Internasional 2., 2008, Jakarta: Sinar Garfika, hal. 645-646.
[12] Deddy Mulyana, 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar