A.
Alasan Pemilihan Judul
Studi Hubungan Internasional pada dasarnya
bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu perilaku aktor-aktor baik
negara maupun aktor non negara di dalam arena transaksi internasional.[1] Hubungan atau
interaksi yang terjadi antar aktor dalam sistem internasional sangat beraneka
ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan karakteristik hubungan diantara
aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada dua pola umum, yaitu konflik dan
kerjasama (Holsti, 1992:589).[2]
Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak bertabrakan
dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda. Konflik yang akan
dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai penentuan batas maritim yang
terjadi antara Bangladesh dengan Myanmar yang diajukan ke forum Tribunal
Internasional untuk Hukum Laut atau ITLOS pada tahun 2012 dan pengaruhnya
terhadap konsep kedaulatan perbatasan Indonesia.
Isu batas
maritim terangkat pada tingkat internasional melalui kasus sengketa batas
maritim yang dibahas di forum Tribunal Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS – Internasional Tribunal for The Law
of The Sea) pada bulan September sampai dengan Oktober 2011. Kasus
ini diajukan oleh Myanmar berkenaan dengan batas laut Bangladesh di wilayah dan
di sekitar wilayah teluk Benggala.
Berdasarkan
kepada letak dan maritim dan letak kontinentalnya, maka Bangladesh termasuk ke
dalam negara yang banyak pulaunya dan batas laut atau Multi Sea dan Peninsular
Location , yang mana Bangladesh dikelilingi oleh 27 buah pulau kecil dengan
Pulau Bangladesh yang terbesar, memiliki luas seluruhnya 618,1 km persegi
diantaranya 570, 4 km persegi merupakan luas negara Bangladesh sendiri.
Bangladesh
dikelilingi oleh Pakistan di sebelah Barat, Laut Myanmar sebelah Timur, Bhutan
di sebelah Utara, dan perairan Samudara Hindia di sebelah Selatan. Dalam
hubungannya dengan negara tetangga yang berbatasan langsung di sekitarnya atau vicinal,
maka Bangladesh bertetangga dengan Myanmar di sebelah Barat[3](T
May Rudy, 1997: 111-112).
Reklamasi
terbaru yang dilakukan di Pulau Tekong dan Tuas View, pulau terbesar Bangladesh,
telah menimbulkan kemarahan Myanmar. Negara tetangga terdekat Bangladesh itu
mencemaskan akses ke pelabuhan-pelabuhannya di kawasan selatan di Pasir Gudang
dan Tanjung Pelepas bakal terganggu. Padahal kedua pelabuhan sangat prospektif
dan akan menjadi saingan utama pelabuhan-pelabuhan Bangladesh.
Myanmar menuding
batas lautnya itu telah dipersempit ole Myanmar, perairan antara Pangkalan
Angkatan Laut Myanmar di Tanjung Pulau Tekong hingga 70 mil.Isu tersebut muncul
saat Deputi PM Bangladesh berkunjung ke Yangoon. Ia meminta Myanmar mengirimkan
surat keberatannya, tetapi menegaskan bahwa batas laut itu dilakukan sesuai hak
Myanmar.
Dalam kaitan ini
negara Bangladesh dalam pelaksanaan penentuan batas laut telah menggunakan
sebagai dasar hukum laut (UNCLOS 1982) dan Resolusi Majelis Umum PBB 1803
(XVII) tanggal 14 Desember 1962, mengenai kedaulatan permanen atas
sumber-sumber daya alam dan prinsip hak atas pembangunan (Permanent
Sovereignity over Natural Resources).[4]
Sebaliknya, negara
Myanmar telah menggunakan dasar hukum Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS)
khususnya pasal-pasal mengenai kerjasama antara negara-negara yang berbatasan
dengan laut tertutup atau setengah tertutup, perlindungan dan pelestarian
lingkungan laut, itikad baik dan penyalahgunaan hak (pasal 123, 192, 194, 198,
200, 204, 205, 206, 210, dan 300 UNCLOS). Sedangkan bentuk-bentuk konkrit
pelanggarannya adalah pelanggaran batas perairan nasional negara tetangga,
pelanggaran hak negara atas sumber-sumber daya alam dalam batas-batas laut
nasionalnya, pelanggaran hak-hak negara tetangga terhadap integritas lingkungan
laut di wilayah perairan nasionalnya.
Berdasarkan
masukan tersebut, ITLOS selaku salah satu treaty body PBB telah membuat
penafsiran hukum baru berkenaan dengan aplikasi prinsip kedaulatan permanen
dalam Resolusi MU PBB 1803 (XVII) tahun 1962, dengan mengkaitkan aplikasi
resolusi dimaksud dengan ketentuan bab tersebut mengatur mengenai Protection
and Preservation of the Marine Environment. Adapun pertimbangan hukum utama
ITLOS adalah bahwa kewajiban negara-negara untuk bekerjasama merupakan prinsip
mendasar dalam rangka pencegahan polusi lingkungan laut di bawah Bab XII
Konvensi dan hukum internasional umum. Pertimbangan hukum lainnya adalah bahwa
kedua negara yang bersengketa pada kenyataannya berbagi lingkungan laut yang
sama dan berada di bawah mandat pasal 123 UNCLOS mengenai kerjasama antara
negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau setengah tertutup.
Pasal ini diatur di bawah Bab IX mengenai laut territorial atau setengah
tertutup.
B.
Latar Belakang Masalah
Studi Hubungan
Internasional pada dasarnya bertujuan mempelajari perilaku internasional, yaitu
perilaku aktor-aktor baik negara maupun aktor non negara di dalam arena
transaksi internasional. Hubungan atau interaksi yang terjadi antar aktor dalam
sistem internasional sangat beraneka ragam. Pada dasarnya kondisi umum dan
karakteristik hubungan di antara aktor-aktor tersebut akan selalu bergerak pada
dua pola umum, yaitu konflik dan kerjasama.
Konflik dapat terjadi ketika kepentingan dan tujuan suatu pihak
bertabrakan dengan kepentingan dan tujuan pihak lain yang berbeda.
Semakin
bertambahnya entitas yang menjadi subjek dari hukum internasional juga menjadi
salah satu faktor yang menjadikan hubungan antara entitas ini semakin kompleks.
Dalam hubungan yang hampir tak berbatas inilah potensi konflik yang berujung
pada sengketa memunculkan dirinya semakin intens. Menurut beberapa pakar hukum
internasional, subjek dari persengketaan bermacam-macam, mulai dari sengketa
mengenai kebijakan suatu negara sampai persoalan perbatasan. Oleh sebab itu
diperlukan sebuah sistem penyeleselaian sengketa yang mampu mewadahi pertikaian
subjek-subjek hukum internasional ini.
Penyelesaian sengketa secara harfiah disamakan dengan
pertikaian. Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah kata yang dipergunakan
secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya
perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau objek yang diikuti oleh pengklaiman
salah satu pihak dan memunculkan reaksi penolakan oleh pihak lainnya. Karena itu, sengketa internasional adalah
perselisihan, yang tidak secara ekslusif melibatkan negara, dan memiliki
konsekuensi pada lingkup internasional.[5]
Batas antar negara
yang dipisahkan oleh perairan berpotensi menimbulkan sengketa kelautan.
Walaupun Konvensi Hukum Laut Internasional telah ditandatangani oleh 147 negara
dan 1 organisasi, yaitu Komunitas Eropa, namun perselisihan batas negara yang
mengarah pada sengketa hukum laut masih saja bisa terjadi.
Upaya penyelesaian konflik hukum laut umumnya berujung di
meja perundingan. Dosen hukum internasional dari Universitas Indonesia, Sidik
Suraputra mengemukakan, sengketa yang berhubungan dengan batas wilayah
diselesaikan terlebih dahulu lewat jalur diplomasi. Pada kenyataannya, tidak sedikit sengketa
batas laut yang diselesaikan melalui jalur litigasi. Seperti halnya perseteruan
beberapa tahun lalu antara Indonesia-Malaysia mengenai pulau Sipadan Ligitan.
Keduanya kemudian sepakat untuk menyelesaikan sengketa tersebut ke International Court of Justice (ICJ).
Selain ICJ, sebenarnya terdapat pengadilan internasional
yang lebih khusus untuk menangani sengketa hukum laut. Pengadilan khusus
tersebut adalah International Tribunal
Law of The Sea (ITLOS) yang berkedudukan di Hamburg, Jerman.
Berbicara tentang ITLOS, pakar hukum laut dari
Universitas Padjadjaran Etty Agoes mengatakan perkembangan dari pengadilan ini
cukup bagus. Untuk beberapa hal, ITLOS memiliki kelebihan dibanding ICJ.
Seperti pada contoh sengketa Sipadan Ligitan yang penyelesaiannya di ICJ
memakan waktu lama. Pada waktu itu, Indonesia harus menunggu giliran kasus lain
di ICJ selesai diperiksa. Sedangkan di ITLOS, karena khusus menangani sengketa
yang berhubungan dengan kelautan, maka otomatis penyelesaiannya akan lebih
cepat.
Di sekitaran putusan ITLOS, sengketa batas maritim yang
paling terkenal dan bahkan paling pertama ditangani oleh tribunal ini adalah
sengketa batas maritim antara Bangladesh dan Myanmar di sekitaran Teluk
Benggala. Berbagai pertimbangan terkait dengan batas maritim sangat baik untuk
dijadikan rujukan dalam mempelajari aspek-aspek penentuannya dalam rangka
mendapatkan sudut pandang yang lebih komprehensif dalam perlindungan wilayah
laut Indonesia yang memiliki struktur yang sama dengan para pihak yang
bersengketa ini, karena ITLOS merupakan satu-satunya tribunal yang memakai
rujukan khusus dalam bidang hukum laut. Atas dasar pertimbangan ini maka
penulis merasa perlu diadakan pemahaman yang lebih lanjut lewat sebuah
penulisan tentang Aspek Penentuan Batas Maritim Menurut International Tribunal
For The Law Of The Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut Indonesia dengan Studi
Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar Di Teluk Benggala.[6]
Secara umum, ada tiga unsur yang termasuk dalam wilayah
negara yaitu unsur daratan, perairan/lautan, dan ruang udara. Masing – masing unsur ini mempunyai
keterkaitan dengan pelaksanaan kedaulatan negara. Terhadap wilayah daratan, negara
mempunyai atau melaksanakan kedaulatan mutlak. Dalam konteks ini, secara
ekstrim negara dapat menutup secara sepihak wilayah negaranya terhadap negara
di sekitarnya. Sementara terhadap wilayah ruang udara dan perairan / kelautan,
kewenangan negara dalam melaksanakan kedaulatannya harus mempertimbangkan
kepentingan negara lain (kewenangan minus). Dengan demikian, ketentuan hukum
internasional yang berkaitan dengan wilayah negara diatur dalam perangkat hukum
yang berbeda pula. Namun karena sengketa ini oleh ICJ ini harus menunggu daftra
tunggu kasus-kasus yang ditanganinya maka kedua belah pihak akhirnya memilih
ITLOS (Internasional Tribunal for The Law of The Sea) sebagai lembaga internasional yang akan menyelesaikan kasus penentuan
batas laut kedua negara tersebut.
C.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang menjadi aspek penentuan batas maritim menurut
International Tribunal For The Law Of The
Sea Dalam Perlindungan Wilayah Laut dalam Kasus Sengketa Penentuan Batas
Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala ?
2.
Mengapa Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh
dan Myanmar di Teluk Benggala tidak dilakukan oleh ICJ
(International Court of Justice) ?
D.
Kerangka
Pemikiran
Setiap sengketa adalah konflik, tetapi tidak semua konlik
dapat dikategorikan sebagai sengketa (dispute).
Sengketa internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan
urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa internasional juga tidak hanya
eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum
internasional saat ini sudah mengalami perluasan sedemikian rupa melibatkan
banyak aktor non negara. Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengekta
internasional dapat menyangkut banyak hal. Menyangkut substansi sengketa itu,
beberapa pakar mencoba untuk memisahkan antara sengketa hukum (legal dispute) dengan sengketa politik (political dispute).[7]
Friedmann misalnya mengemukakan bahwa karakteristik sengketa hukum adalah
sebagai berikut:
1.
Mampu diselesaikan oleh penerapan prinsip-prinsip
tertentu dan aturan-aturan hukum internasional.
2.
Pengaruh kepentingan vital negara seperti integritas
teritorial.
3.
Pelaksanaan hukum internasional yang ada cukup untuk
meningkatkan keputusan keadilan dan dukungan untuk hubungan internasional yang
progresif.
4.
Sengketa terkait dengan hak hukum dengan klaim untuk
mengubah aturan yang ada.
Selanjutnya pasal 36 ayat (2) Statuta Mahkamah menegaskan
bahwa sengketa hukum yang dapat dibawa ke Mahkamah menyangkut hal-hal sebagai
berikut[8]:
1.
Interpretasi perjanjian.
2.
Persoalan mengenai hukum internasional.
3.
Adanya fakta apapun yang jika didirikan akan merupakan
pelanggaran kewajiban internasional.
4.
Sifat atau tingkat perbaikan yang akan dibuat untuk
pelanggaran kewajiban internasional.
Cara-cara Penyelesaian Sengketa dalam Hukum Hubungan Internasional
adalah[9]:
1.
Secara Damai
a.
Jalur Politik
1)
Negosiasi
Pada umumnya negosiasi merupakan cara yang pertama kali
dan paling banyak digunakan pihak-pihak bersengketa dalam penyelesaian sengketa
internasional mereka. Dapat dilakukan secara bilateral maupun multilateral,
formal maupun informal dan tidak ada kewajiban untuk memilih prosedur ini dulu
baru bisa menggunakan cara-cara lain.
2)
Jasa Baik (Good
Offices)
Keterlibatan pihak ketiga dalam good offices tidak lebih dari mengupayakan pertemuan pihak-pihak
bersengkata untuk berunding, tanpa terlibat dalam perundingan itu sendiri.
Pihak ketiga ini sering juga disebut saluran tambahan komunikasi.
3)
Mediasi
Apabila dibandingkan dengan good offices maka keterlibatan pihak ketiga dalam mediasi sudah
lebih besar. Dalam mediasi mediator berperan aktif mendamaikan pihak-pihak
bersengketa, memiliki kewenangan tertentu juga mendistribusikan proposal
masing-masing pihak bersengketa.
4)
Pencari Fakta (fact
finding/Inquiry)
Fungsi dari Inquiry
adalah untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa dengan mencari kebenaran
fakta, tidak memihak, melalui investigasi secara terus-menerus sampaiu fakta
yang disampaikan salah satu pihak dapat diterima oleh pihak yang lain.
5)
Konsiliasi (Conciliation)
a)
Penyelesaian Melalui PBB
b)
Penyelesaian Melalui Organisasi Regional
b.
Jalur Hukum
1)
Jalur Arbitrase
Penyelesaian sengketa melalui arbitrase menurut hukum
Internasional adalah prosedur untuk penyelesaian sengketa antara negara-negara
dengan penghargaan yang mengikat berdasarkan hukum. Sebagaimana halnya
penyelesaian sengketa secara damai yang lain, prinsip sukarela juga mendasari
penyelesaian sengketa melalui lembaga ini.
2)
Pengadilan Internasional
Pengadilan Internasional antara lain Internatinal Court of Justice (ICJ), Permanent Court of International of Justice (PCIJ), Internatinal Tribunal for the Law of the Sea,
berbagai Ad Hoc Tribunal, juga Internatinal
Criminal Court (ICC). Namun ICJ sering dianggap sebagai cara utama
penyelesaian sengketa hukum antar negara.[10]
2.
Jalur Kekerasan
a.
Retorsi
Retorsi yaitu tindakan tidak bersahabat yang dilakukan
oleh suatu negara terhadap negara lain yang telah lebih dahulu melakukan
tindakan yang tidak bersahabat dan ikan tindakan yang sah dimaksudkan untuk
merugikan negara yang telah melakukan pelanggaran.
b.
Reprisal
Reprisal yaitu sebagai upaya paksa oleh suatu negara
terhadap negara lain, dengan maksud untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
karena negara yang dikenai reprisal telah melakukan tindakan yang ilegal atau
tidak dibenarkan.
c.
Blokade Damai (Pacific Blocade)
Blokade damai dilakukan untuk memaksa negara yang
diblokade agar memenuhi permintaan ganti rugi yang diderita negara yang
memblokade.
d.
Embargo
Embargo adalah larangan ekspor barang ke negara yang
dikenaii embargo.
e.
Perang
Perang bertujuan untuk menaklukan negara lawan sehingga
negara yang kalah tidak memiliki alternatif lain kecuali menerima syarat-syarat
penyelesaian yang ditentukan oleh negara pemenang perang.[11]
E.
Argumen Pokok
Untuk menentukan kepastian hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatannya untuk setiap zona, UNCLOS 1982 menetapkan berbagai ketentuan
yang mengatur batas- batas maksimum suatu zona serta penerapan batas- batas
terluarnya. Untuk Laut Teritorial (di bawah kedaulatan mutlak negara)
ditetapkan lebarnya 12 mil laut. Zona Tambahan 24 mil laut, Zona Ekonomi eksklusif
200 mil laut dan Landas Kontinen antara 200 -350 mil laut atau sampai dengan
100 mil laut dihitung dari kedalaman (isobath) 2.500 meter.
Putusan ITLOS penting yang paling pertama harus dibahas
adalah bagaimana ITLOS menyikapi pertentangan yurisdiksi yang dikehendaki oleh
kedua belah pihak terhadap ITLOS. Bangladesh yang berpendapat bahwa ITLOS
diberikan yurisdiksi untuk menentukan batas laut teritorial, ZEE, dan Landas
Kontinen sampai 200 mil laut berdasarkan UNCLOS 1982 Pasal 15, 74, 76, dan 83 ditentang
oleh Myanmar dengan berpendapat bahwa ITLOS tidak berhak menentukan batas
Landas Kontinen sampai 200 mil laut. ITLOS berpendapat bahwa dalam kesepakatan
awal kedua belah pihak, ITLOS diberikan yurisdiksi untuk menentukan sesuai
mandat yang telah disebutkan di atas, oleh karena itu pada intinya menerima pendapat Bangladesh, dan menolak pendapat
Myanmar.
F.
Metode
Penelitian
Metode Penelitian Deskriptif kulitatif
adalah menangani hal-hal bersifat khusus[12], dimana data
yang didapat apa adanya dan yang sebenarnya terjadi, bukan hanya perilaku
terbuka tetapi juga proses yang tak terucapkan, dengan sampel kecil/purposif,
memahami peristiwa yang mempunyai makna yang historis, menekankan perbedaan
individu, mengembangkan hipotesis (teori) yang terikat oleh konteks dan waktu,
membuat penilaian etis/estetis atas fenomena (komunikasi) spesifik.
1. Teknik Pengumpulan Data
Pada
teknik pengumpulan data penulis mendapatkannya dari data sekunder diantara
referensi buku-buku, jurnal, majalah, surat kabar, laporan dan internet serta
data-data yang mendukung untuk data dan
analisa data secara langsung. Dengan kata lain teknik ini mengunakan studi
kepustakaan (library research).
2. Teknik Analisis Data
Teknik
analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif
dengan metode kualitatif. Penelitian ini hanya menggambarkan suatu variabel,
keadaan atau gejala yang diteliti secara apa adanya dari data. Jenis penelitian
deskriptif yang dilakukan dalam penelitian ini adalah deskriptif dengan
menggunakan studi kepustakaan atau dengan mengambil beberapa referensi dari
buku-buku dan sumber elektronik lainnya yang berhubungan dengan tema yang
dibahas.
G.
Tujuan Penelitian
Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana aspek
penentuan batas maritim menurut International
Tribunal For The Law Of The Sea
(ITLOS) dalam perlindungan Wilayah Laut dalam Kasus Sengketa Penentuan Batas
Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala Selain itu untuk mengetahui
Kasus Sengketa Penentuan Batas Maritim Bangladesh dan Myanmar di Teluk Benggala
tidak dilakukan oleh ICJ (International
Court of Justice) melainkan
oleh ITLOS.
H.
Batasan Penelitian
Batasan
penelitian ditujukan agar penulisan skripsi ini menjadi fokus dan tidak meluas
melampaui tema yang ada. Penulisan skripsi ini akan mengambil jangka waktu tahun
2003 yang didasarkan dari dimulainya sengketa kedua Negara terhadap Teluk
Benggala hingga keluarnya putusan ITLOS .
I. Sistematika
Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari:
Bab I, Membahas pendahuluan yang berisi pembahasan mengenai alasan
pemilihan judul, latar belakang masalah, perumusan masalah, kerangka pemikiran,
hipotesa, metode penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, batasan penelitian,
serta sistematikan penulisan bab.
Bab II, Penentuan Zona Maritim menurut UNCLOS 1982. Bab ini menjelaskan
mengenai pengaturan batas-batas laut
Teritorial, Zona Tanmbahan, Zona Ekenomi Eksklusis (ZEE) hingga laut Bebas.
Bab III, Membahas Dinamika Hubungan Bangladesh dan Myanmar berkaitan dengan
perbatasan baik batas negara di darat maupun batas maritimnya.
Bab IV adalah Penyelesaian sengketa dan penentuan Batas Maritim (Maritime Delimitation)antara Bangladesh
dan Myanmar oleh ITLOS.
Bab V adalah penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran dari bab-bab
sebelumnya.
[1]
Mochtar Mas;oed, 1994, Studi Hubungan
Internasional Tingkat Analisis dan Teorisasi, Pusat Antar Universitas-Studi Sosial UGM, Yogyakarta,hal. 28.
[2]
KJ Holsti, 1992, “The Belief System
and National Image : A Case Study”, Routdge, New York, hal 589.
[3]
T. May Rudi, 1997, , hal.111-112
[4] Aniek Pihartini, Pelanggaran batas
wilayah dalam dalam http://www.indomedia.com/sripo/2002/03/28/2803seleb5.htm
diakses 18 Maret 2013 pukul 17:15)
[5]
J.G. Merrills, International Disputes Settlement, Cambrige: CambrigeU.P., 2nd
ed., 1995,hal. 179
[6]
Putusan ITLOS No.16 Tanggal 14 Maret
2012
[7]
Sefriani. 2010. Hukum Internasional Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada. Hal. 134.
[8]Insarullah,2009, Instansi
Hukum Internasional., Jakarta:
Yayasan masyarakat Indonesia Baru, hal 82-83.
[9]
Sumaryo Suryokusumo, 1993, Studi Kasus
Hukum Organisasi Internasional, Bandung:
Alumni. hal. 37
[10] Ibid, Sumaryo Suryokusumo, hal. 42-45
[11] J.G. Starke., Pengantar Hukum
Internasional 2., 2008, Jakarta: Sinar Garfika, hal. 645-646.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar