Abstract
State
responsibility is a
fundamental principle of international law derived from the
doctrine of sovereignty and
equality among nations. Historically
the principle of state responsibility
have close links with human rights, where human
rights which today have been
set in international human rights law was
originally developed through the principle of state responsibility for the treatment of foreigners. In Indonesia,
a human rights issue
has been alluded to by the founding father
of Indonesia
in formulating the text of the Republic of Indonesia Constitution Act 1945, as the Constitution of the
state of Indonesia.
Therefore, human rights must be enforced in
accordance with the provisions of positive law of Indonesia,
with reference to the declarations
and covenants, international
covenants that give responsibility to the state parties to uphold human
rights.
Keyword: State
Responsibility, Human Rights, the Constitution of Indonesia.
A.
PENDAHULUAN
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak
yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya
bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum
positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia. [1]
Dalam arti ini, maka meskipun setiap orang terlahir dengan ras, suku, jenis
kelamin, bahasa, budaya, agama dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap
mempunyai hak-hak yang harus dijunjung tinggi oleh siapapun juga, dan di negara
manapun ia berada.
Inilah
sifat universal dari HAM tersebut.
Secara etimologis, hak asasi berasal dari
bahasa Arab yaitu haqq dan asasiy. Kata haqq adalah bentuk
tunggal dari kata huquq yang diambil dari kata haqqa, yahiqqu, haqqan
yang artinya adalah benar, nyata, pasti, tetap, dan wajib. Berdasarkan
pengertian tersebut, haqq adalah kewenangan atau kewajiban untuk
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Sementara itu kata asasiy berasal
dari akar kata assa, yaussu, asasaan yang artinya adalah membangun,
mendirikan, dan meletakkan. Kata asas adalah bentuk tunggal dari kata usus yang
berarti asal, esensial, asas, pangkal, dasar dari segala sesuatu. Sehingga
dalam bahasa Indonesia, HAM dapat diartikan sebagai hak-hak dasar yang melekat
pada diri manusia. [2]
Hak
asasi yang berkembang saat ini pada mulanya adalah produk mazhab hukum kodrati
yang muncul dalam abad pertengahan bersamaan dengan karya tulisan filusuf
kristiani yang terkemuka, yaitu Santo Thomas Aquinas. Pandangan Thomas Aquinas
mengenai hukum kodrati mempostulatkan bahwa hukum kodrati ini merupakan bagian
dari hukum Tuhan yang sempurna, yang dapat diketahui melalui penggunaan nalar
manusia. Sebagian isi dari filsafat hukum kodrati adalah ide bahwa posisi
masing-masing orang dalam kehidupan ditentukan oleh Tuhan, tetapi semua orang apapun
statusnya tunduk pada otoritas Tuhan. Sehingga hak asasi yang pada prinsipnya
adalah hak yang diberikan oleh tuhan, tidak dapat dirampas oleh siapapun juga.
Kepedulian internasional terhadap HAM
merupakan gejala yang relatif baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah
traktat atau perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum
perang dunia II, baru setelah dimasukkan ke dalam Piagam PBB pada tahun 1945,
kita dapat berbicara mengenai adanya perlindungan HAM yang sistematis di dalam
sistem internasional.[3]
HAM
memperoleh legitimasinya melalui pengesahan PBB terhadap Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) pada tanggal 10 Desember 1948. UDHR
adalah sebuah pernyataan yang bersifat anjuran yang diadopsi oleh Majelis
Umum Persatuan Bangsa - Bangsa. Sebagai sebuah pernyataan yang
bersifat universal, piagam ini baru mengikat secara moral namun belum
secara yuridis. Tetapi dokumen ini
mempunyai pengaruh moril, politik, dan edukatif yang sangat besar. Dia melambangkan “Commitment” moril
dari dunia Internasional pada norma-norma dan hak-hak asasi. Kesadaran masyarakat internasional akan
pentingnya perlindungan HAM sangat meningkat dalam beberapa dekade terakhir.
Sejak tahun 1989, negara-negara maju dan negara-negara berkembang telah
banyak memproklamirkan dukungan terhadap HAM internasional dengan tulus.
Hal ini dikarenakan bahwa Paham yang terkandung dalam HAM memiliki sifat
universalitas yang luar biasa dalam menghargai prinsip manusia sebagai makhluk
sosial.
Magnis Suseno [4] menjelaskan bahwa inti
dari paham HAM terletak dari kesadaran bahwa masyarakat atau umat manusia tidak
dapat dijunjung tinggi kecuali setiap manusia individual, tanpa diskriminasi,
tanpa kekecualian, dihormati dalam keutuhannya. Sementara itu Anthony
Flew [5] memberikan uraiannya tentang hak dengan mengatakan A person’s
entitlement as a member of society, including “liberties”, such as the right to
use public highway, and claim rights, such as the right to defence counsel. “To
have a right” said Mill, “is to have something society ought to protect me in
the possession of”.
Jadi,
apapun yang diartikan atau dirumuskan dengan hak asasi, gejala tersebut tetap
merupakan suatu manifestasi dari nilai-nilai yang kemudian dikonkretkan menjadi
kaedah hidup bersama. Sistem nilai yang menjelma dalam konsep HAM tidaklah
semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki dasar pijakan yang kokoh dari
seluruh budaya dan agama. Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan
kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia.[6]
Wacana
HAM terus berkembang seiring dengan intensitas kesadaran manusia atas hak dan
kewajiban yang dimilikinya. Namun demikian, wacana HAM menjadi aktual karena
sering dilecehkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga kurun waktu kini. Gerakan dan diseminasi HAM terus
berlangsung bahkan dengan menembus batas-batas territorial sebuah negara. Manfred
Nowak menegaskan human rights must be considered one of the major achievents
of modern day philosophy. Ruth Gavison juga menegaskan, the twentieth
century is often described as “the age of righst”. Begitu derasnya kemauan
dan daya desak HAM, maka jika ada sebuah negara yang diidentifikasi melanggar
dan mengabaikan HAM, dengan sekejap mata nation-state di belahan bumi
ini memberikan respons, terlebih beberapa negara yang dijuluki sebagai adi
kuasa memberikan kritik, tudingan bahkan kecaman keras seperti embargo dan
sebagainya.[7]
B.
PERMASALAHAN
Berdasarkan
pada hal tersebut diatas, maka permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini akan
dibatasi pada;
- 1. Korelasi antara tanggung jawab negara dengan penegakan HAM.
- 2. Penegakan HAM di Indonesia.
C.
PEMBAHASAN
1. KORELASI ANTARA TANGGUNG JAWAB NEGARA
DENGAN PENEGAKAN HAM
Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum
di kalangan sarjana hukum sampai dengan perkembangannya saat ini, yang menjadi subjek hukum internasional yaitu Negara, Tahta Suci (Vatican), Palang Merah Internasional,
organisasi internasional, orang perorangan (individu), dan pihak dalam sengketa
(belligerent). Namun
dari 5 subjek hukum internasional tersebut, negara merupakan pelaku utama dalam hukum internasional, dalam pengertian bahwa hukum
internasional mengatur hak-hak dan kewajiban yang diemban oleh suatu negara
yang berasal dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
internasional.
Sebagai
pemangku hak dan kewajiban, maka pembentukan suatu negara haruslah memenuhi unsur-unsur
konstitutif yang meliputi (1) adanya penduduk yang tetap; (2) adanya wilayah
tertentu; (3) adanya pemerintahan; dan (4) adanya kedaulatan/ kemampuan untuk
melakukan hubungan dengan negara-negara lain. Dengan terpenuhinya unsur
konstitutif tersebut, maka suatu negara dapat melakukan perbuatan hukum sesuai
dengan hak dan kewajiban yang diembannya.
Pada
dasarnya, suatu negara dapat bertanggung jawab bilamana suatu perbuatan atau
kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap
suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian
internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya. Tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip
fundamental dalam hukum internasional yang bersumber dari doktrin kedaulatan
dan persamaan hak antar negara.
Menurut hukum internasional,
pertanggungjawaban negara timbul dalam hal suatu negara merugikan negara lain.
Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang
melanggar hukum internasional. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara
lain tetapi tidak melanggar hukum internasional, tidak menimbulkan
pertanggungjawaban negara. Misalnya perbuatan negara yang menolak masuknya
orang asing ke dalam wilayahnya, tidak menimbulkan pertanggungjawaban negara.
Hal ini disebabkan, negara menurut hukum internasional berhak menolak atau
menerima orang asing ke dalam wilayahnya.[8]
Hukum internasional tentang tanggung jawab
negara adalah hukum internasional yang bersumber pada hukum kebiasaan
internasional. Ia berkembang melalui praktik negara-negara dan putusan-putusan
pengadilan internasional. Sesuai dengan ketentuan Pasal 38 Ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional (International Court of Justice), praktik
demikian akan semakin memperkuat kedudukan hukum kebiasaan internasional (yang
mengatur tentang pertanggungjawaban negara) sebagai sumber primer hukum
internasional.
Karl Zemanek menjelaskan bahwa yang
mendasari munculnya tanggung jawab negara pada hakikatnya adalah pelanggaran
terhadap hak subjektif negara lain, pelanggaran terhadap norma hukum
internasional merupakan Jus Cogens dan tindakan-tindakan yang
berkualifikasi sebagai kejahatan internasional (misalnya: tindakan agresi,
perbudakan, genosida, apartheid, kolonialisme, pencemaran lapisan atmosfer dan
laut secara besar-besaran).[9] Sementara itu F. Sungeng Istanto mengartikan
tanggung jawab negara sebagai: “…kewajiban memberikan jawaban yang merupakan
perhitungan atas suatu hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan
pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya.”[10]
Sedangkan
perbuatan suatu negara yang tidak dianggap pelanggaran kewajiban
internasional jika perbuatan itu terjadi sebelum terikatnya suatu negara oleh
suatu kewajiban internasional. Hal ini sudah merupakan asas hukum internasional
yang berlaku umum yaitu bahwa suatu perbuatan harus dinilai menurut hukum yang
berlaku pada saat perbuatan itu terjadi, bukan ketika terjadinya sengketa
akibat perbuatan itu (yang bisa saja baru terjadi bertahun-tahun setelah
perbuatan itu).[11]
Secara historis prinsip tanggung jawab
negara memiliki kaitan erat dengan HAM. HAM yang dewasa ini telah diatur dalam
hukum HAM internasional, pada awalnya dikembangkan melalui prinsip tanggung
jawab negara atas perlakuan terhadap orang asing (state responsibility for
the treatment of aliens). [12] Dalam konteks penegakkan HAM, negara
juga merupakan pengemban subjek hukum utama. Negara diberikan kewajiban melalui
deklarasi dan kovenan-kovenan Internasional tentang HAM sebagai entitas utama
yang bertanggung jawab secara penuh untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan
HAM.
Tanggung
jawab negara tersebut dapat terlihat dalam UDHR 1948, International Covenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966, dan International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966. Dalam
mukaddimah UDHR 1948 menegaskan bahwa:
As
a common standard of achievement for all peoples and all nations, to the end
that every individual and every organ of society, keeping this Declaration
constantly in mind, shall strive by teaching and education to promote respect
for these rights and freedoms and by progressive measures, national and
international, to secure their universal and effective recognition and
observance, both among the peoples of Member States themselves and among the
peoples of territories under their jurisdiction. (Sebagai satu standar umum
keberhasilan untuk semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap
orang dan setiap badan dalam masyarakat dengan senantiasa mengingat Pernyataan
ini, akan berusaha dengan jalan mengajar dan mendidik untuk menggalakkan
penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan
tindakan-tindakan progresif yang bersifat nasional maupun internasional,
menjamin pengakuan dan penghormatannya secara universal dan efektif, baik oleh
bangsa-bangsa dari Negara-Negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari
daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan hukum mereka).
Sesuai
dengan Mukaddimah UDHR 1948 diatas, maka terlihat jelas bahwa penegakan
HAM adalah tugas dari semua bangsa dan negara, yang sama sekali bukan
dimaksudkan untuk menciptakan kondisi yang sangat ideal bagi seluruh bangsa,
melainkan menjadi standar umum yang mungkin dicapai oleh seluruh manusia dan
seluruh negara di dunia. Pandangan seperti itu jelas menunjukkan
keterbukaan HAM pada kemajemukan negara-negara dalam menegakkan HAM.
Bagaimanapun penegakan HAM harus memperhitungkan ketersediaan sumber daya yang
dimiliki oleh suatu negara, sehingga tidak menimbulkan problem lanjutan manakala
HAM tersebut dijalankan oleh negara bersangkutan.[13]
Dalam
mukaddimah ICCPR 1966 menegaskan tentang tanggung jawab negara dalam penegakan
hak-hak sipil dan politik adalah sebagai berikut:
Recognizing
that, in accordance with the Universal Declaration of Human Rights, the ideal
of free human beings enjoying civil and political freedom and freedom from fear
and want can only be achieved if conditions are created whereby everyone may
enjoy his civil and political rights, as well as his economic, social and
cultural rights (Mengakui bahwa, berdasarkan Piagam Perserikatan
Bangsa-bangsa negara-negara wajib untuk memajukan penghormatan universal dan
pentaatan atas hak asasi dan kebebasan manusia).
Sedangkan
pada Pasal 2 (1) ICCPR 1966 menegaskan bahwa Tanggung jawab perlindungan dan
pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini
adalah di pundak negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak ICCPR.
negara-negara pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin
hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua
individu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya”
tanpa diskriminasi macam apapun.
Kalau
hak dan kebebasan yang terdapat di dalam Kovenan ini belum dijamin dalam
yurisdiksi suatu negara, maka negara tersebut diharuskan untuk mengambil
tindakan legislatif atau tindakan lainnya yang perlu guna mengefektifkan
perlindungan hak-hak itu (Pasal 2 (2)). Perlu diketahui, tanggung jawab negara
dalam konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICCPR ini, adalah bersifat
mutlak dan harus segera dijalankan (immediately).
ICCPR
pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh
aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi
negara-negara Pihak ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga
sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights). Artinya,
hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila
peran negara terbatasi atau terlihat minus. Tetapi apabila negara berperan
intervensionis, tak bisa dielakkan hak-hak dan kebebasan yang diatur di
dalamnya akan dilanggar oleh negara.
Sedangkan
dalam ICESCR 1966 juga memberikan tanggung jawab negara tentang penegakan
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dalam Mukaddimah, yang menegaskan bahwa:
the
obligation of States under the Charter of the United Nations to promote
universal respect for, and observance of, human rights and freedoms
(Kewajiban negara-negara dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memajukan
penghormatan dan pentaatan secara universal pada hak-hak asasi manusia dan
kebebasan).
Tanggung
jawab negara dalam ICESCR 1966 ini berbeda dengan dari tanggung jawab negara
pada ICCPR 1966. Pada ICESCR 1966
justru menuntut peran maksimal negara dalam penegakan HAM. Negara justru
melanggar hak-hak yang dijamin di dalamnya apabila negara tidak berperan secara
aktif atau menunjukkan peran yang minus. ICESCR karena itu sering juga disebut
sebagai hak-hak positif (positive rights). Tanggung jawab negara dalam
konteks memenuhi kewajiban yang terbit dari ICESCR, yaitu tidak harus segera
dijalankan pemenuhannya, tetapi bisa dilakukan secara bertahap (progressive
realization).
Berdasarkan pada Mukaddimah UDHR 1948,
ICCPR 1966, dan ICESCR 1966 diatas, maka dapatlah diketahui bahwa HAM adalah
bagian dari tanggung jawab negara pihak yang harus ditegakkan secara universal.
Dengan demikian semua ketentuan dalam deklarasi dan kovenan-konevan tersebut
harus dipatuhi oleh negara-negara pihak, termasuk Indonesia sebagai salah satu
pihak yang telah meratifikasi ICCPR 1966 dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005, dan ICESCR 1966 dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005. Karena
mengingat bahwa meratifikasikan kedua kovenan ini, bukan saja menyebabkan
Indonesia terikat secara hukum, akan tetapi juga merupakan sumbangan terhadap
perjuangan hak-hak asasi manusia di dunia.
2.
PENEGAKAN HAM DI INDONESIA
Masalah
penegakan HAM telah menjadi agenda penting dan strategis dalam perkembangan
demokratisasi di Indonesia.
Pada satu sisi, penegakan HAM berkenaan dengan meningkatnya kesadaran demokrasi
di kalangan masyarakat Indonesia
akibat dari mobilitas pendidikan, meningkatnya kehidupan ekonomi serta
keterbukaan informasi. Faktor-faktor internal tersebut harus diakui telah
menjadi modal sosial bagi bangsa Indonesia untuk masuk ke dalam
proses demokratisasi yang lebih matang dan rasional.[14]
Pada
sisi lain, tuntutan akan penegakan HAM juga dipercepat oleh arus demokratisasi
global yang menggejala sejak berakhirnya Perang Dingin. Runtuhnya komunisme di
Eropa Timur telah menimbulkan mitos baru tentang apa yang disebut oleh Francis
Fukuyama sebagai "berakhirnya sejarah" (the End of History)
yang ditandai oleh kemenangan akhir demokrasi liberal di seluruh dunia terhadap
seluruh paham ideologi politik.[15]
Isu
tentang penegakan HAM di Indonesia sebenarnya sudah disinggung oleh para founding
father Indonesia dalam
merumuskan naskah Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Dalam alinea
1 Pembukaan UUD 1945 menegaskan “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Secara
langsung dengan adanya penegasan tersebut, negara Indonesia dapatlah disebut sebagai
negara hukum (recht staat) yang memiliki tanggung jawab untuk menjunjung
tinggi, menghormati, dan melakukan penegakan terhadap HAM yang melekat pada
setiap warga negaranya. Inilah bentuk komitmen para pendiri bangsa yang
termaktub dalam naskah pembukaan UUD 1945, sebagai bentuk konsistensi
dari kewajiban negara hukum.
Seiring
berkembangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya HAM, maka Pada masa awal
reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat ketentuan tentang
HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi isu sentral yang cukup
luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut bentuk hukum yang dipilih untuk
mengatur tentang HAM adalah Ketetapan MPR, yaitu Ketetapan MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Alasannya karena pada saat itu masih
terjadi tarik menarik antara kelompok yang menghendaki amandemen UUD 45 dan
kelompok yang menolaknya. Maka untuk menjembatani dua kolompok yang saling
berseberangan ini dicarilah suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima
oleh mereka yaitu dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM.
Setelah
beberapa lama berlaku, maka lahir pula Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini dipandang sebagai Undang-Undang
pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Ketika Undang Undang ini didiskusikan
terdapat dua pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang
HAM. Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai
HAM tersebar dalam berbagai Undang-Undang. Oleh karenanya tidak perlu dibuat
Undang-Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa Undang Undang
tentang HAM diperlukan mengingat TAP MPR tentang HAM yang sudah ada tidak
berlaku operasional dan Undang-Undang yang sudah ada tidak seluruhnya menampung
materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang HAM akan berfungsi sebagai Undang
Undang payung bagi peraturan perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada
selama ini.[16]
Pasca Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai
hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat
dalam UUD 1945. Sebagian besar materi UUD 1945 ini sebenarnya
berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka
materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut
mencakup 27 materi.
Jika ke-27 ketentuan yang sudah
diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen
baru yang bersifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali
sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka
rumusan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup empat
kelompok materi sebagai berikut:[17]
1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan
menjadi:
a.
Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b. Setiap
orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang
kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.
Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d.
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e.
Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f.
Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan
yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap
orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap orang berhak
untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang
sah.
j.
Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
k. Setiap
orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan
dan kembali ke negaranya.
l.
Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
m. Setiap orang berhak
bebas dari segala bentuk perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan
hukum dari perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan
Budaya
a. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul
dan menyatakan pendapatnya secara damai.
b. Setiap
warga negara berhak untuk memilih dan dipilih dalam rangka lembaga perwakilan
rakyat.
c.
Setiap warga negara dapat diangkat untuk menduduki jabatan-jabatan publik.
d.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pekerjaan yang
sah dan layak bagi kemanusiaan.
e.
Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan mendapat perlakuan
yang layak dalam hubungan kerja yang berkeadilan.
f.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
g. Setiap
warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan
memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h.
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
i.
Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap
orang berhak mengembangkan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan
teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan
umat manusia.
k. Negara
menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak-hak masyarakat lokal
selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat peradaban bangsa.
l.
Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebudayaan nasional.
m.
Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kemanusiaan yang
diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya.
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap
warga negara yang menyandang masalah sosial, termasuk kelompok masyarakat
yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak
perempuan dijamin dan dilindungi untuk mencapai kesetaraan gender dalam
kehidupan nasional.
c. Hak
khusus yang melekat pada diri perempuan yang dikarenakan oleh fungsi
reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap
anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga,
masyarakat dan negara bagi pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan
pribadinya.
e. Setiap
warga negara berhak untuk berperan serta dalam pengelolaan dan turut menikmati
manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
f.
Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan,
perlakuan atau tindakan khusus yang bersifat sementara dan dituangkan dalam
peraturan perundangan-undangan yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan
tingkat perkembangan kelompok tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi
dengan kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus
sebagaimana ditentukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian
diskriminasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap
orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b. Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan
yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi
tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan,
keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin
pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang
bersifat independen dan tidak memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya
diatur dengan undang-undang.
Ketentuan-ketentuan
yang memberikan jaminan konstitusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap
salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di
samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama
hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai
manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak
boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia.
Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan
orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus
dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia
berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana
mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan
kemanusiaan yang adil dan beradab.[18]
Namun
dalam tahapan implementasinya, komitmen formal pemerintah pada persoalan
penegakan HAM dapatlah diukur, salah satunya dari jumlah instrumen
internasional HAM yang diratifikasi. Sebab setiap instrument mendefinisikan
tanggung jawab pemerintah. Namun kenyataannya komitmen formal tersebut tidaklah
cukup untuk menilai komitmen pemerintah. Sebab yang terjadi selama ini, pemerintah
meratifikasi instrumen HAM, tetapi tidak serta merta dilaksanakan dengan
sepenuhnya. Bahkan ada kecondongan, pemerintah lebih banyak bergerak di tataran
legal-formal atau berhenti pada aspek normatif/politis-nya, sementara aspek
praktisnya tertinggal di belakang.[19]
Hal
ini dibuktikan hampir semua kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi dari 27
Juli hingga Mei 1998, sampai sekarang tidak berani ditindak lanjuti oleh
pemerintah. Pemerintah justru terkesan ragu melakukan pengusutan kasus-kasus dalam
ranah HAM. Dimana akibat keraguan pada pemerintah saat ini, berdampak
pada tidak adanya prestasi dalam penegakan HAM, baik di pengadilan maupun di
luar pengadilan.
Pertanyaan
yang kemudian muncul adalah Mengapa demikian? Ini tidak terlepas dari praktek politik yang berbasis pada ”citra” untuk
mendapatkan dukungan publik dan mempertahankan popularitas. Politik berbasis
”citra” akan lebih banyak bergerak di level normatif-formal dan minim komitmen
pada hal-hal yang riil-substansial. Karenanya, kita perlu bergerak melampaui
komitmen formal menuju ke komitmen riil/substansial. Salah satu komitmen riil
pemerintah bisa dinilai dari langkah-langkah konkrit yang dibuatnya, seperti:
[20]
1) dijalankannya harmonisasi peraturan dan
undang-undang, dengan cara merevisi atau mencabut peraturan atau undang-undang
yang potensial melanggar HAM dan membuat undang-undang yang mendukung realisasi
hak;
2)
adanya alokasi anggaran untuk pelaksanaan hak asasi. Alokasi anggaran untuk
pelaksanaan hak asasi menunjukkan bahwa pemerintah memberikan prioritas bagi
pelaksanaan hak asasi;
3) adanya langkah-langkah konkrit pemenuhan HAM
yang dapat diakses dan dinikmati masyarakat, khususnya kelompok marjinal, dan
lain-lain.
D.
PENUTUP
Dari
apa yang dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik beberapa kesimpulan,
yaitu:
- 1. Prinsip tanggung jawab negara memiliki kaitan erat dengan HAM. HAM yang dewasa ini telah diatur dalam hukum HAM internasional, pada awalnya dikembangkan melalui prinsip tanggung jawab negara atas perlakuan terhadap orang asing (state responsibility for the treatment of aliens). Dalam konteks penegakkan HAM, negara juga merupakan pengemban subjek hukum utama. Negara diberikan kewajiban melalui deklarasi dan kovenan-kovenan Internasional tentang HAM sebagai entitas utama yang bertanggung jawab secara penuh untuk melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM.
2. Penegakan HAM di
Indonesia sebenarnya sudah disinggung oleh para founding father Indonesia
dalam merumuskan naskah Undang Undang Dasar (UUD) Republik Indonesia 1945. Namun dalam tahapan implementasinya,
komitmen formal pemerintah pada persoalan penegakan HAM tidak dapat berjalan
dengan baik. Karena setiap instrument internasional tentang HAM mendefinisikan
tanggung jawab pemerintah/negara, tidak serta merta dilaksanakan dengan
sepenuhnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku:
Anthony Flew, 1984, A Dictionary of Philosophy,
New York:
Martin’s Press.
Bagir Manan, 2001, Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
Bandung: PT.
Alumni.
F. Sugeng Istanto, 1998, Hukum Internasional, Yogyakarta:
Atma Jaya Yogyakarta.
Frans Magnis Suseno, 2001, Etika Politik;
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jack Donnely, 2003, Universal Human Rights in
Theory and Practice, London: Cornell University Press.
Majda El Muhtaj, 2008, Dimensi-Dimensi HAM
Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Rhona K.M. Smith, Christian Ranheim, dkk., 2008 Hukum
Hak Asasi Manusia, Yogyakarta: PUSHAM UII.
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia; Sejarah,
Teori, dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, Terjemahan dari Human
Rights, Alih Bahasa: A. Hadyana Pudjaatmaka, Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.
Makalah
I Dewa Gede Palguna, Tanggung Jawab Individu
dan Negara Menurut Hukum Internasional, makalah penataran
hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia bagi perwira kostrad, bertempat di Markas
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), Jakarta, 21 Oktober 2008.
Jimly Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Materi
yang disampaikan dalam studium general pada acara The 1st
National Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember 2005.
Sri Palupi, Merumuskan
Indikator Pemenuhan dan Perlindungan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,
makalah pada “Seminar dan Lokakarya Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya”, yang
diselenggarakan PUSHAM-UII, Yogyakarta 16-18
April 2007.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan
Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional
tentang Hak-Hak Sipil dan Politik)
Sumber Lainnya:
http://els.bappenas.go.id.
Endnote:
[1] Jack
Donnely, Universal Human Rights in Theory and Practice, (London: Cornell University
Press, 2003), hlm. 21.
[2]
Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, dan
Budaya, (Jakarta:
PT.RajaGrafindo Persada, 2008), hlm. 17
[3]
Scott Davidson, Hak Asasi Manusia; Sejarah, Teori, dan Praktek dalam
Pergaulan Internasional, Terjemahan dari Human Rights, Alih Bahasa:
A. Hadyana Pudjaatmaka, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1994), hlm. 1
[4] Frans Magnis Suseno, Etika
Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2001), hlm. 145
[5]
Anthony Flew, A Dictionary of Philosophy (New York: Martin’s
Press, 1984), hlm. 306
[6] Majda El Muhtaj, Op.
Cit., hlm. 1
[7] Ibid.
[8]
F. Sugeng Istanto, Hukum Internasional, (Yogyakarta: Atma Jaya
Yogyakarta, 1998), hlm. 77
[0]
Rhona K.M. Smith, Christian Ranheim, dkk., Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008), hlm. 75
[10]
F. Sugeng Istanto, Loc. Cit.
[11] I Dewa Gede Palguna, Tanggung Jawab Individu dan Negara Menurut
Hukum Internasional, makalah penataran hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia bagi perwira
kostrad, bertempat di Markas
Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (KOSTRAD), Jakarta, 21 Oktober 2008,
hlm.7
[12] Rhona K.M. Smith, Christian
Ranheim, dkk., Op. Cit., hlm. 81
[13] Wiranto, Konsistensi Penegakan HAM di Indonesia,
http://els.bappenas.go.id., diakses terakhir pada tanggal 15 September 2011.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Bagir Manan, Perkembangan
Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia,
(Bandung: PT. Alumni, 2001), hlm 89.
[17] Jimly
Asshiddiqie, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, Materi yang disampaikan
dalam studium general pada acara The 1st National
Converence Corporate Forum for Community Development, Jakarta, 19 Desember
2005, hlm. 6-9.
[18] Ibid.
[19]
Sri Palupi, Merumuskan Indikator Pemenuhan dan Perlindungan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya, makalah pada “Seminar dan Lokakarya Hak-Hak
Ekonomi, Sosial, dan Budaya”, yang diselenggarakan PUSHAM-UII, Yogyakarta 16-18 April 2007, hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar