HANDOUT
Hukum Humaniter Internasional
Oleh :
Teguh Imam Sationo, S.H.,M.Sc.
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYA
MATARAM
YOGYAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan HHI
1.
Hukum
Perang
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum
Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang
sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu
sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang
menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya
mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian
membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat
merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan
pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang
antara bangsa bangsa.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat
ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia.
Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak
itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang
berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter
itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan
militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas
internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas
perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter
internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada
umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan
agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa
bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau
peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang
adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil,
anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International
Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai
hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum
sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal
dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam
kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an
dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and
Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam
hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum
humaniter :
a.
Jean
Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional
legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual
and his well being.”
b.
Geza
Herzeg : “ Part of the rule of public international law which serve as the
protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the
norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish
from these its purpose and spirit being different.”
c.
Mochtar
Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan
perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang
iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu
sendiri.”
d.
Esbjorn
Rosenbland : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan
berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai
dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup :
metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan
perang dan orang sipil.”
e.
S.R
Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang
timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan
sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
f.
Panitia
tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan
sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan
ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup
hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap
harkat dan martabat seseorang.”
Dengan
demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena
alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian
senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam
pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter
Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan
hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari
hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan
antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian
yang disepakati antara negara-negara-yang sering disebut traktat atau konvensi
dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum.
Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam perjanjian internasional, tetapi juga meliputi
kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
2.
Hukum
Sengketa Bersenjata
Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan
akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan
tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi
dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik,
ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan
intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf
Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan
cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan
bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan
politik dengan perjuangan tersebut.
Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa
Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya.
Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan. Dahulu
rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua
negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan.
Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan
teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi
sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah
melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan
alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat
dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya
sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan
melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak
ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas
yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal
ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang
menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi
antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam
suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau
gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme
baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang
sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi
juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun
masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami
bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik
di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak
langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap
konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara.
Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara
bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif
untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional
mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik
menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil,
ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi
aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh
masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di
India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri
sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan
jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
3.
Istilah-istilah HHI
Istilah hukum humaniter
atau lengkapnya disebut International humanitarian law applicable in armed
conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian
berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang
akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Harmoyataram
membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:
a.
Hukum yang mengatur mengenai cara dan
alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws).
b.
Hukum yang mengatur mengenai
perlindungan erhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum
Jenewa / The Geneva Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang
sebagai berikut:
a.
Jus ad
bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal
bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
b.
Jus un
bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi
menjadi dua, yaitu:
1)
Hukum
yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct
of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
2)
Hukum yang mengatur perlindungan
orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Berdasarkan
uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan
pokok, yaitu Hukum Den Haag dan hukum Jenewa.
Semula
istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah hukum perang
tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang
menelan banyak korban, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan
bahkan meniadakan perang. Uapaya-upaya tersebut adalah melalui:
a.
Pembentukan
LBB (Liga Bangsa-Bangsa).karena para anggota organisasi ini sepakat untuk
menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk
tidak memilih jalan perang, apabila mereka terlibat dalam suatu permusuhan.
b.
Pembentukan
Kellog-Briad Pact atau disebut pula dengan Paris Pacr 1928. Anggiota-anggota
dari perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang sebagai alat politik
nasional dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka dengan cara berdamai.
Sikap
untuk menghindari perang berpengaruh dalam perubahan penggunaan istiah,
sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict). Mengenai hal
ini Edward Kossoy menyatakan: “The term
of armed conflicts tends to replace at least in all relevant legal formulation,
the older notion of war. On purely legal consideration the replacement for war
by ‘armed conflict’ seems more justified and logical.”
Istilah
hukum sengketa bersenjata (law of armed
conflict) sebagai pengganti hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa tahun
2949 dan kedua Protokol Tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada
permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yaitu
konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle).
Dengan
adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami
perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional yang
berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International
Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter
Internasional (International Humanitarian
law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum Perang,
Hukum Sengketa Bersenjata dan Hukum Humaniter, namun istilah-istilah tersebut
memiliki arti yang sama.
4.
Tujuan Hukum Humaniter
Hukum
humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang
hukum humaniterm perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan
lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan
bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang
dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
a.
Memberikan perlindungan terhadap
kombatan maupun penduduk sipil dari
b.
penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
c.
Menjamin hak asasi manusia yang sangat
fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke
tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak dilakukan sebagai
tawanan perang.
d.
Mencegah dilakukannya perang secara
kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas
perikemanusiaan.
BAB II
PERKEMBANGAN
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
A.
Sejarah Perang
1.
Perang Perang Punisia ke-3 (49 SM - 146 SM)
Meski tidak satu pun dari Perang Punisia banyak
dikenal, Perang Punisia
ketiga adalah penting bagi Roma. Perang Punisia Kedua kemungkinan
yang paling menonjol.Bahkan jika Anda belum pernah mendengar tentang perang itu
sendiri, Anda mungkin pernah mendengar kisah Hannibal si buruk memerintahkan
pasukan gajahnya melalui Alpen dalam upaya untuk menaklukan Roma secara
tiba-tiba.
Kartago adalah kekuatan utama dari Afrika Utara dan
telah menjadi duri dalam daging Republik Romawi untuk beberapa
waktu. Sementara Perang Punisia pertama dan kedua telah terjadi di seluruh
Eropa selatan dan Afrika utara, Romawi memutuskan untuk melakukan perlawanan ke
Kartago di tahun 149 SM. Pasukan Romawi mengepung kota Kartago selama 3 tahun sampai kota dan kekaisaran
mereka jatuh. Ini merupakan kemenangan besar bagi Roma, memberi mereka pijakan
di Afrika dan mengendalikan sebagian besar Laut Mediterania.
Satu berita menarik tentang Perang Punisia Ketiga:
Karena tidak adanya catatan tentang deklarasi resmi untuk mengakhiri perang,
walikota Roma dan Kartago bertemu pada tahun 1985 untuk seremonial perdamaian.
Pertemuan dan perjanjian ini membawa Perang Punisia Ketiga berakhir setelah 2.134 tahun.
2.
Perang Salib Utara (1147 sampai Sekitar 1290)
Banyak
orang tahu sejarah Perang Salib di mana pasukan Kristen bentrok dengan pasukan
Muslim dalam upaya untuk mendapatkan kembali akses ke situs suci di Yerusalem.
Namun pada saat yang sama sedang berlangsung Perang Salib di Tanah Suci, Perang
Salib Utara juga terjadi di Skandinavia. Dalam Perang Salib, tujuannya adalah
untuk melenyapkan kelompok pagan dan pengikut mereka.
Perang
Salib Utara dimulai dengan Perang Salib Wendish di tahun 1147. Kerajaan Denmark
dan Swedia, Orde Teutonik, dan persaudaraan pedang Livonian (dua terakhir
merupakan perintah angkatan militer keagamaan) menyerbu tempat yang sekarang
timur laut Jerman dalam upaya untuk menundukkan kaum pagan di kawasan itu. Menyusul
keberhasilan militer, Paus Celestine III secara resmi menyerukan perang salib
melawan kaum pagan di tahun 1195. Perang Salib Utara berlangsung sampai akhir
1200-an dan mengakibatkan penaklukan Jerman Utara dan Negara Baltik dan
penyebaran agama Kristen ke tanah ini.
3.
Perang Telinga Jenkins 1739 –
1748
Perang
Telinga Jenkins 'telah berkecamuk di Karibia dan apa yang sekarang disebut Georgia dan Florida antara Inggris dan Spanyol. Konflik
ini merupakan bagian dari Perang yang lebih besar dari Suksesi Austria,
perang yang melibatkan hampir setiap negara di Eropa.
Nama
yang tidak biasa lahir dari sebuah insiden angkatan laut di Hindia Barat: Kapal
Kapten Robert Jenkins ditumpangi oleh pasukan Spanyol. Kapten Spanyol menuduh
kapal Inggris melakukan pembajakan dan sebagai akibatnya, telinga kiri Kapten
Jenkins dipotong. Beberapa catatan mengatakan Kapten Jenkins telinganya
dipotong saat dia menyampaikan cerita kepada House of Commons. Terlepas apakah
ini yang sebenarnya benar, tindakan oleh Spanyol sudah cukup sebagai tindakan
pemicu perang. Perang Telinga Jenkins terbukti menjadi upaya sia-sia, karena
tidak ada perubahan teritorial di Amerika baik untuk Inggris atau Spanyol
setelah perang utama di Eropa telah berakhir.
4.
Revolusi Amerika (1778-1783)
Banyak
akan berpikir pertempuran dalam Revolusi Amerika akan berlangsung di
Amerika.Namun, Revolusi Amerika telah terjadi jauh sampai di Eropa dan India,
dengan Perancis dan Spanyol memimpin orang-orang front. Selain bantuan pinjaman
di tanah Amerika, pasukan Perancis dan Spanyol "mengobarkan" ke
seluruh dunia. Perancis memiliki aliansi dengan Kerajaan anti Inggris
dari Mysore di India selatan. Tentara dan kapal Prancis ditempatkan di India
membantu Kerajaan Mysore melawan Inggris bersamaan terjadinya perang
kedua Anglo-Mysore.
Spanyol menggunakan peperangan kerajaan Inggris di
Amerika untuk keuntungan mereka. Sementara Spanyol mengirim tentara dan uang
untuk membantu orang Amerika, mereka juga melihat kerentanan Inggris di Eropa
dan memutuskan untuk memulai serangan untuk merebut kembali tanah yang dikuasai
oleh Inggris selama Perang Tujuh Tahun ini. Spanyol melawan Inggris di pulau
Gibraltar dan Minorca, di seluruh Hindia Barat, dan di daratan
Amerika. Bantuan Prancis dan Spanyol terbukti sangat berharga bagi
pemberontak Amerika , dengan kedua sekutu memainkan peran kunci dalam kekalahan
Inggris.
5.
Perang Quasi (1798-1800)
Meskipun Prancis telah memainkan peran utama dalam
membantu memenangkan Revolusi Amerika, Amerika Serikat dan Perancis segera
menemukan diri mereka sebagai musuh dalam perang angkatan laut. Selama ini
Perancis sedang berperang dengan Inggris selama Perang Koalisi Kedua, dan
Amerika Serikat telah resmi menyatakan netralitas mereka.Meskipun demikian,
Amerika Serikat masih berdagang dengan Inggris; perbuatan yang di mata Prancis,
memecahkan netralitas mereka. Juga selama masa itu Revolusi Perancis
terjadi, sehingga Prancis menjadi Republik.Hal ini menyebabkan AS untuk
menghentikan pembayaran utang ke Perancis, karena mereka mengklaim utang AS
adalah utang yang harus dibayar kepada monarki Perancis, bukan untuk Republik
Perancis.
Menanggapi situasi ini, angkatan laut Perancis dan
serdadu banyak mulai menyita kapal dagang Amerika menuju ke Inggris, dan
pemerintah Perancis menolak untuk bernegosiasi. Karena perdagangan Amerika
itu sukses besar selama beberapa bulan, Kongres berwenang memutuskan untuk
melakukan serangan terhadap kapal perang Prancis. Sebuah armada dari 54
kapal Amerika dikirim untuk berpatroli di Pasifik Juli 1798 dengan perintah
untuk menghancurkan atau menangkap privateers Perancis.Kerugian pada kedua
belah pihak termasuk sedikit. Pada tahun 1800 Perancis dan Amerika Serikat
datang ke kesepakatan untuk menghentikan permusuhan dan melanjutkan perdagangan
bebas.
6.
Perang Barbary Pertama (1801 – 1805)
Perang Barbary
Pertama adalah perang pertama terjadi antara Amerika Serikat danNegara
Barbary (yang sekarang menjadi negara Maroko, Aljazair, Tunisia, dan
Libya). Bajak laut barbary telah menyerang kapal-kapal di
sepanjang pantai Afrika dan di Mediterania, dan mengambil awak sandera pedagang
kapal untuk uang tebusan kembali ke negara asal mereka.
Pembicaraan diplomatik dengan Negara Barbary
mengalami kebuntuan, sehingga Tripoli menyatakan perang melawan Amerika
Serikat.Pertempuran pertama dari perang ini terjadi pada tanggal 1 Agustus 1801,
saat USS Enterprise menangkap bajak laut Tripoli .Selama tiga tahun ke depan,
armada Amerika memblokade pelabuhan Barbary dan menyerang armada musuh.
Pada musim semi tahun 1805 marinir Amerika dan
tentara bayaran bayaran menyerang melalui jalur darat dan merebut kota Derna.
Saat Tripoli terus diserang melalui laut dan sekarang pasukan AS semakin
dekat dengan Tripoli, Amerika Serikat dan pihak Tripoli menandatangani
perjanjian untuk mengakhiri perang, yang termasuk pembayaran sebesar $ 60.000
sampai Negara Barbary melepaskan semua tahanan Amerika.
7.
Perang Sonderbund November (3-29, 1847)
Swiss sering dianggap sebagai negara yang tetap
netral dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Pada 1847 Swiss menemukan
dirinya dalam perang dengan musuh yang tidak biasa: yaitu dirinya (swiss)
sendiri. Perang saudara pecah pada bulan November 1847 ketika beberapa kanton
Katolik (divisi administratif) dibentuk Sonderbund dan memisahkan diri dari
sisa sebagian besar kanton Protestan untuk mencegah pembentukan pemerintah
terpusat.
Pertempuran antara pemerintah Swiss dan pemberontak
kanton hanya berlangsung dua puluh enam hari dan diakhiri dengan para
pemberontak menyerah. Sepanjang bulan pertempuran, hanya delapan puluh sembilan
tewas. Beberapa bulan kemudian konstitusi baru disahkan, mengakhiri kemandirian
wilayah dan transisi Swiss menjadi negara federal.
8.
Perang Anglo-Zanzibar (27 Agustus 1896)
Perang Anglo-Zanzibar memegang perbedaan
menjadi perang terpendek dalam sejarah, selama 38 menit. Ketika Khalid bin
Barghash, Sultan Zanzibar baru berkuasa pada 1896, dia ingin negara untuk bebas
dari kontrol Inggris. Salah satu persyaratan oleh Inggris adalah untuk Sultan
baru agar meminta izin untuk penobatan dari Konsul Inggris.
Barghash
menolak, dan Inggris menganggapnya serius. Mereka menawarkan kepadanya pilihan:
meninggalkan istana dengan kehendak sendiri atau diusir paksa. Ketika waktu
yang ditentukan datang untuk membuat keputusannya, Sultan menanggapinya dengan
ketertutupan diri dalam istana dan memperkuat pertahanan. Lima kapal militer Inggris di pelabuhan di
luar istana dan melepaskan tembakan setelah kesepakatan itu telah habis.Tiga
Kapal Zanzibar kapal tenggelam, pertahanan pantai hancur, dan beberapa tentara
pembela tewas. Meskipun pertempuran berlangsung kurang dari satu jam, lebih
dari 500 pasukan Zanzibar tewas atau terluka, sebagian besar disebabkan amukan
api di dalam istana.Pasukan Inggris mengalami seorang pasukan terluka dan tidak
ada kematian. Setelah menyerah, Sultan Barghash digulingkan dan diberikan suaka
politik di Jerman Timur Afrika sementara Sultan pro-Inggris yang baru
dinobatkan.via : litserve
9.
Kampanye Kepulauan Aleutian (1942 –
194)
Kampanye Perang di Kepulauan Aleutian pada Perang
Dunia II adalah kampanye yang kurang diketahui orang tetapi mempunyai peran
yang penting, saat Alaska ( wilayah Amerika Serikat) diserang oleh pasukan
Jepang. Kepulauan Aleutian adalah rantai kepulauan di lepas pantai barat daya
Alaska, bagian dari pulau-pulau yang seperti tangan, yang membentang ke
Samudera Pasifik.
Invasi Jepang dimulai dengan serangan terhadap
Pangkalan Belanda diikuti penyurutan strategis, maka serangan lain lebih jauh
ke barat di pulau adak. Pasukan Amerika dikalahkan, yang memungkinkan Jepang
untuk menguasai pulau Kiska dan Attu yang tak terlindung. Dalam sebulan pasukan
Amerika melancarkan serangan balik dan selama empat belas bulan berikutnya,
pasukan Amerika dan Kanada perlahan memukul mundur infanteri dan kapal Jepang
d, berhasil merebut kembali kepulauan Aleutian .
Serangkaian insiden mengambil tempat ketika pasukan
Sekutu merebut kembali pulau Kiska.Pulau ini ternyata telah ditinggalkan. Tanpa
diketahui orang Amerika, Pasukan telah dievakuasi hampir tiga minggu
sebelumnya. Namun, banyak insiden tembak terjadi saat pertama kali infanteri
mendarat di pantai.Ditambah dengan radang dingin dan jebakan Jepang yang
ditinggalkan, 313 pasukan AS tewas saat mereka berusaha merebut kembali sebuah
pulau yang sudah kosong.
10.
Perang Soviet – Jepang (9 Agustus - 2 September, 1945)
Tanpa
diketahui banyak orang, tentara Soviet memainkan peran besar dalam penyerahan
diri oleh Jepang di PD II.Stalin telah setuju untuk bergabung dengan
pertempuran di Pasifik saat Jerman dikalahkan.
Pada
tanggal 8 Agustus, sehari sebelum bom atom Nagasaki,
Uni Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang dan mengejutkan mereka dengan
meluncurkan tiga invasi terpisah ke Manchuria
24 jam kemudian. Tentara Kwangtung yang membela daerah itu sebagian besar
hancur dan dipaksa untuk menyerah. Setelah menaklukkan Manchuria, pasukan
Soviet meluncurkan serangan ke Korea Utara, tetapi tujuan mereka mengendalikan
seluruh semenanjung dikalahkan ketika pemerintah Jepang menyerah kepada pasukan
Sekutu.
Dengan
Soviet yang cepat maju melalui wilayah mereka dan invasi yang sudah dekat
daratan Jepang, Jepang tidak bisa lagi bertahan.Dalam waktu kurang dari
sebulan, Uni Soviet telah berhasil merebut kembali tanah yang hilang selama
Perang Rusia-Jepang sebelumnya, menghancurkan sekelompok tentara utama Jepang,
dan membebaskan Manchuria.
B.
Sejarah
Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana
aturan-aturan hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi menyebutkan
“pencipta” dari hokum humaniter tersebut. Sekalipun dalam bentuknya yang sekarang relative baru, hukum
humaniter internasional atau hukum sengketa bersenjata, atau hukum perang,
memiliki sejarah panjang. Hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan
perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di bumi.
Sampai kepada bentuknya
yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang
sangat panjamg. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak
upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut
terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari
kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam
perang.
Upaya-upaya tersebut,yang acap kali
mengalami pasang surut, mengalami hambatan dan kesulitan sebagaimana akan
tergambar dalam uraian-uraian berikutnya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi
dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut ini:
1.
Zaman Kuno
Pada
masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan
musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk
sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang
berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik.
Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberitakan lebih dahulu. Lalu
untuk menghindari luka yang berlebihan makak ujung panah tidak akan diarahkan
ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan
berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati,
sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan pertempuran.
Juga,
dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500SM upaya-upaya seperti itu
berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai
berikut:
a.
Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang
sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya
pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrasi, kekebalan utusan musuh dan
perjanjian perdamaian.
b.
Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana
disebutkan dalam “Seven Works of True Mercy”, yang menggambarkan adanya
perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan kepada
musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit, dan menguburkan yang mati.
Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada
musuh anda”.seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu.
c.
Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang
dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan
atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang diatas
traktat. Pada penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu.
Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas.
Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan
penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan
bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
d.
Di India, sebagaimana tercamntum dalam
syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para satria dilarang
membunuh musuh yang cacat, yang menyerah; yang terluka harus dipulangkan ke
rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menembus hati atau
senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan
syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan
tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat
Indonesia juga dapat diteukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang
diberlakukan pada periode pra-sejarah, periode klasik, maupun periode islam.
Praktek dari kebiasaan dan hukum perang yang dilakukan antara lain tentang
pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan wanita
dan anak-anak sebagai sasaran serangan, dan juga tentang pengakhiran perang.
Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (Prasasti Talang Tuwo)
misalnya, berisikan berita Raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum).
Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang oleh bala
tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa diketahui adanya perintah
Raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.
2.
Abad
pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran
agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil”
atau just war. Ajaran Islam tentang perang antara lain bias dilihat dalam Al
Qur’an surah al Baqarah:190, 191, al Anfal:39, at Taubah:5, al Haj:9, yang
memandang perang sebagai sarana pembelaan diri, dan menghapuskan kemungkaran.
Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini, misalnya
mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan
senjata-senjata tertentu.
3.
Zaman
modern
Kemajuan yang menetukan terjadi mulai abad ke-18,
dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai
pecahnya Perang Dunia I. Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan
kebiasaan dalam berperang (jus in bello).
Sealah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya
organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun 1864. Pada
waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat, Presiden Lincoln meminta
Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah Insrtuctions for
Government of Armies of the United
States atau disebut Lieber Code,
dipublikasikan pada tahun 1863. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada
semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap
penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti
tawanan perang, yang luka, dan sebagainya.
Kovensi
1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang
Darat, 1864 dipandang sebgai Konvensi yang megawali Konvensi-konvensi Jenewa
berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan
langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.
Berdasarkan
Konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak
boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugasnya. Begitu
pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan
mati, baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda
Palang Merah diatas putih. Sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil
kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambing dari International
Committee of the Red Cross yang sebelumnya bernama International Committee for
the Aid of the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan
Henry Dunnant pada tahun 1863.
Dengan
demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses
hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembangan-perkembangan yang sangat
penting bagi hukum humaniter internasional, dikebangkan melalui traktat-traktat
umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara selah tahun1850. Jauh
sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang
merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari
berbagai Konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den
Haag, serta berbagai Konvensi lainnya di bidang hukum humaniter, sebagaimana
dapat dilihat di bab III.
BAB III
PRINSIP-PRINSIP
DASAR HHI
A.
Humanity/Perikemanusiaan
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk
memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan
kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau penderiataan yang tidak perlu.
B.
Military Necessity/Kepentingan Militer
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan
menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan
keberhasilan perang.
C.
Chivalry/Kesatriaan
prinsip ini mengandung arti bahwa di
dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak
terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat
dilarang. Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara
seimbang, sebagaimana dikatakan oleh Kunz.:
“Law of war, to be accepted and to
be applied in practice, must strike the correct balance between, on the one
hand the principle of humanity and chivalry, and on the other hand, military
interest”.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan
untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba
untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan
prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum
humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum
humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1.
Memberikan
perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang
tidak perlu (unnecessary suffering).
2.
Menjamin hak asasi
manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh.
Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak
diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.
Mencegah dilakukannya
perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.
BAB IV
AZAS-AZAS HHI
A.
Azas-azas
Kebiasaan Hukum Perang
Hukum Humaniter atau dikenal
juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung beberapa asas pokok
yang menjadi dasar ketentuan yang mengatur seputar tindakan yang dapat/boleh
dilakukan di dalam konflik bersenjata. Asas-asas tersebut yaitu
asas kepentingan militer (military necessity),
asas perikemanusiaan (humanity)
dan asas kesatriaan (chivalry).
Ketiga asas ini selalu
menjadi fondasi utama yang melandasi aturan-aturan di dalam hukum
humaniter.
Seorang
ahli bernama Kunz menyatakan bahwa “laws of war, to be accepted and to
be applied in practice, must strike the connect balance between, on the
one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military
interest“.
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu
sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir
asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus
mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan
Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari
peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi militer. Tanpa adanya
keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil akan terbentuk
aturan-aturan mengenai Hukum Perang. Di bawah ini akan dijelaskan
masing-masing asas tersebut :
1.
Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu
pihak yang kelompok bersenjata (belligerent)
mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan
keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum
perang. Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula
dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a.
Prinsip
Pembatasan (Limitation Principle)
Prinsip pembatasan adalah suatu
prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara
atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti
adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya
penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat
menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang
tidak perlu (unnecessary suffering);
dan lainnya.
b.
Prinsip
Proporsionalitas (Proportionality
Principle)
Adapun prinsip proporsionalitas
menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau
objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan
dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat
diperkirakan akibat dilakukannya serangan terhadap sasaran militer.
Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud proporsional di sini "bukan" berarti
keseimbangan.
Prinsip pembatasan dicantumkan di
dalam Pasal 22 dan 23 Hague
Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi
Den Haag), yang berbunyi “the
rights of belligerents to adopt means of injuring the enemy is not
unlimited” atau hak dari Belligerents
dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi
maksudnya sama dengan terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke
dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara
lebih rinci di dalam Pasal 23.
2.
Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang
bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka
dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang
berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, sebagaimana tercantum di dalam
Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan,
itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara
manusiawi”. Mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah
pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan
kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya
asas kemanusiaan (humanity) yang
menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam
peperangan, melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu
yang wajar secara hukum apabila
dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (kombatan)
dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika seorang
prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu
adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang
dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum
Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan
merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
Nah, disinilah letak perlunya asas
kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan
manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah
suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang
“dikikir ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga
mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya
jaringan tubuh manusia. Peluru tersebut disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum
bullets) karena diproduksi pertama kali di kota
Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang memiliki
efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter
sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Dekalarasi ke- III tahun
1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara
berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan
yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan
kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad
korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah yang dimaksud dengan
penderitaan yang tidak perlu.
3.
Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini
mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan.
Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta
cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar
di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter. Sebagai contoh, mari
kita lihat Konvensi Den Hagg ke III tahun 1907 mengenai permulaan
perang (the commencement of hostilities).
Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan
dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik
dalam bentuk pernyataan perang (declaration
of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of
war).
Bukankah
kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara
diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan
lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan
sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang
tercermin di dalam Konvensi Den Haag ke III.
Contoh
lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag ke IV
yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu
contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat (c) yang menetapkan bahwa seorang
kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai
musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan
ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal.
Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh,
dilukai atau dibuat "tidak berdaya" selagi ia menyerah atau tak mampu
lagi bertempur. Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
B.
Azas-azas Hukum
Den Haag dan Jenewa
1.
Hukum Den
Haag
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter
yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag
berarti kita membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan
pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
a.
Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan
hasil konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei – 29 Juli 1899). Konferensi
ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha
pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu
Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk
menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana
Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara
Austria, Prussia, dan Rusia). Seperti yang diketahui bahwa Quadruple Alliance
yang ditandatangani oleh Austria, Prussia, dan Inggris tanggal 20 November 1815
merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814 – Juni 1815 untuk
mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di
Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815.
Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka
pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia, Count Mouravieff mengedarkan surat
kepada semua Kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg
berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan
mengurangi persenjataan. Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 mei 1899 itu
berlangsung selama 2 bulan menghasilkan 3 konvensi dan 3 deklarasi pada tanggal
29 Juli 1899. Adapun 3 konvensi yang dihasilkan adalah:
1)
Konvensi I tentang Penyelesaian Damai
Persengketaan Internasional.
2)
Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan
Perang di Darat.
3)
Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas
Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan 3 deklarasi yang dihasilkan adalah sebagi
berikut:
1)
Melarang penggunaan peluru-peluru
dum-dum (peluru-peluru yang bukngkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam
sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2)
Peluncuran proyektil-proyektil dan
bahan-bahan peledak dan balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun
1905 juga dilarang.
3)
Penggunaan proyektil-proyektil yang
menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.
2.
Konvensi-konvensi
Den Haag 1907
Konvensi-konvensi ini adalah merupakan hasil
Konferensi Perdamaian ke II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I
tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi
Perdamaian II di Den Haag menghasilkan sejumlah konvensi sebagai berikut:
a.
Konvensi I tentang Penyelesaian Damai
Persengketaan Internasional;
b.
Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan
Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
c.
Konvensi III tentang Cara Memulai
Peperangan;
d.
Konvensi IV tentang Hullum dan Kebiasaan
Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
e.
Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban
Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat;
f.
Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang
Musuh pada saat Permulaan Peperangan;
g.
Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang
menjadi Kapal Perang;
h.
Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau
Otomatis didalam laut;
i.
Konvensi IX tentang Pemboman oleh
Angkatan Laut di waktu perang;
j.
Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas
Konvensi Jenewa tentang perang di laut;
k.
Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu
terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
l.
Konvensi XII tentang Mahkamah
Barang-Barang Sitaan;
m.
Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban
Negara Netral dalam perang dilaut.
Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 itu maka F. Sugeng Istanto menjelaskan
bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda
yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan
oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan
Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
3.
Konvensi
IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan
Kebiasaan Perang di Darat yang judul lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land merupakan
penyempurnaan dari Konvensi Den Haag tahun 1899 yaitu Konvensi II Den Haag 1899
mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV Den Haag 1907, hanya
terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations.
Klausula Si Omnes
Pasal 2 dari Konvensi IV Den Haag 1907 mengatur apa
yang disebut dengan Klausula Si Omnes yaitu bahwa Konvensi hanya berlaku
apabila kedua pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah
satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Hal ini tercantum dalam pasal 2:
“The
provision contained in the Regulation to in art. 1, as well as in the present
Convention, are only biding between Contracting Powers, and only if all the
Belligerents are parties to the Conventions”.
Pasal 2 menetapkan bahwa
Konvensi dan Hague Regulations (HR) hanya berlaku apabila pihak-pihak yang
berperang atau pihak yang terlibat dalam perang adalah pihak dari Konvensi ini.
Dengan demikian pasal 2 menetapkan apabila salah satu pihak bukan peserta
konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Pasal 2 ini lazim disebut Klausula
Si Omnes.
Di
samping pasal 2 Konvensi Den Haag di atas, perlu pula diperhatikan pasal-pasal
dari Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), seperti:
Pasal 1 Hague Regulations
Pasal 1 HR menentukan
siapa saja yang termasuk ‘belligerents’, yaitu tentara. Pasal ini juga mengatur
tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kelompok militia (milisi) dan
korps sukarela, sehingga mereka disebut sebagai kombatan, yaitu :
a)
Dipimpin
oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
b)
Memakai
tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;
c)
Membawa
senjata secara terbuka;
d)
Melaksanakan
operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
Pasal 2 Hague Regulations
Pasal ini membicarakan
mengenai Levee en Masse, yang dikategorikan sebagai ‘belligerent’, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
a)
Penduduk
dari wilayah yang belum diduduki;
b)
Secara
spontan mengangkat senjata;
c)
Tidak ada waktu mengatur diri;
d)
Membawa senjata secara terbuka;
e)
Mengindahkan hukum perang.
Pasal 3 Hague Regulations
Pasal 3 HR menetapkan bahwa Angkatan Bersenjata
sebagai pihak yang berperang terdiri dari kombatan dan non kombatan, yang
apabila tertangkap oleh musuh, kedua-duanya harus diperlakukan sebagai tawanan
perang. Perlu dicatat bahwa non kombatan yang dimaksud dalam pasal 3 bukanlah
penduduk sipil, tetapi bagian dari Angkatan Bersenjata yang tidak turut tempur.
Pasal-pasal Hague Reguations yang mengatur cara dan alat berperang Pasal-pasal
mengenai hal ini secara khusus diuraikan lebih lanjut dalam bab IV.
4.
Konvensi
V Den Haag mengenai Negara dan Orang Netral dalam Perang di Darat
Konvensi V Den Haag 1907 berjudul “Neutral Power and
Persons in Land Warfare”. Dengan melihat judul tersebut, maka harus dibedakan
antara Neutral Power (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang Netral).yang
dimaksud “negara netral” adalah suatu negara yang menyatakan akan bersifat
netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian tidak
ada keharusam bagi negara netral tersebut untuk membantu salah satu pihak.
Sebagai negara netral, maka kedaulatan negara tersebut, dalam suatu peperangan,
tidak boleh diganggu dan dilanggar (hal ini tercantum dalam pasal 1 Konvensi V
yang menyatakan secara tegas bahwa “the
territory of Neutral Powers is inviolable”.
Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari
negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh
para pihak yang sedang bersengketa. Demikian pula, apabila para pihak yang
bersengketa hendak mengirim suatu peralatan militer seperti amunisi dan
peralatan lainnya, maka pengiriman peralatan militer tersebut tidak boleh
melalui suatu negara netral (hal ini ditentukan dalam pasal 2 Konvensi yang
berbunyi: “Belligerents are forbidden to move across the territory of a neutral
power troops or convoys, either of munition of war of supplies”). Para pihak
yang bersengketa juga dilarang untuk mendirikan suatu stasiun radio di wilayah
negara netral, dan dilarang memakai instalasi radio yang berada di wilayah
tersebut, yang sudah dibuat sebelum perang, semata-mata untuk kepentingan
militernya (hal ini tertera dalam pasal 3
5.
Konvensi
XIII Den Haag 1907 mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di
Laut
Konvensi XIII Den Haag 1907 berjudul “Neutral Rights and Duties in Maritime War”,
secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negaranegara netral dalam
perang di laut. Sebagaimana halnya dengan Konvensi Den Haag V, maka Konvensi
XIII ini menegaskan bahwa kedaulatan dari negara netral tidak hanya berlaku di
wilayah teritorialnya (wilayah darat) saja, namun juga berlaku bagi wilayah
perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang)
melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan
sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut.
Tindakantindakan tu misalnya setiap tindakan permusuhan, termasuk tindakan
penangkapan dan pencarian yang dilakukan oleh kapal perang negara yang
bersengketa di perairan netral, maupun penggunaan pelabuhan dan peraian netral
oleh pihak yang berperang.
C.
Prinsip Fundamental HHI dalam Sengketa Bersenjata
(Hukum Jenewa)
Bahwa hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam
Hukum Humaniter, sebagaimana dikemukakan oleh Jean Piectet bahwa:
“humanitarian law has
two branches, one bearing the name of Geneva, an
the ther name of the Hague”.
Hukum Jenewa, yang
mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian
pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang
masing-masing adalah:
1.
Geneva Convention for the
Amellioration of the Condition of the Wounded and Sick Armed Forces in the
Field;
2.
Geneva Convention for the
Amellioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of
Armed Forces at Sea;
3.
Geneva Convention relative to the
Treatment of Prisoners of War;
4.
Geneva Convention relative to the
Protection of Civillian Persons in Time of War.
Keempat Konvensi Jenewa
tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977, ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan
1977 yakni disebut dengan ;
1.
Protocol Additional to the Geneva
Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of
International Armed Conflict (Protocol I); dan
2.
Protocol Additional to the Geneva
Convention of Victims of Non International Armed Conflicts (Protocol II).
Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahn dari
Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian
terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan
yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan korban karam dalam suatu
peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara
berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban
pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang
korban pertikaian bersenjata non-internasional.
Baik Konvensi-konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol-protokol Tambahannya
tahun 1977 merupakan sumber-sumber hukum utama hukum humaniter. Dalam Konvensi
Jenewa, beberapa pasal diantaranya dipandang sangat penting dan mendasar
sehingga perlu dicantumkan di setiap Konvensi, baik diletakkan pada nomor pasal
yang sama, maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi yang sama atau hampir
sama. Pasal-pasal tersebut lazim disebut ketentuan-ketentuan yang bersamaan
atau “common articles”. Common articles ini meliputi beberapa hal penting,
sperti ketentuan umum (pasal 1, 2, 3, 6-11); ketentuan hukum terhadap
pelanggaran dan penyalahgunaan (pasal 49, 50, 51, dan 52); ketentuan mengenai
pelaksanaan dan ketentuan penutup (pasal 55-64).
Konvensi Jenewa sendiri telah menentukan apa saja yang dimaksud dengan
pelanggaran berat, sebagaimana tercantum dalam pasal 50 Konvensi I, yaitu:
1.
Pembunuhan yang disengaja;
2.
Penganiayaan atau perlakuan tak
berkeperimanusiaan, termasuk pencobaan biologis;
3.
Menyebabkan dengan sengaja, penderitaan
besar atau luka berat, atas badan atau kesehatan;
4.
Pembinasaan yang luas dan tindakan atas
pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan
yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.
D.
Sumber-Sumber
Hukum Lainnya
Sumber hukum utama dari hukum humainter adalah Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa, dimana Hukum Jenewa mengatur perlindungan korban perang dan Hukum Den
Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Selain kedua sumber hukum hukum
utama tersebut, Hukum Humaniter juga mengenal sumber hukum lainnya, misalnya
Protokol Tambahan 1977 yang sering disebut dengan hukum campuran karena selain
mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang dan juga terdapat hal
yang mengatur mengenai cara dan alat berperang, dan ketentuan lain yang
disampaikan pada bab II. Selain itu, terdapat pula sumber di bidang hukum
humaniter yang lain seperti:
1)
Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap
dihapus
2)
Bendera Netral melindungi barang-barang
musuh, kecuali kontraband perang
3)
Barang-barang netral di bawah bendera
musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang
4)
Supaya mengikat blokade harus efektif,
artinya dilakukan oleh sesuatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar dapat
mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.
1.
Deklarasi
Paris (16 April 1856)
Deklarasi ini mengatur tentang Perang di Laut yang
dirumuskan berdasarkan pengalaman perang Krim (1864), dimana dua negara yang
bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di
laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi
Paris dimuat asasasas seperti berikut ini:
2.
Deklarasi
St. Petersburg (29 Nov – 11 Des 1868)
Berhubung pada tahun 1863 telah ditemukan sejenis peluru,
yang apabila mengenai benda yang keras permukaannya sehingga tutupnya dapat
meledak, maka Tsar Alexander II dari Rusia memprakarsai Konferensi di kota St.
Petersburg (pada zaman Uni Soviet, kota ini dirubah namanya menjadi Leningrad.
Sesudah zaman Uni Soviet bubar nama St. Petersburg dipergunakan lagi). Tujuan
deklarasi itu adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam yang
diuraikan di atas.
3.
Rancangan
Peraturan Den Haag tentang Perang di Uadara (1923)
Ketentuan khusus tentang pertempuran di udara
dirancang oleh sebuah Komisi dari para ahli hukum di Den Haag mulai bulan
Desember 1922 sampai Februari 1923 sebagai realisasi Konferensi Washington
1922. Tujuan pokok Komisi sebenarnya semula hanya untuk mengatur penggunaan
radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dimaksudkan untuk dipergunakan
sebagi pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur tentang
penggunaan pesawat udara dengan segala peralatan yang dimiliki, didalam
pertempuran. Sebagian besar ketentuan mendasari kepada asas-asas umum dan hukum
dan kebiasaan-kebiasaan perang di darat dan laut.
4.
Protokol
Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelanggaran Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam
Gas Lainnya dalam Peperangan
Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam
suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi.
Larangan itu mencakup larangan pemakaian gas air mata dalam perang dan
pemakaian herbisida untuk kepentingan perang.
5.
Protokol
London (6November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam
Pertempuran.
Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi
tentang Hukum Perang di Laut yang dibentuk di London tanggal 26 februari 1989
dan belum pernah diratifikasi.
6.
Konvensi
Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya pada Waktu Pertikaian
Bersenjata
Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti
Rumah Ibadah, Museum, dan sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk
kepentingan militer, semaksimal mungkin harus dilindungi terhadap serangan.
Pasal 19 konvensi ini mewajibkan setiap pihak yang terlibat dalam sengketa
bersenjata, untuk melindungi benda budaya, meskipun sengketa tersebut tidak
bersifat internasional. Konvensi ini membedakan antara dua tingkat
perlindungan, yaitu perlindungan umum dan perlindungan khusus.
Dimasa damai, setiap negara harus mempersiapkan
perlindungan benda budaya di wilayahnya dari akibat pertikaian bersenjata.
Untuk itu, objek budaya dapat dilindungi, antara lain dengan cara mendirikan
bangunan khusus, dengan merencanakan pemindahannya ke tempat yang lebih aman,
atau dengan menandainya dengan tanda pelindung khusus. Semua tindakan ini
merupakan perlindungan umum. Di samping itu, benda budaya dapat juga dilindungi
secara khusus, dengan mencatatnya dalam “Daftar Internasional Objek Budaya di
bawah Perlindungan Khusus” yang berada di bawah pertanggungjawaban Direktur
Jenderal Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu, dan Kebudayaan (UNESCO).
Tindakan ini merupakan perlindungan khusus.
7.
Konvensi
Senjata Konvensional Tertentu (10 Okt 1980) tentang Larangan atau Pembatasan
Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Mengakibatkan Penderitaan yang
Berlebihan
Konvensi ini juga merupakan landasan hukum untuk
melarang atau membatasi penggunaan senjata lainnya yang dapat mengakibatkan
penderitaan yang berlebihan. Konvensi ini mengatur tentang prosedur dan
meringkas prinsip-prinsip hukum. Ketentuan-ketentuan ini termuat dlam empat
buah protokol yang terlampir. Setiap negara yang mau menandatangani Konvensi
ini harus meratifikasi paling tidak dua dari empat protokol tersebut.
Protokol I melarang menggunakan proyektif yang
menyebabkan pecahan yang tidak dapat ditemukan melalui sinar X dalam tubuh
manusia. Protokol ini menyinggung khususnya bom yang mengandung pecahan daru
bahan plastik.
Protokol II melarang penggunaan ranjau, booby-traps dan peralatan lain terhadap
masyarakat sipil, serta penggunaannya secara membabi buta yang mengakibatkan
penderitaan yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang
diperoleh. Protokol ini menyinggung khususnya penggunaan ranjau di luar daerah
militer dan melarang segala keadaan ranjau/booby trap yang diciptakan untuk
menyebabkan penderitaan yang berlebihan. Dilarang memasang ranjau ke dalam
barang-barang seperti mainan anak-anak. Disamping itu, Protokol II menentukan
agar dibuatnya peta dari setiap medan ranjau, guna melindungi masyarakat sipil
dalam segala keadaan. Protokol III melarang penggunaan senjata pembakar
terhadap masyarakat sipil. Protokol ini merupakan suatu kemajuan yang besar.
Selain itu, tentunya menjadi sumber hukum lainnya
yang tidak kalah penting artinya ialah keputusan Mahkamah Internasional seperti
pengadilan penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo, kemudian diikuti dengan
pembentukan peradilan yang sama bagi kejahatan perang di bekas negara
Yugoslavia, dan di Rwanda. Setelah mengetahui tentang sumber-sumber hukum yang
dapat dipergunakan dalam hukum humaniterm maka apabila pada suatu kasus tidak
terdapat sumber hukum yang dapat dijadikan acuan, maka menurut hukum humaniter,
hal itu dapat mengacu kepada sumber hukum lainnya, yaitu prinsip-prinsip hukum
internasional, prinsip kemanusiaan dan “dictates of public conscience”. Hal
inilah yang disebut dengan “Klausula
Martens”.
Klausula
Martens mula-mula terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den hag ke-II tahun 1899,
mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Adapun isi klausula tersebut, secara lengkap, adalah
sebagai berikut:
“until a more
complete code of laws of war is issued, the High Contracting Parties think it
right to declare than in cases not included in the Regulations adopted by them,
populations and belligerents remain under the protection and empire of the
principles of international law, as they result from the usages established
between civilized nations, from the laws of humanity and the recruitment of the
public conscience”.
Secara
ringkas, kalusula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur
suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang
dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang
terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari
hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik (public conscience).
Klausula
Martens sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan
internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam
pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga mengacu pada
‘prinsip-prinsip kemanusiaan’ (principles
of humanity) dan ‘pendapat publik’ (the
dictates of public conscience). Kedua
istilah ini harus sepenuhnya dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa dengan “laws of humanity” (hukum kemanusiaan).
E.
Hubungan
Prinsip Palang Merah Internasional dengan Konvensi Jenewa
Jika anda melihat isi dari Konvensi-konvensi Jenewa, jelas tersebut bahwa mereka yang mengenakan
tanda pelindung yaitu palang merah, tidak boleh diserang. Disebutkan pula, bahwa hanya kesatuan medis angkatan perang dan ICRC (serta badan palang merah
dari setiap Negara) saja, yang berhak menggunakannya. Dengan kata lain,
Negara-negara sepakat termasuk Israel dan Palestina tentunya bahwa hanya pihak yang berhak menggunakan
tanda perlindungan saja, yang boleh masuk ke lokasi perang dan keberadaannya
dilindungi serta disahkan oleh hukum internasional. Pihak lain? Hingga saat ini
belum diatur dalam hukum internasional, kecuali kesepakatan untuk perlindungan
atas keberadaan badan-badan milik PBB.
Mengapa hingga saat ini, di wilayah-wilayah pendudukan, hanya ICRC (dan
PBB) saja yang bisa dengan ‘aman dan diijinkan’ untuk masuk memberi bantuan
kepada para korban perang. Termasuk di wilayah Gaza tentunya. Adapun jika
Negara-negara ingin membantu, maka badan palang merah di Negara tersebutlah
yang bisa berkoordinasi dengan ICRC. Dengan kata lain, Negara – melalui badan
palang merah nasionalnya – dapat memberi bantuan langsung kepada para korban
perang tanpa melalui birokrasi kenegaraan bahkan tanpa perlu ada hubungan
diplomatik terlebih dahulu.
Itulah sebabnya mengapa walaupun Indonesia belum memiliki hubungan
diplomatik dengan Israel, namun PMI sebagai badan palang merah nasional di
Indonesia, dapat langsung mengubungi badan palang merah Israel (yang bernama
Magen David Adom) dan sekaligus menghubungi ICRC untuk meminta mereka membantu
evakuasi relawan yang diserang oleh tentara Israel serta meminta Magen David
Adom (MDA) membantu memonitor keadaan 2 WNI yang masih dirawat serta upaya
evakuasi.
Begitu pun dengan Bulan Sabit Merah Palestina. Lambang bulan sabit merah
adalah alternative lambang palang merah yang memiliki fungsi sama; sebagai
tanda pelindung. PMI dapat menghubungi langsung Bulan Sabit Merah Palestina,
dan antara Bulan Sabit Merah Palestina dengan MDA tetap dapat saling
bekerjasama. PMI pun dapat bekerjasama dengan keduanya. Hal itu dibuktikan
dengan datangnya Presiden Bulan Sabit Merah Palestina beberapa waktu lalu ke
Indonesia (PMI) untuk kunjungan balasan dan komitmen untuk bekerjasama lebih
lanjut. Adapun permintaan serupa dari MDA belum dapat dipenuhi oleh PMI dengan
berbagai pertimbangan.
Kondisi netralitas demikianlah yang kemudian menjadi syarat dan komitmen
Negara-negara, bahwa hanya boleh ada satu badan palang merah nasional (disebut
dengan perhimpunan nasional) di suatu Negara – baik yang menggunakan tanda atau
lambang palang merah maupun tanda atau lambang bulan sabit merah. Negara harus
memilih salah satu dan harus melindungi keduanya agar tidak digunakan oleh
pihak-pihak yang tidak berhak, selain yang disebut dalam Konvensi Jenewa.
Penyalahgunaan lambang atau penggunaan lambang oleh pihak yang tidak berhak, adalah
pelanggaran atas Konvensi Jenewa dan merupakan kewajiban Negara untuk
mengaturnya.
BAB V
KETENTUAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL
TAMBAHAN
A.
Prinsip
Konvensi dan Prinsip Hukum Umum
Berbeda dengan perjanjian dan
kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum jarang disebut dalam
instrumen-instrumen hukum humaniter maupun dalam penjelasan-penjelasan
resminya. Prinsip-prinsip hukum umum yang menurut Statuta Mahkamah Pengadilan
Internasional diartikan sebagai prinsip-prinsip yang terdapat dalam semua
sistem hukum, memang tidak banyak yang dapat diformulasikan secara tepat untuk
menjadi operasional. Namun demikian, prinsip-prinsip hukum umum ini seperti
antara lain prinsip itikad baik (good
faith), prinsip pacta sunt servanda dan prinsip proporsional, yang telah
menjadi kebiasaan internasional dan telah dikodifikasi, juga berlaku dalam
sengketa bersenjata dan dapat bermanfaat dalam melengkapi dan menerapkan hukum
humaniter.
Dalam hukum humaniter, yang lebih
penting daripada prinsip-prinsip hukum umum yang disebut tadi antara lain
asas-asas umum dari hukum humaniter; antara lain
prinsip pembedaan (distinction
principle) dan prinsip tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak
perlu (unnecessary suffering principle).
Prinsip-prinsip tersebut memang tidak didasarkan pada suatu sumber hukum internasional
yang terpisah, tetapi pada perjanjian-perjanjian, kebiasaan dan prinsip-prinsip
hukum umum. Di satu pihak, prinsip-prinsip ini berasal dari aturan-aturan yang ada
yang secara jelas menyatakan substansi dan artinya. Di lain pihak,
prinsip-prinsip tersebut mengilhami aturan-aturan yang ada, mendukung,
memperjelas dan harus digunakan untuk menafsirkan aturan-aturan itu. Suatu
pengakuan tegas tentang keberadaan dan contoh-contoh penting dan khusus dari
prinsip-prinsip umum hukum humaniter adalah pertimbangan kemanusiaan yang
mendasar (elementary consideration of
humanity) dan Marten Clause.
B.
Larangan
Reprisal
Reprisal atau balas dendam adalah
tindakan yang illegal yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pembalasan atas
tindakan illegal yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh negara lain. Kasus
klasik yang menangani masalah reprisal ini adalah kasus Naulilaa. Pengadilan
menyatakan bahwa reprisal dapat dibenarkan dan dilakukanm ketika terdapat
pembenaran akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya yang telah
melanggar hukum internasional. Jika hal ini terjadi, reprisal harus dilakukan
atas dasar rasa tidak puas terhadap pemulihan dan disertai dengan tindakan yang
proporsional antara pelanggaran dan reprisal tersebut.
Ketentuan ini terdapat dalam keempat Konvensi,
yang dengan tegas dan mutlak melarang diilakukannya tindakan kekerasan terhadap
orang-orang dan bangunan serta perlengkapan Perlengkapan yang dilindungi konvensi.
Pasal 46 konvensi menyatakan
“Tindakan-tindakan pembalasan terhadap
yang luka, sakit, para pegawai, bangunan atau perlengkapan yang dilindungi oleh
konvensi ini dilarang”.
Walaupun demikian,
dalam hal-hal tertentu hukum internasional masih memperkenankan dilakukannya pembalasan
(reprisal) ini. Hal ini disebabkan, karena dalam taraf internasional pembalasan
pada hakekatnya merupakan suatu bentuk dari “self-defence” yang masih belum bisa
dilarang. Minimum order dikatakan sebagai upaya meminimalisasi (mengurangi atau
menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Selanjutnya akan
dibahas mengenai unsur-unsur yang terkait mengenai masalah minimum order. Pasal
2 Ayat (4) Piagam PBB sebagai Dasar Larangan Penggunaan Paksaan dan/atau
Kekerasan. Perwujudan minimum order dalam hukum internasional pada dasarnya
dituangkan secara tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyatakan:
All Members shall refrain in their
international relations from the threat or use of force against the territorial
integrity or political independence of any state, or in any other manner
inconsistent with the Purposes of the United Nations.
Pendahulu PBB, yaitu Liga Bangsa-Bangsa pada dasarnya juga menyebutkan
prinsip meminimalisasi kekerasan dalam bagian pembukaan, namun hanya dalam
rangka pencapaian perdamaian dan keamanan internasional serta kewajiban untuk
tidak melakukan perang. Ketika Pasal 2 ayat (4) masih dalam rancangan, sengaja
tidak digunakan istilah war atau perang, melainkan “the threat of force”.
War atau perang memiliki
arti yang lebih teknis dan sempit, sementara negara-negara terkadang terlibat
dalam sebuah situasi yang mengancam namun tidak menyatakan bahwa mereka secara
teknis sedang dalam perang. Situasi yang mengancam ini dapat berupa insiden
perbatasan yang berskala kecil, hingga operasi militer yang besar. Pasal 2 ayat
(4) Piagam PBB ini dielaborasikan dan dianalisis secara sistematis dalam Declaration on Principles of International
Law (1970). Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa:
Pertama, tindakan atau
perang dengan cara agresi, mengandung kejahatan terhadap perdamaian, dimana
terdapat suatu pertanggunjawaban dalam hukum internasional. Kedua, negara-negara dilarang
menggunakan ancaman atau kekerasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam
hukum internasional atau dalam menyelesaikan sengketa. Ketiga, negara berkewajiban untuk menghindari penggunaan kekerasan
dalam tindakan reprisal (pembalasan).
Keempat, negara dilarang menggunakan
kekerasan untuk membatasi sekelompok orang untuk menentukan nasib sendiri atau
menentukan kemerdekaannya. Kelima,
negara harus menghindarkan diri dari tindakan membantu atau mengatur
perselisihan sipil atau terorisme di negara lain dan menghindarkan diri untuk
mendorong dibentuknya pasukan yang digunakan untuk menyerang secara mendadak di
wilayah negara lain. Perlu diketahui bahwa Pasal 2 ayat (4) juga meliputi
ancaman kekerasan (selain penggunaan kekerasan). Masalah ini dinyatakan dalam
sebuah advisory opinion di Mahkamah Internasional (International Court of
Justice atau ICJ) kepada Majelis Umum PBB perihal Keabsahan Ancaman atau
Penggunaan Kekerasan dalam Senjata Nuklir.
C.
Larangan
Pelepasan Hak
Pasal 7 adalah mengatur mengenai larangan bagi orang-orang yang dilindungi
konvensi untuk melepaskan hak-hak yang mereka peroleh di bawah konvensi-konvensi
Jenewa tahun 1949. Pasal 7 menyatakan bahwa “yang luka dan sakit, begitupun anggota
dinas kesehatan serta rohaniwan-rohaniwan sekali-kali tidak boleh menolak sebagian
atau seluruhnya hak-hak yang diberikan kepada mereka oleh konvensi ini, serta
oleh persetujuan-persetujuan khusus seperti tersebut dalam pasal terdahulu, apabila
ada”.
Ketentuan Pasal 7 keempat konvensi ini bertujuan agar negara penawan tidak mungkin
lagi mengelakkan kewajiban-kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada
orang-orang yang telah jatuh ke dalam tangannya, dengan alasan bahwa mereka
“dengan sukarela”
atau “atas
kemauan sendiri” telah menolak hak-hak dan jaminan yang diberikan oleh konvensi-konvensi
kepada mereka.
D.
Pengawasan
1.
Pengawasan
dan Perlindungan
a.
Negara Pelindung,
Mengenai ketentuan
ini terdapat dalam Pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi “konvensi ini harus dilaksanakan
dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara Pelindung yang berkewajiban
melindungi kepentingan-kepentingan pihak-pihak dalam sengketa. Untuk maksud ini,
negara-negara Pelindung boleh mengangkat di samping diplomatik dan konsuler mereka,
utusan-utusan yang dipilih dari antara warga negara mereka atau warga
negara-warga negara.
b.
Negara netral
lainnya.
Utusan tersebut harus
mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan
kewajiban-kewajiban mereka”. Ketentuan - ketentuan mengenai negara Pelindung
ini yang akan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa oleh pihak-pihak
dalam sengketa sangat penting lainnya.
2.
Pengawasan
dan Bantuan
Palang Merah
Internasional dan Organisasi Perikemanusiaan lainnya dalam ketentuan mengenai
hal ini terdapat dalam Pasal 9, yang menyatakan “ketentuan-ketentuan konvensi
ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang
mungkin diusahakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau tiap organisasi
humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka
dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan
itu mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”. Pasal ini
membuka kemungkinan untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh Palang
Merah atau organisasi humaniter.
E.
Sanksi
Ketentuan - ketentuan mengenai pemberantasan
pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi terdapat dalam Pasal 49-50 Konvensi
I, Pasal 50-51 Konvensi II, Pasal 129-130 Konvensi III dan Pasal 146-147
Konvensi IV. Pasal 49 Konvensi I menyatakan :
“ Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang
yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang
melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran
berat atas Konvensi ini seperti di dalam pasal berikut.
Tiap Peserta Agung berkewajiban untuk
mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk
melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang
tersebut dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak Peserta Agung, dapat juga,
jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya sendiri,
menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain
Yang berkepentingan, orang-orang
tersebut untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung tersebut dapat
menunjukkan suatu perkara prima facie.
Tiap Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas
selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan
yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh
harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tidak
boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi
Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam Pasal
105 dan seterusnya.
Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap
pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi pihak
penandatangan seperti terdapat Pasal 49 ini, harus dilihat dalam hubungannya dengan
ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penandatangan tidak saja harus menaati
ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan
konvensi”
F.
Penyebarluasan
Konvensi
Mengenai kewajiban pihak Penandatangan
untuk menyebarkan pengetahuan tentang konvensi- konvensi ini terdapat dalam
Pasal 47, yang menyatakan bahwa “Pihak Peserta Agung berjanji untuk, baik di
waktu damai, maupun di waktu perang, menyebarkan teks konvensi ini seluas mungkin
dalam negara mereka masing- masing, dan terutama untuk memasukkan pengajarannya
dalam program-program pendidikan militer, dan jika mungkin dalam program pendidikan,
sehingga asas-asas konvensi ini dapat dikenal oleh seluruh penduduk, terutama
oleh angkatan perang, oleh anggota kesehatan dan rohaniwan”.
Hal ini dimaksudkan, agar orang-orang yang
dilindungi konvensi mengetahui tentang hak-haknya, karena akibat dari peperangan
ini tidak hanya terbatas pada pihak-pihak yang berperang dan angkatan
bersenjata semata, namun meliputi seluruh rakyat.
BAB VI
JENIS
KONFLIK BERSENJATA
A.
International
Armed Conflict
Secara garis besar, hanya
ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter
sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan
Protokol Tambahan 1977 yaitu :
1)
“Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international
armed conflict); serta
2)
“Sengketa bersenjata yang bersifat
non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk
konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Selain Konvensi Jenewa dan Protokol
Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik
bersenjata, antara lain :
1.
Starke,
membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and
armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed
conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara
menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah
“declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration
of war”.
2.
Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
a.
Konflik
bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
b.
Konflik
bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara
atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye
pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi
Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96,
Paragraf 2.
c.
Konflik bersenjata antar pihak peserta
(negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang
belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4,
Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
d.
Konflik bersenjata antara dua bukan
pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa
Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
e.
Konflik bersenjata yang serius yang
tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum
Internasional Publik.
f.
Konflik
bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
3.
Haryomataram,
membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
a.
Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata
internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of
National Liberation) dan konflik bersenjata internal yang
diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik
bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara
dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah
konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state
entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori
konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan
ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I,
bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata
internasional.
Mengenai
Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang
dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena
ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international
armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan
dengan istilah “armed conflict not of an international character”
yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international
armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan
penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat
dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa
bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata
antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa
bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah
ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949
beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.
Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa
bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang
pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang
saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C
antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa
perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk).
Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya
berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi
Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di
samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional
menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak
ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut
para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk
merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
1)
Dieter Fleck
Konflik
bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa
pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung
jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam
wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata
atau perang saudara.
2)
Pietro Verri
Suatu
konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan
bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan
pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua
kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional
asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti
intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada
konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik
bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
3)
Hans-Peter Gasser
Konflik
non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah
suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan
bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah
digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin
memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis
lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi
yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri
dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini
bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau
hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga
menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum
lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur
mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya
Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang
bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh
status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara
pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum
internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari
hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal
character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena
pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau
pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga
apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka
secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena
itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya
status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Pasal
3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang
tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak
Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk
melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Orang-orang yang tidak
mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan
perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak
lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan
atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan
perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas
ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan,
atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka
tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan
terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
1)
Tindakan
kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan,
perlakuan kejam dan penganiayaan;
2)
Penyanderaan;
3)
Perkosaan
atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan
martabat;
4)
Menghukum
dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh
suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan
peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal
3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa
bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1.
Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan
menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai
pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3
keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban
perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga
Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2
Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus
dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah
badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat
menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam
sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan
persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari
konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan
mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan
yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha
untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan
bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan
sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya
perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum
pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam
pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata
didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri
urusan dalam negeri suatu negara.
B.
Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter
Selain ke dua jenis
konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur
dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2)
Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada
situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara,
tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir, serta
tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa
bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan
diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor
ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif
masih rendah.
BAB VII
PERLINDUNGAN
KORBAN PERANG DAN KONFLIK BERSENJATA
A.
Perlindungan Kombatan
Prinsip atau Asas
Pembedaan (Distinction Principle)
merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter Internasional. Prinsip ini
membedakan penduduk dari suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan,
yaitu: Kombatan (Combatant) dan
Penduduk Sipil (Civilian).
Apabila seorang kombatan
jatuh ketangan musuh, maka ia akan diperlakukan sebagai tawanan perang.
Berkaitan dengan prinsip pembedaan dan perlakuan tawanan perang ini maka
penting diketahui bagaimana mengenai status dan perlakuan yang ditujukan kepada
mata-mata (Spy) dan tentara bayaran (Unlawful Combatant) apabila mereka jatuh
ke tangan musuh.
Di dalam Kovensi Jenewa
1949 terdapat apa yang dikenal dengan istilah ketentuan-ketentuan yang
bersamaan (common articles), yaitu ketentuan yang fundamental dan sangat
penting sehingga diulang berkali-kali dalam setiap Konvensi dalam pasal yang sama,
atau bunyi yang sama, atau bunyi yang hampir sama. Ada beberapa hal yang diatur dalam common
articles ini antara lain mengenai penghormatan Konvensi, sengketa bersenjata
non internasional, protected persons, pengawasan setiap Konvensi.
Hukum Humaniter
Internasional membedakan dua jenis pertikaian senjata, yaitu sengketa
bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional.
Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka akan
disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau international
armed conflicts. Pengertian international armed
conflicts ini kemudian diperluas oleh Protokol I 1977 yang juga
mengkategorikan CAR conflicts sebagai
international armed conflicts.
Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara disebut
pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat
internasional (noninternational armed conflict atau internal armed conflict).
Ketentuan mengenai noninternational armed conflict ini diatur dalam pasal 3
Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. Dalam situasi-situasi
tertentu dapat juga suatu noninternational armed conflict berubah menjadi
international armed conflict. Hal yang terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflict.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip
perlindungan. Betuk perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter kepada
mereka yang terlibat dalam pertempuran secara garis besar dibedakan atas dua
hal. Pertama, kepada kombatan diberikan perlindungan dan status sebagai tawanan
perang, dan yang kedua kepada penduduk sipil ditetapkan larangan untuk
menjadikan mereka sebagai sasaran serangan.
Salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme
penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi
Jenewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Kemudian dalam
protokol I mekanisme ini dilakukan suatu International Fact Finding Commission.
Disamping itu mekanisme hukum humaniter juga dapat dilakukan melalui institusi
peradilan internasional, baik yang bersifat ad hoc maupun yang berupa mahkamah
permanen. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia merupakan dua bidang yang dekat
hubungannya. Beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat
diidentifikasi.
Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban
pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan
sarana mencelakai yang boleh dipakai.” Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi
kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah
perihal sasaran militer.
Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada
abad ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan
pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad
Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut
dapat dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan
antara kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka
dan tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus
diberikan yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter moderen–
mengikuti prinsip tersebut.”
Salah satu sendi hukum perang adalah distinction principle
(prinsip pembeda). Pengertian asas ini ialah bahwa penduduk suatu negra
terlibat dalam pertikaian bersenjata dibagi dua golongan besar, yaitu mereka
yang secara langsung aktif dalam pertikaian tersebut, dan mereka yang tidak
turut serta secara aktif. Pembagian ini perlu diadakan karena hukum perang
menentukan bahwa masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban yang
berbeda. Prinsip ini diatur dalam pasal 48 Protokol Tambahan I tahun
1977. Tujuan dari prinsip pembeda ini adalah melindungi warga
sipil. Yang intinya menegaskan :
1.
Penduduk
sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan (Serangan bom yang membabi buta dipermukiman
penduduk sipil dilarang keras)
2.
Sebagai
suatu metode peperangan, dilarang keras membuat penduduk sipil menderita
kelaparan.
3.
Fasilitas
yang sangat dibuthkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil,
seperti perkebunan, peternakan dan sumur air tidak boleh dihancurkan.
Beberapa Ahli telah menjabarkan arti Kombatan, seperti hal nya pendepat KGPH. aryomataram, dalam bukunya yang berjudul Pengantar
Hukum Humaniter, beliau mengatakan bahwa kombatn adalah mereka yang berhak
(have the right) untuk secara langsung turut serta dalam permusuhan (hostilities).
Pengertian yang dipakai oleh KGPH. Haryomataram hampir serupa
artinya dengan pengertian kombatan menurut F. Sugeng Istanto yaitu mereka yang
berhak serta secara langsung dalam permusuhan.
Pada Protokol tamabahan I 1977 masalah mengenai status kombatan diatur dalam
pasal 43 dan 44. Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi ;
“Angkatan perang dari
suatu Pihak dalam sengketa terdiri dari semua angkatan, kelompok-kelompok
dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang berada dibawah suatu komando
yang bertanggung jawab kepada Pihak tersebut atas perbuatan bawahannya,
bahkan apabila Pihak tersebut diwakili oleh sebuah Pemerintah atau suatu
kekuasaan yang tidak diakui oleh suatu Pihak lawan. Angkatan Perang seperti itu
harus tunduk pada suatu peraturan disiplin tentara, yang internalia, harus
berlaku sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam
sengketa bersenjata.”
Pasal 43 mulai dengan
menjelaskan pengertian angkatan bersenjata (armed force) dari pihak
sengketa. Menurut ayat 1, angkatan bersenjata tersebut terdiri dari semua
angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok (group) dan kesatuan (units)
yang terorganisir, yang berada dibawah pimpinan/ komando yang bertanggung jawab
kepada pihak tersebut atas kelakuan dan tingkah laku anak buah mereka. Perlu
dicatat disini bahwa pasal ini tidak lagi menyebut istilah Regular Armed
Forces dan Irregular Armed Forces, seperti yang terdapat dalam
konvensi-konvensi sebelumnya. Selain itu kombatan juga diatur dalam pasal 1 dan
3 regulasi Den Haag 1907, Pasal 13 common Articles konvensi I dan II, pasal 4A
dan 4B konvensi Jenewa III tahun 1949, serta pasal 43 dan 44 Protokol Tambahan
I tahun 1977.
B.
Perlindungan Penduduk Sipil
Menurut Haryomataram,
Penduduk Sipil (Civilians) ialah mereka yang tidak turut
serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran; mereka harus
dilindungi dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Sedangkan Arlina
Permanasari mengemukakan bahwa penduduk sipil adalah golongan penduduk yang
tidak turut serta dalam permusuhan.
Acuan paling pokok mengenai penduduk sipil, adalah pasal 27
konvensi Jenewa IV tahun 1949, yang antaranya berbunyi sebagai berikut :
“orang-orang yang
dilindungi dalam segala keadaan berhak atas penghormatan atas diri pribadi,
kehormatan hak-hak, keyakinan dan praktek keagamaan serta adat istiadat dan
kebiasaan mereka.” mereka harus diperlakukan perimanusiaan,dan harus dilindungi
khusus dengan segala tidakan keras atau ancaman-ancaman kekerasan, dan terhadap
penghinaan serta tidak boleh menjadi objek totonan umum.
Sebenarnya prinsip yang
tertuang dalam pasal 27 konvensi Jenewa tahun 1949 merupakan nilai dalam
berbagai keagamaan dan kebudayaan.
Mengenai bab IV dalam Protokol Tambahan I ini d dalam
uraian di pasal 50 yang menjelaskan apa itu penduduk sipil dan orang-orang
sipil. Yaitu yang terdapat dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) : “Seorang sipil
adalah setiap orang yang tidak termasuk dalam salah satu dari
penggolongan-penggolongan orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 A(1), (2), (3)
dan (6) dari Konvensi.” Pasal 50 ayat (1) dan “Penduduk sipil terdiri
dari semua orang sipil.” Pasal 50 ayat (2)
Pada Protokol Tambahan konvensi jenewa tahun 1977, menetapkan keharusan
dihindarinya penduduk sipil menjadi sasaran militer. Seperti yang tercantum
dalam pasal 48, yang berbunyi sebagai berikut :
“Agar dapat dijamin
penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil,
Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil
dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus
mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.” Ketentuan
tersebut menunjukan bahwa secara implicit Protokol itu menetapkan
keharusan diarahkannya operasi militer hanya pada sasaran militer.
C.
Perlindungan Obyek-Obyek Lainnya
1.
Benda-benda Budaya
Di antara sekian banyak objek yang dengan sengaja
diserang dan dihancurkan di dalam peperangan, peninggalan bersejarah dalam
bentuk benda-benda budaya juga tempat-tempat bersejarah adalah yang paling
rentan terkena dampak dari peperangan itu. Para
oknum yang tidak bertanggungjawab bersembunyi dan berlindung di bawah suatu
teori military necessity atau
‘kepentingan militer’ dan merusak serta menghancurkan benda dan tempat bersejarah
yang dilindungi.
Penghancuran peninggalan bersejarah secara disengaja
pada saat peninggalan bersejarah tersebut tidak digunakan untuk kepentingan
militer adalah suatu pelanggaran terhadap Hukum Internasional dan Hukum
Humaniter Internasional yang berada di dalam lingkup Hukum Internasional, dan
siapapun yang bertanggung jawab memerintahkan dan melaksanakan serangan
tersebut bisa dihukum atas dasar kejahatan perang.
Di dalam Konvensi Den Haag tahun 1954, prinsip umum
atas perlindungan terhadap tempat bersejarah didasarkan pada obligasi untuk
menjaga dan menghormati tempat bersejarah tersebut, seperti dijelaskan dalam
Pasal 2 Konvensi. Penjagaan atas tempat bersejarah terdiri dari setiap langkah
persiapan yang harus diambil di dalam masa damai demi tersedianya kondisi
terbaik bagi perlindungan tempat bersejarah tersebut, seperti yang tercantum
dalam Pasal 3.
Sementara itu, penghormatan terhadap tempat bersejarah
berarti menghindari tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap tempat
bersejarah tersebut, dan melarang, mencegah dan jika perlu menghentikan segala
bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan
vandalisme yang ditujukan langsung terhadap tempat bersejarah tersebut. Hal
tersebut juga berarti bahwa penggunaan tempat bersejarah untuk tujuan militer
dan untuk mendukung tindakan militer adalah dilarang, seperti yang ditegaskan
pada Pasal 4.
Tindakan pembalasan yang ditujukan langsung terhadap tempat-tempat
bersejarah juga dilarang, dan tidak ada alasan pembenar atau pengecualian untuk
tindakan pembalasan, ditegaskan dalam Pasal 4 paragraf 4, dan terkandung dalam Pasal
53(c) dari Protokol Tambahan I 1977.
Langkah-langkah yang harus diambil untuk menjamin
bahwa tempat-tempat bersejarah itu terlindungi dan dihormati yakni berkaitan
dengan identifikasi dan inventarisasi, lambang, kartu identitas, pendaftaran di
International Register of Property under
Special Protection, penyebaran dan sanksi pidana
2.
Lingkungan
Salah satu perkembangan baru dalam hukum humaniter adalah
adanya perlindungan yuridis terhadap lingkungan alam dalam sengketa bersenjata.
Perlindungan lingkungan alam ini diatur dalam Protokol I, yaitu dalam Pasal 35
ayat (3) dan Pasal 55. Dalam kedua pasal ini, secara eksplisit telah terdapat
kata-kata ‘lingkungan alam’ (natural environment) sebagaimana dapat dilihat
dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 35 ayat(3) : ‘Dilarang menggunakan sarana-sarana atau
metode-metode berperang yang ditujukan atau yang diharapkan akan mengakibatkan
kerusakan yang hebat, meluas dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan
alam.’
Pasal 55 : ‘Di dalam peperangan, kepedulian harus ditingkatkan untuk
melindungi lingkungan alam terhadap kerusakan yang meluas, berjangka panjang
dan hebat. Perlindungan ini meliputi larangan penggunaan sarana dan metode
berperang yang dimaksudkan atau diharapkan dapat mengakibatkan kerusakan
demikian terhadap lingkungan alam dan karena itu akan merugikan kesehatan atau kelangsungan
hidup penduduk Serangan-serangan terhadap lingkungan alam dengan cara tindakan
balasan adalah dilarang’.
Sebenarnya, para ahli telah lama berdebat tentang
apakah perlindungan lingkungan dalam sengketa bersenjata ini telah diatur dalam
hukum humaniter. Dengan berdasarkan pada isi redaksional yang secara eksplisit
telah menyisipkan kata-kata ‘lingkungan alam’ sebagaimana tertera di atas, maka
ada sekelompok ahli yang menyetujui bahwa perangkat yuridis yang melindungi
lingkungan alam dalam sengketa bersenjata pertama kali diatur pada tahun 1977,
yaitu dalam Protokol I.
Berkaitan dengan perlindungan lingkungan alam ini
terdapat beberapa frasa atau istilah yang perlu mendapatkan perhatian.
Istilah-istilah yang dimaksud disini adalah istilah kerusakan lingkungan yang
bersifat “meluas, berjangka waktu lama dan dahsyat” (widespread, long-term and severe). Protokol sendiri tidak
memberikan batasan atau definisi tentang arti istilah-istilah yang dipergunakan
tersebut. Oleh karena itu, kita harus melihat pendapat para ahli sebagaimana
telah dikemukakan dalam sidang-sidang konferensi pada waktu penyusunan
Protokol. Sebagaimana dicantumkan dalam Penjelasan Protokol, maka pengertian
dari beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut :
a.
‘widespread’:
mengacu kepada suatu daerah yang luasnya tidak kurang dari beberapa ratus
kilometer persegi;
b.
‘long-term’:
mengacu kepada suatu jangka waktu yang lamanya sepuluh tahun atau lebih;
c.
‘severe’:
meliputi kerusakan yang lebih dari sekedar berjangka waktu lama yang
kemungkinan dapat membahayakan kelangsungan hidup penduduk sipil atau yang akan
menyebabkan resiko terhadap masalah-masalah kesehatan mereka
3.
Obyek lain
Fasilitas objek lain yang dimaksud disini adalah fasilitas
kesehatan dan rRumah ibadah, yaitu suatu objek sipil, misalnya rumah sakit atau
rumah ibadah, apabila penggunaannya memberikan suatu konribusi militer yang
efektif kepada suatu operasi militer maka ia pada saat itu ia menjadi objek
militer. Apabila tidak digunakan untuk tujuan militer lagi maka objek tersebut
tidak lagi merupakan objek militer.
Kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera
khusus yang melambangkan bendera masing-masing pihak, akhirnya menjadi
penggunaan lambang Palang Merah pada rumah sakit dan sarana transportasi medis,
tentara yang luka dan sakit merupakan tawanan perang dan diperlakukan sesuai
dengan Konvensi Jenewa III tahun 1949 (di mana awalnya juga disebutkan dalam
Konvensi tahun 1864); dokter dan rohaniawan harus dilindungi dan dihormati;
penduduk sipil bukan sasaran serangan.
BAB VIII
KEJAHATAN
PERANG
A.
Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Huruf
B adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari Serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung kepada penduduk sipil berupa, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan
kemerdekaan atau perampasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar
(asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan,
perbudakan seksual, pelacuran, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi
secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang
disadari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional adalah :
Penghilangan orang secara paksa, Kejahatan apartheid.
Sifat dan karakter perbuatan tersebut haruslah tidak manusiawi,
menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh
atau kesehatan fisik dan mental. Perbuatan itu haruslah memiliki sifat dan
karakter yang tidak manusiawi dan menimbulkan penderitaan yang sangat berat,
atau luka serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental. Perbuatan
tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang sistematis atau
meluas”
Kejahatan terhadap kemanusiaan harus dilakukan sebagai bagian dari
serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil
atas latar belakang yang diskriminatif. Walaupun
perbuatan tersebut tidak harus merupakan serangan yang dilakukan pada tempat
dan waktu yang sama, atau tidak memiliki semua ciri-ciri serangan itu, tetapi
bahwa serangan itu berdasarkan karakteristiknya, memiliki tujuan, sifat atau
konsekuensi objektifnya merupakan bagian dari serangan yang bersifat
diskriminatif.
Karena kejahatan terhadap kemanusiaan
dapat dilakukan “di dalam atau di luar konteks konflik bersenjata,” maka
erminologi sipil harus dimengerti dalam konteks perang dan juga dalam konteks
yang relatif damai. Kemudian, definisi sipil secara luas dapat diaplikasikan
dan dalam konteks situasi di mana tidak terjadi konflik bersenjata, definsi sipil
mencakup semua orang kecuali mereka yang memiliki tugas untuk menjaga
ketertiban umum dan memiliki dasar hukum untuk melakukan kekerasan.
Persyaratan bahwa tindakan-tindakan
yang dilarang itu harus ditujukan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa
seluruh penduduk di negara atau satu wilayah harus menjadi korban dari tindakan
itu sehingga dapat disebut terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Justru unsur ‘penduduk’ dimaksudkan untuk membedakan
kejahatan yang bersifat kolektif dengan tindakan-tindakan tersendiri atau
terisolasi yang meskipun merupakan kejahatan berdasarkan undang-undang pidana
nasional, tetapi tidak mencapai tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan.
Serangan yang ‘berdasarkan alasan
kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama,’ yang merupakan sifat khas dari
Statuta ICTR adalah sebuah konstruksi, yang lebih dibaca sebagai karakteristik
dari ‘serangan’ dan bukan merupakan mens rea (niat jahat) pelaku. Pelaku
mungkin saja melakukan kejahatan pokok berdasarkan alasan diskriminatif yang sama
dengan serangan yang lebih luas itu; tetapi motif diskriminatif bukanlah
prasyarat kejahatan, karena kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari
serangan yang lebih luas.
Pasal 3 Statuta mensyaratkan bahwa
serangan terhadap penduduk sipil harus dilakukan berdasarkan alasan
‘kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.’ Perbuatan-perbuatan yang
dilakukan terhadap orang di luar kategori yang diskriminatif itu mungkin saja
merupakan bagian dari serangan, di mana perbuatan terhadap pendukung dari kalangan
luar atau yang lebih jauh lainnya, atau yang dimaksudkan untuk mendukung atau
melanjutkan serangan terhadap kelompok, dilakukan berdasarkan alasan
diskriminatif.
Perbuatan itu harus dilakukan
berdasarkan satu atau lebih alasan diskriminatif, yaitu kebangsaan, politik,
etnis, rasial atau agama. Serangan harus dilancarkan berdasarkan alasan
diskriminatif, yaitu kebangsaan, etnis, rasial, agama atau politik.
Pelaku harus mengetahui bahwa ia
melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam keadaan ia harus mengetahui
konteks yang lebih luas tentang serangannya itu. Salah satu bagian yang mentrasformasi
perbuatan individu menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah dimasukkannya
perbuatan tersebut dalam dimensi yang lebih besar dari perbuatan pidana, sehingga
kesalahan dibuktikan melalui syarat bahwa orang harus sadar akan dimensi yang
lebih luas ini. Sesuai dengan itu, pengetahuan yang sebenarnya atas konsep yang
lebih luas dari serangan adalah bahwa si pelaku pada dasarnya mengetahui bahwa
perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang
ditujukan terhadap penduduk sipil, dan sesuai dengan semacam kebijakan atau
rencana, sehingga memenuhi syarat unsur mens rea dari pelaku.
Kejahatan harus dilakukan sebagai
bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil, atas
alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama. Pelaku tidak perlu
bertindak dengan tujuan diskriminatif tetapi dia harus mengetahui bahwa
perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis
tersebut. Untuk dapat bertanggung-jawab, pelaku harus memiliki pengetahuan yang
sebenarnya mengenai konteks yang lebih luas dari serangan itu, yaitu ia
(pelaku) mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang
meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, berdasarkan suatu kebijakan
atau rencana.
Motif diskriminatif tidak disyaratkan
untuk perbuatan-perbuatan selain penganiayaan
Motif untuk melakukan diskriminasi berdasarkan alasan
kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama adalah unsur yang esensial dalam
kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada persyaratan bahwa perbuatan-perbuatan
yang disebutkan itu, selain perbuatan penganiayaan, harus dilakukan dengan
motif diskriminatif.
B.
Kejahatan terhadap Perdamaian (Crimes Against Peace)
Kejahatan terhadap perdamaian sebagaimana yang tercantum dalam Piagam
Nuremberg didefenisikan sebagai : Perencanaan, persiapan, inisiatif suatu
peperangan agresi, atau suatu peperangan yang melanggar perjanjian
internasional. Sehingga dalam setiap konflik yang terjadi, berbagai pihak
internasional menginginkan agar solusi damai harus terus ditempuh agar setiap
konflik yang ada tidak erubah menjadi konflik terbuka (perang). Dalam pasal 33
piagam badan keamanan PBB dinyatakan bahwa bagi pihak-pihak yang terlibat suatu
perselisihan pertama-tama mencari suatu solusi dengan negosiasi, pemeriksaan,
penyelesaian sengketa dengan penengahan, permufakatan, penyelesaian melalui
pengadilan, meminta bantuan dari aktor-aktor regional, atau sarana-sarana lainnnya.
C.
Kejahatan Perang (Crimes of War)
Ketentuan mengenai kejahatan perang (crimes of war) selain ada pada
ketentuan yang disebutkan di atas juga ditemukan dalam Geneva Convention 1949
dan Additional Protocol 1977, Statute for the International Tribunal for Rwanda
1995, dan Statute for the International fo the Former Yugoslavia 1993 (amended
1998).
Kejahatan perang di antaranya
melancarkan serangan atas seorang atau sekelompok sipil, atau obyek sipil.
Melancarkan serangan yang menyebabkan kerugian bagi orang sipil, kerusakan
obyek sipil atau kerusakan meluas, berjangka panjang dan berat terhadap
lingkungan alam. Menyerang atau mengebom kota-kota, desa, perumahan, atau
gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer. Melakukan serangan
atas gedung-gedung untuk tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau
sosial, monumen bersejarah, rumah sakit. Membunuh atau melukai secara curang
pihak musuh, atau perlakuan mempermalukan tawanan perang.
Selama perang berlangsung, berita
berbagai versi bahwa ratusan bahkan ribuan penduduk sipil Irak telah meninggal
dan luka-luka akibat serangan bom-baik anak-anak, wanita maupun orang tua.
Belum lagi berbagai sarana sipil yang menjadi sasaran seperti pertokoan,
pemukiman penduduk, stasiun televisi, bahkan pasar An Naser yang sedang ramai,
juga menjadi sasaran bom. Semua ini merupakan kejahatan perang.
Tidak dimungkiri, Irak juga melakukan
hal sama, dengan manayangkan tawanan perangnya dapat dikategorikan
mempermalukan seorang tawanan perang. Tentara yang menyamar sebagai warga sipil
lalu menewaskan prajurit musuh dapat dianggap melakukan kecurangan.
Bagaimanapun hukum perang secara yuridis berlaku dalam segala situasi (in all circumstances).
Namun, bilik kemanusiawian tampaknya
dapat berapologi ke Irak mengingat perang ini adalah perang yang tak seimbang
dan ilegal, maka pembalasan yang sama (quid pro quo) tak dapat disalahkan
sepenuhnya. Logika klasik do ut des melegitimasikan bahwa negara memenuhi
kewajibannya selama pihak lain melaksanakannya, dengan demikian jika negara
melanggar kewajibannya, memberikan hak kepada pihak lain untuk tidak pula
memenuhi kewajibannya.
BAB IX
PALANG
MERAH INTERNASIONAL (ICRC)
A.
Sejarah dan
Perkembangan Palang Merah Internasional
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota
Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan
pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama,
seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka
perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu
tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat
40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh
penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat,
segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.
Beberapa waktu kemudian, setelah
kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah
buku berjudul "Kenangan dari Solferino", yang menggemparkan seluruh
Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan: membentuk organisasi kemanusiaan
internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk
menolong para prajurit yang cedera di medan perang, mengadakan perjanjian internasional guna
melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan
dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga
kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama
tersebut. Mereka bersama-sama membentuk "Komite Internasional untuk
bantuan para tentara yang cedera", yang sekarang disebut Komite
Internasional Palang Merah atau International
Committee of the Red Cross (ICRC). Dalam perkembangannya kelak untuk
melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi
sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu
perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang
Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun
1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional
yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi perbaikan
kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian
disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun
1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan
salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan
internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.
1.
Palang Merah
Internasional
Komite Internasional
Palang Merah / International Committee of
the Red Cross (ICRC), yang dibentuk pada tahun 1863 dan bermarkas besar di
Swiss. ICRC merupakan lembaga kemanusiaan yang bersifat mandiri, dan sebagai
penengah yang netral. ICRC berdasarkan prakarsanya atau konvensi-konvensi
Jenewa 1949 berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban
dalam pertikaian bersenjata internasional maupun kekacauan dalam negeri. Selain
memberikan bantuan dan perlindungan untuk korban perang, ICRC juga bertugas
untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Perikemanusiaan internasional.
Perhimpunan Nasional
Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, yang didirikan hampir di setiap negara di
seluruh dunia, yang kini berjumlah 176 Perhimpunan Nasional, termasuk Palang
Merah Indonesia. Kegiatan perhimpunan nasional beragam
seperti bantuan darurat pada bencana, pelayanan kesehatan, bantuan sosial,
pelatihan P3K dan pelayanan transfusi darah. Persyaratan pendirian suatu
perhimpunan nasional diantaranya adalah mendapat
pengakuan dari pemerintah negara yang sudah menjadi peserta Konvensi Jenewa
dalam menjalankan Prinsip Dasar Gerakan. Bila demikian ICRC akan memberi pengakuan
keberadaan perhimpunan tersebut sebelum menjadi anggota Federasi Internasional
Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
2.
Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah / International Federation of Red Cross and Red Crescent
(IFRC)
Pendirian Federasi
diprakarsai oleh Henry Davidson warganegara Amerika yang disahkan pada suatu
Konferensi Internasional Kesehatan pada tahun 1919 untuk mengkoordinir bantuan
kemanusiaan, khususnya saat itu untuk menolong korban dampak paska perang dunia
I dalam bidang kesehatan dan sosial. Federasi bermarkas besar di Swiss dan
menjalankan tugas koordinasi anggota Perhimpunan Nasional dalam program bantuan
kemanusiaan pada masa damai, dan memfasilitasi pendirian dan pengembangan
organisasi palang merah nasional. Pertemuan organisasi palang merah
internasional Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan
Bulan Sabit Merah menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi
Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ( Internasional Red Cross
Conference) . Konferensi ini dihadiri oleh seluruh komponen Gerakan Palang
Merah Internasional ( ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi Internasional )
serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan
tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan
semua ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan
kepalangmerahan yang akan menjadi komitmen semua peserta.
Dua tahun sekali ,
Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan Delegasi
(Council of Delegates) , yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan.
Dewan Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi
internasional. Suatu tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan
selang antar konferensi internasional yaitu Komisi Kerja ( Standing
Commission).
B.
Peranan
Palang Merah Internasional dalam Penyebaran HHI
Upaya ICRC dalam penegakan Hukum
Humaniter Internasional terkait usaha perlindungan anak
1.
Penanganan
untuk anak-anak yang terpisah dari orangtuanya
Mengidentifikasi dan
mendata anak-anak yang terpisah dari keluarganya serta menyebarkan informasi
tersebut ke seluruh wilayah, baik nasional maupun internasional melalui
stakeholders-nya dan berbagai media yang dimilikinya. Menerima banyak
permintaan dari para orang tua yang kehilangan anaknya akibat konflik, perang,
dan situasi kekerasan lainnya, kemudian mulai melakukan proses pengusutan
setelah menerima permintaan itu. Mendukung kreasi unit pengusutan khusus melalui
lembaga nasional di seluruh dunia.
2.
Memberikan
data jumlah sipil yang berada di dalam konflik melalui kerjasama dengan
agen-agen kemanusiaan lainnya
Pembentukan www.FamilyLinks.icrc.org untuk membantu
hubungan orang-orang yang terpisah dari keluarganya akibat perang atau bencana
alam. Sejak tahun 2003, lebih dari 770.000 orang sudah mencantumkan namanya di
website tersebut .
3.
Penanganan
untuk anak-anak yang terlibat langsung dalam perang (tentara anak)
Secara aktif,
mempromosikan prinsip-prinsip non-rekrutmen dan non-partisipasi orang-orang
yang berada di bawah usia 18 tahun. Melindungi anak-anak yang berada dalam
keadaan terluka dan ditawan. Menggunakan haknya untuk meminta pembebasan
anak-anak secara individu. Walaupun tidak terlibat dalam negosiasi, ICRC ikut
membantu implementasi hasil perjanjian dengan mempersatukan anak-anak yang
terpisah dari keluarganya dan menjamin kesinambungan dari berkumpulnya mereka. Dalam
berkonsultasi dan berkolaborasi dengan lembaga nasional dan Federasi
Internasional, ICRC dapat melibatkan dirinya ke dalam pemenuhan kebutuhan fisik
dan psikologi dari anak-anak laki-laki dan perempuan yang telah terlibat dalam
konflik bersenjata sebagaimana yang diterapkan di Sierra Leone dan Liberia
4.
Penanganan
terhadap anak-anak yang menjadi tawanan
Mengidentifikasi dan
mendata tawanan anak-anak. Membentuk kesempatan hubungan antara tawanan
anak-anak dan keluarganya dengan memberi fasilitas kepada keluarga untuk
mengunjungi, berbicara via telefon, dan menggunakan pelayanan pesan untuk tawanan
anak-anak. Perwakilannya mengawasi kondisi material dari tawanan dan menjamin
keberlanjutannya. Hal-hal yang diperiksa oleh perwakilan ICRC adalah
kelengkapan infrastruktur, ruangan yang cukup, cahaya dan air bersih.
5.
Memperjuangkan
kebutuhan dasar
Memperjuangkan
jaminan bahwa tawanan dapat memperoleh kebutuhan dasarnya, seperti, makanan,
pakaian, air, obat-obatan, pendidikan, rekreasi, dan hal-hal kecil
lainnya.Pengupayaan pemisahan tawanan dewasa dan anak-anak. Hal ini dilakukan
sebagai upaya untuk melindungi anak-anak wanita dan wanita dewasa dari
kekerasan seksual. Mempercepat akses dan proses perbantuan dan yudisial untuk
tawanan anak-anak. sehingga ICRC menjalin kerjasama dengan pemerintah yang
berkuasa untuk mengubah kebijakan terkait tawanan anak-anak.
6.
Permasalahan
hak-hak kehidupan
Menekankan pelarangan
terhadap kejahatan seksual dan menyarankan pemikirannya ke dalam peraturan
internal. Berkampanye, penyebaran pamflet, penyuluhan untuk memberi penjelasan
mengenai kekerasan seksual dan akibatnya terhadap kondisi fisik dan mental dari
korban. Menyediakan perawatan dan pelayanan medis baik yang bersifat
obat-obatan, peralatan medis, tenaga medis, perbaikan, dan lain sebagainya. Mengadakan
pelatihan psikososial terhadap relawan pada tingkat komunitas untuk memberikan
saran-saran kepada korban dan menjadi perantara antara korban dan
keluarganya.Menyediakan data mengenai kasus kekerasan seksual dan melaporkannya
kepada pihak yang berkuasa baik di tingkat nasional maupun internasional dan
mendorong otoritas untuk mengambil tindakan yang sesuai.
7.
Penanganan
kesehatan fisik dan mental anak-anak yang berada dalam perang.
Memberikan
prioritas kepada ibu dan anak-anak. mendukung peningkatan pelayanan kesehatan
di tingkat utama terhadap ibu dan anak dengan menyediakan tenaga medis,
peralatan medis, dan obat-obatan untuk perawatan kandungan, penyakit anak dan
permasalahan setelah pembedahan luka tertentu.Mengorganisasikan bantuan
perlengkapan bayi yang bersih dan sehat serta sesuai untuk perawatan bayi. Menyediakan
layanan kesehatan wanita yang terpisah dengan yang diperuntukkan bagi pria
terhadap masyarakat tertentu yang memiliki nilai budaya yang menganggap tabu
hubungan laki-laki dan wanita di luar pernikahan. Bahkan, jika diperlukan ICRC
siap untuk menggunakan tenaga medis wanita untuk menangani korban wanita. Mendukung
struktur lokal yang dijalankan oleh lembaga nasional dan dalam situasi yang
darurat ICRC turun langsung.
Melaksanakan
program imunisasi. Menyediakan akses air bersih dan kesehatan lingkungan untuk
kesehatan yang baik. ICRC dengan implementasi berupa pebentukan sistem
pengairan dan pembangunan kamar mandi umum, Memberikan pengobatan terhadap
anak-anak bergizi buruk dan membantu ibu-ibunya dalam melakukan perawatan. Memberikan
kontribusi terhadap program-program yang dijalankan oleh lembaga nasional
terkait dengan penyediaan dukungan psikososial untuk anak-anak korban kekerasan
bersenjata. Menyediakan dukungan dan kasih sayang terhadap orang-orang yang
kehilangan keluarganya sebagai bentuk bantuan psikososial dan kepedulian.
BAB X
MEKANISME
PENEGAKAN HHI
A.
Mekanisme menurut Konvensi Jenewa
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan
kewajiban bagi pihak peserta agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan
terhadap Konvensi. Menghormati berarti negara bersangkutan harus melaksanakan
ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan
berarti negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan bila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi
bila diperlukan (seperti Pasal 49 ayat (1)).
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka negara yang telah meratifikasi
Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang nasional yang
memberikan sanksi pidana efekti kepada setiap orang yang melakukan atau memerintah
untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme
dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan
nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si
pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan
nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada
indikasi mengambil tindakan yang diperlukan. Contoh, bila seorang prajurit
melakukan pelangaran HHI, maka Komandan atau atasannya harus mengambil tindakan
yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan bila perlu
menjatukan hukuman kepada si pelaku.
Dalam ketentuan pasal 87 dinyatakan bahwa adanya komandan untuk mencegah
dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai
pelanggaran terhadap konvensi dan protokol. Kemudia pasal ayat 3 bahkan ditekankan
mengenai perlunya memberikan sanksi disiplin atau hukuman pidana kepada mereka
yang melanggar Konvensi dan Protokol.
Di lingkungan TNI bila ada seorang prajurit yang melakukan hukum
humaniter maka komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum,
berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud.
Begitu seterusnya, sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan,
disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan
(militer dan atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya
penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme
internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik,
maka tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu
mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang
permanen).
Salah satu perkembangan baru yang
terdapat dalam Protokol Tambahan 1977 antara lain mengenai mekanisme. Mekanisme
yang dimaksud, yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta.
Komisi pencari fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap
pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan
Konvensi Jenewa.
B.
Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia
II, yaitu Mahkamah Tokyo
dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat
Jepang, sedangkan Mahkamah Nuremberg
dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa juga
disebut dengan nama Piagam London.
Sejak terbentuknya Mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh
empat tersangka. Ada
tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah
Nuremberg yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).
Pada Mahkamah Nuremberg ada empat orang Hakim ditambah dengan empat hakim
pengganti. Hakim-hakim tersebut berasal dari negara-negara yang menyusun Statuta
Mahkamah yaitu:
1.
Amerika Serikat :
Francis Biddle, John Parker (pengganti)
2.
Inggris : Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman
Birkitt (pengganti)
3.
Perancis : Prof.
Donnedieu de Vabres, Judge R Falco
4.
Uni Sovyet : I.T.
Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt.Col (pengganti)
Adapun mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah
Nuremberg ada empat chief prosecutor
yang masing-masing berasal dari keempat negara tersebut di atas.
Mahkamah penjahat perang Tokyo
dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini adalah International
Military Tribunal for The Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang
dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Tokyo Tribunal dibentuk
berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu
di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Kemudian oleh Amerika Serikat
disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam
Mahkamah Nuremberg.
Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai
jurusdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang
(war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes againts humanity). Di dalam
Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak
dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggungjawab si pelaku, tetapi hal
tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga
diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitanya sebagai
pejabat resmi.
Pada Mahkamah Tokyo ini ada seorang chief prosecutor yang berasal dari Amerika
Serikat dan dibantu oleh sepuluh orang associate prosecutors. Setelah perang dunia
II selesai, kemudian telah dibentuk dua Mahkamah ad hoc lainnya yaitu Mahkamah yang
mengadili penjahat perang dieks- Yugoslavia
serta di Rwanda.
Perlu diketahui bahwa pembentukan Mahkamah-mahkamah semacam itu adalah bersifat
ad hoc atau sementara, yang b erarti bahwa Mahkamah tersebut dibentuk untuk
jangka waktu dan daerah tertentu saja.
Mahkamah eks Yugoslavia
dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 808 (22 Fabruari 1993)
dan nomor 827 (25 Mei 1993). Perkembangan yang terakhir kemudian Statuta
Mahkamah eks Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK-PBB No 827 tahun
1993 diamandemen oleh Resolusi DK PBB nomor 1166 tahun 1998.
Pasal 1 sampai dengan pasal 5 dari Statuta Mahkamah eks yugoslavia
mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah yaitu:
1.
Pelanggaran serius
terhadap hukum humaniter
2.
Pelanggaran berat
sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi-konvensi jenewa 1949
3.
Pelanggaran terhadap
hukum dan kebiasaan perang
4.
Genocide
5.
Kejahatan terhadap
kemanusiaan
Penjelasan dari pelanggaran atau
kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya.
Misalnya, tentang pelanggaran berat. Statuta ini mengambil rumusan sebagaimana
yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang
dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) diuraikan pada ketentuan Pasal 5 Statuta. Mahkamah
eks Yugoslavia terdiri dari dua kamar (chambers)
yaitu Trial Chambers dan Appeals Chambers; Jaksa Penuntut Umum (Prosecutor) dan Panitera (Registry). Hakim pada Trial Chamber berjumlah 3 orang
sedangkan pada Appeals Chamber
hakimnya berjumlah 5 orang.
Mahkamah ad hoc lainnya yang telah
dibentuk adalah mahkamah peradilan kejahatan perang di Rwanda. Nama lengkap
dari Mahkamah ini adalah International Criminal
tribunal for Rwanda (ICTR). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan
Keamanan PBB nomor 955 tanggal 8 November 1994. Tujuan dari dibentuknya Mahkamah
ini adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan genocide di Rwanda dan
mengadili warga negara Rwanda yang melakukan genocide dan serupa lainnya di wilayah
negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara 1 Januari 1994 sampai dengan
tanggal 31 Desember 1994.
Kompetensi Mahkamah Rwanda ditujukan untuk
kejahatan-kejahatan sebagai berikut:
1.
Genocide
2.
Crimes Againts Humanity
3.
Pelanggaran terhadap
pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan II 1977
Baik Mahkamah eks Yugoslavia maupun
Mahkamah Rwanda menetapkan individual criminal responsibility terhadap mereka
yang melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam
Statuta. Adapun untuk hokum acaranya maka ICTY menggunakan sistem common law,
sedangkan ICTR menggunakan campuran antara sistem civil law dan common law.
C.
Mahkamah Pidana Internasional
Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu
perkembangan penting, yakni ketika disepakatinya. Statuta mahkamah pidana
internasional (International Criminal
Court selanjutnya ICC). Berbeda dengan Mahkamah ad hoc yang telah dibentuk
sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo,
ICTY, dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen.
Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan
yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius
sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC, Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap
(complementarity) dari mahkamah
pidana nasional. Mengenai complementarity
tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya adalah
bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan
fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta dikatakan bahwa
ICC akan bekerja bila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable)
untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti
bila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku
harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Bila mahkamah nasional tidak
mau dan atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan
fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Yurisdiksi ICC mencakup empat
kejahatan yaitu kejahatan yang dikategorikan sebgai the most serious crimes of
concern to the international, yaitu:
1.
Genocide
2.
Crimes againts
humanity
3.
War crimes
4.
Crime of
aggression
Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai genocide dijelaskan pada pasal 6 Statuta ICC, yaitu tindakan yang
ditujukan untuk memusnahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu bangsa, etnis,
kelompok rasial atau agama tertentu. Yang termasuk dalam kategori genocide
menurut ketentuan Pasal ini adalah:
1.
Killing members of
the group
2.
Causing serious
bodily or mental harm to members of the group
3.
Deliberately
inflicting on the group conditions of life calculated to bring about it’s
physical destruction in whole or in part
4.
Imposing measures
intended to prevent births within the group
5.
Forcibly
transferring children of the group to another group
Kejahatan-kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai crimes againts
humanity dirumuskan secara lengkap dan rinci pada Pasal 7 Statuta ICC. Selanjutnya
pasal 8 Statuta ICC menjelaskan apa yang dimaksud dengan war crimes, yaitu
mencakup pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan pelanggaran-pelanggaran
serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang diberlakukan pada
sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan non internasional.
Daftar dari kejahatan-kejahatan yang dimaksud secara lengkap diuraikan
pada ketentuan Pasal 8 Statuta ICC. Mengenai crime of aggression belum dirumuskan
secara lengkap di dalam Statuta. Hanya pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa
pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah terhadap kejahatan agresi ini akan dilaksanakan
setelah diterimanya suatu ketentuan atau pasal yang menentukan apa yang
dimaksud dengan kejahatan tersebut serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar
Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi yang dimaksud.
Agar Mahkamah dapat melaksanakan
yurisdiksinya maka negara yang meratifikasi Statuta ICC menerima yurisdiksi
Mahkamah. Ini berarti tindakan meratifikasi Statuta ICC oleh suatu negara belum
berarti bahwa Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di negara tersebut.
Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari negara yang bersangkutan yang
menyatakan bahwa negara tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah. Hal ini antara
lain diatur dalam Pasal 12 Statuta ICC. Beberapa asas pokok hukum pidana
diberlakukan menurut Statuta ini, misalnya tentang ne bis in idem, nullum crimen sine lege, bulla poena sine lege, dan non
retroactive.
Seperti halnya dengan mahkamah yang
lainnya, pada Statuta ICC ini juga ditegaskan tentang tanggungjawab pidana
individual (individual criminal
responsibility). Di samping itu pada Pasal 28 diatur mengenai tanggung
jawab Komandan dan atasan terhadap tindakan yang dilakukan oleh anak buah atau
bawahannya.
BAB XI
PERKEMBANGAN-PERKEMBANGAN BARU HHI
A.
Hukum Perang
Di Laut (San Remo Manual)
Hukum perang di laut diatur dalam
Konvensi ke-III Den Haag tahun 1899. Konvensi ini merupakan hasil dari
Konferensi Perdamaian ke-I (The First Hague Peace Conference), yang diadakan di
Den Haag, yang lengkapnya berjudul “Convention
for the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the Geneva
Convention of 22August 1864” (Konvensi tentang Adaptasi Prinsip-prinsip
Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 bagi Peperangan Di Laut) Selanjutnya
dalam Konferensi Perdamaian ke-II (The
Second Hague Peace Conference), di Den Haag tahun 1907, maka aturan-aturan
tentang hukum perang di laut berkembang menjadi lebih lengkap. Hasil-hasil dari
Konferensi Perdamaian II ini menghasilkan sejumlah konvensi yang
‘bersinggungan’ dengan hukum perang di laut, yaitu Konvensi Den Haag VI, VII,
VIII, IX, X, XI, dan Konvensi ke-XIII.
Perkembangan paling mutakhir tentang
hukum perang di laut ini akhirnya dicapai pada
bulan Juni tahun 1994 yaitu dengan terbentuknya “Pedoman
San Remo tentang Hukum Internasional yang dapat diterapkan pada Konflik
Bersenjata di Laut” (San Remo Manual on
International Law applicable to Armed Conflicts at Sea). Terbentuknya Pedoman
ini melalui perjalanan yang panjang sejak tahun 1987. Pedoman ini dipersiapkan
selama periode 1987-1994 oleh suatu kelompok para ahli hukum dan kelautan yang
berpartisipasi dalam kapasitas pribadi mereka. Pertemuan-pertemuan yang
diadakan disebut dengan “Round Tables”. Round Table pada tahun 1987 diselenggarakan
oleh Institute International of
Humanitarian Law yang bekerja sama dengan Institute of International Law dari Universitas Pisa (Italia) dan
Universitas Syracuse (Amerika Serikat). Pertemuan selanjutnya diadakan di
Madrid (1988) yang menghasilkan suatu Rencana Aksi untuk merancang
"pernyataan kembali yang mutakhir" (contemporary restatement) tentang hukum perang di laut.
Rencana Aksi Madrid ini kemudian
dilanjutkan dengan pertemuan di Bochum (1989), Toulon (1990), Bergen (1991),
Ottawa (1992), Jenewa (1993) dan akhirnya di Livorno (1994). Adapun tujuan
dibentuknya Pedoman ini adalah untuk membentuk pernyataan kembali yang mutakhir
(contemporary restatement) mengenai hukum internasional yang diterapkan pada
sengketa bersenjata di laut. Pedoman ini tidak saja berisi tentang perkembangan
yang progresif dalam hukum perang di laut, namun banyak pula ketentuannya yang
masih diakui dan diterapkan.
Di samping terbentuknya Pedoman San
Remo tersebut, dihasilkan pula suatu penjelasan (explanation) yang dipersiapkan oleh suatu kelompok inti (core group) yang anggotanya juga telah
bertindak sebagai pelapor (rapporteurs).
Terbentuknya Explanation ini tidak
luput dari peran ICRC yang telah menyelenggarakan tiga pertemuan para rapporteurs, yang hasilnya menjadi dasar
terbentuknya Explanation tersebut.
Oleh karena itu Pedoman San Remo harus dibaca pula bersama-sama dengan Explanation, untuk mendapatkan pemahaman
yang sepenuhnya.
Pada saat ini San Remo Manual telah
diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dan telah disosialisasikan dan
dilatihkan secara luas dikalangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI
AL). Tidak hanya itu, bahkan San Remo Manual juga telah dijadikan salah satu
dokumen yang ada pada setiap kapal perang TNI AL.
B.
Ketentuan-Ketentuan Tentang Persenjataan
1.
Konvensi Senjata
Konvensional Tertentu (CCW)
Penggunaan bom napalm
mulai didiskusikan pada Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di
Teheran (1968). Usulan Konperensi agar diadakan suatu penelitian, didukung oleh
Komite Palang Merah Internasional. Laporan tentang napalm, senjata penghancur
lainnya dan semua aspek yang mungkin timbul akibat penggunaannya, disampaikan
oleh Majelis Umum 1972, yang menyimpulkan bahwa penyebaran kebakaran melalui
senjata ini berdampak kepada seluruh sasaran baik militer maupun sipil, bahwa
orang yang terluka benar-benar kesakitan, dan bahwa tindakan pengobatan sulit
didapat di sebagian besar Negara.
Konvensi PBB tentang
Larangan Atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang dapat mengakibatkan
Luka Berat atau Berdampak secara Menyeluruh, merupakan hal yang dituangkan
dalam Konperensi yang diselenggarakan di Jenewa pada 1979 dan 1980.
Penyelenggaraan Konperensi ini telah direkomendasikan oleh Konperensi diplomatik,
yang pada 1977 memberi persetujuan atas Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa
1949.
Hubungan yang dekat
antara konvensi senjata konvensional dan aturan Humaniter Internasional
lainnya, termasuk protokol 1977, diakui oleh Negara Pihak dengan mengingat
‘prinsip umum perlindungan bagi penduduk sipil dari akibat perang,‘ seperti
juga prinsip untuk menghindari penderitaan yang tidak semestinya dan
perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Tiga perangkat
Protokol menyertai Konvensi ini. Protokol pertama melarang penggunaan senjata
yang mengakibatkan luka yang tidak dapat dideteksi dengan sinar X. Protokol
kedua bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan ranjau darat dan
peralatannya yang diaktifkan dengan kontrol jarak jauh atau kontrol waktu.
Protokol ketiga membatasi penggunaan senjata yang dapat membakar.
PBB telah menetapkan
peraturan bagi kerja sama Internasional untuk pencegahan dan hukuman tindak
kejahatan terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam perang dan tindak
kejahatan terhadap kemanusiaan. Komitmen ini telah menambah dimensi baru dan
penting terhadap hukum Humaniter Internasional.
Konvensi pencegahan
dan hukuman bagi tindak kejahatan genosida yang disetujui oleh Majelis Umum
pada 1948 merupakan salah satu langkah awal dalam bidang ini. Konvensi sepakat
bahwa genosida, baik yang dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan
tindak kejahatan berdasarkan hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum
Negara Pihak. Tugas utama lainnya adalah untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum
Internasional yang diakui dalam Piagam Pengadilan Nuremberg, yang mengadili
penjahat perang setelah Perang Dunia II. Rumusan ini disiapkan komisi hukum Internasional
berdasarkan petunjuk dari Majelis Umum pada 1950.
Komisi juga membuat
rancangan kode pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, yang
berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana dari individu, sebagaimana
diputuskan dalam pandangan Pengadilan Nuremberg bahwa “tindak kejahatan
terhadap hukum Internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu entitas
abstrak, dan hanya dengan menjatuhkan hukuman kepada individu yang melakukan
tindak kejahatan tersebut, maka ketentuan Hukum Internasional baru dapat
ditegakkan.
2.
Ranjau Anti Personil
Ranjau anti-personil, berarti suatu ranjau yang didisain untuk diledakan
dengan kehadiran, dekatnya atau kontak sesorang sehingga akan menjadikan tidak
mampu, mencederai atau membunuh satu atau lebih orang, yang diperlengkapi
dengan alat-alat anti- penanganan, yang tidak dianggap ranjau anti-personil
sebagai suatu hasil diperlengkapi demikikan. "Ranjau" berarti suatu amunisi
yang didisain untuk ditempatkan dibawah, pada atau dekat darat atau area
permukaan lainnya dan untuk diledakan dengan kehadiran, kedekatan atau kontak
seseorang atau suatu kendaraan.
Ditetapkan untuk mengakhiri penderitaan dan
korban-korban kecelakaan akibat ranjau anti-personil, yang membunuh dan
mencederai ratusan orang tiap minggunya, yang kebanyakan adalah penduduk tak berdosa
dan tanpa pertahanan serta khususnya anak-anak, merusak pembangunan dan
rekonstruksi ekonomi, menghalangi pengembalian pengungsi luar negeri maupun
dalam negeri, dan mengakibatkan penderitaan-penderitaan lain bertahun setelah
penempatannya,
Mempercayai bahwa diperlukan usaha keras mereka dalam memberikan
konstribusi secara efisien dan terkoordinasi, untuk menghadapi tantangan
pengangkatan ranjau-ranjau anti personil yang ditempatkan diseluruh dunia dan
untuk menjamin pemusnahannya. Berharap untuk sepenuhnya berusaha dalam
memberikan bantuan perawatan dan rehabilitasi, termasuk re-integrasi sosial dan
ekonomi bagi korban-korban ranjau. Menyadari bahwa suatu tindakan penghentian
total terhadap ranjau-ranjau darat akan merupakan suatu tindakan membangun
kepercayaan yang penting. Menyambut pengadopsian Protokol tentang Pelarangan
atau Pembatasan Penggunaan Ranjau, Perangkap Peledak dan Peralatan Lain,
sebagaimana diamandemenkan pada tanggal 3 May 1996, yang dilampirkan pada
Konvensi tentang Pelarangan dan Pembatasan Penggunaan Senjata Konvesional
Tertentu Yang Dianggap Dapat Melukai Secara Berlebihan atau Memberikan Akibat
yang Membabi-buta, dan menghimbau ratifikasi awal atas Protokol ini yang oleh
Negara-negara juga belum diratifikasi, Menyambut juga Resolusi Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa 51/45 S 10 Desember 1996 yang meminta Negara-Negara untuk
mengupayakan secara giat suatu pernjanjian internasional yang mengikat secara
hukum dalam melarang penggunaan, penimbunan, produksi dan pengiriman
ranjau-ranjau anti personal.
Menekankan peranan kesadaran publik dalam meneruskan
prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana dibuktikan dalam himbauan tentang
pelarangan total atas ranjau-ranjau anti-personil dan menyadari usaha-usaha
mengakhirinya yang dilakukan oleh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah
Internasional, Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau dan berbagai
organisasi non-pemerintah lainnya diseluruh dunia. Menitik-beratkan keingingan
menarik perlekatan Negara-Negara pada Konvensi ini, dan menetapkan untuk
bekerja kuat menuju promosi universalisasinya pada semua forum yang relevan,
termasuk, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konfrensi Perlucutan Senjata, organisasi-organisasi
regional, dan perkumpulan-perkumpulan, dan konfrensi-konfrensi peninjauan
Konvensi tentang Pelarangan dan Pembatasan Penggunaan Senjata-Senjata Konvensional
Tertentu yang dianggap dapat melukai secara berlebihan atau dapat menyebabkan
akibat yang membabi-buta.
Mendasarkan pada prinsip hukum humaniter internasional
bahwa hak para pihak suatu sengketa bersenjata untuk memilih alat dan cara berperang
adalah tidak tak terbatas, pada prinsip yang di saat sengketa bersenjata
melarang penggunaan senjata-senjata, proyektil-proyektil dan bahan-bahan serta
metode-metode perang yang bersifat menyebabkan cedera yang berlebihan atau
penderitaan yang tidak perlu serta pada prinsip bahwa suatu pembedaan harus
dibuat antara penduduk sipil dan kombatan.
3.
Senjata Kimia Dan Biologi
Penggunaan senjata
kimia bukan sesuatu yang baru. Di zaman antik pun, orang Persia membakar bahan
aspal dan belerang untuk meracuni legiun Romawi. Pada perang Dunia I untuk
pertama kalinya digunakan gas klor dalam jumlah yang besar. Ini merupakan awal dari perang modern dengan senjata
pemusnah massal. Saat itu, sekitar 124.000 ton bahan
kimia digunakan untuk perang, dan menewaskan sekitar 90.000 orang. Sekitar satu
juta orang mengalami gangguan kesehatan, di antaranya sangat berat. Pakar kimia
Jerman, Fritz Haber yang dianugerahi hadiah Nobel Kimia tahun 1918, dianggap
sebagai "bapak" senjata kimia.
Tahun 1925 Protokol
Jenewa sudah menuntut larangan penggunaan senjata kimia. Meskipun demikian,
pada Perang Dunia II, perang Vietnam, dan perang Teluk Golf I digunakan bahan
kimia. Ribuan jiwa lenyap dalam waktu singkat. Sekitar 5000 warga Kurdi,
terutama perempuan dan anak, tewas pada 16 Maret 1988 dalam hanya satu serangan
gas beracun di Halabja, Akhirnya, April 1997 diberlakukan perjanjian senjata
kimia. 188
negara menandatangani kesepakatan ini. Namun Suriah, Angola, Burma, Mesir,
Israel, Korea Utara, Somalia dan Sudan Selatan tidak menandatanganinya. Menurut
perjanjian itu, semua yang disebut senjata C harus dimusnahkan. Organisasi bagi larangan senjata kimia, OPCW bermarkas di
Den Haag dengan sekitar 500 petugas.
Senjata kimia terdiri
dari bahan kimia untuk perang dan penyandangnya, misalnya ranjau, granat
tangan, panser penyemprot atau hulu ledak rudal. Bahan ini membuat korbannya
kehilangan nafas atau lumpuh. Awalnya terdiri dari gas beracun, misalnya klor
atau asam biru, namun mudah menguap. Industri kemudian mulai memproduksi racun
dalam bentuk cairan yang tidak lagi hanya masuk lewat paru-paru tetapi juga
melalui kontak dengan kulit dan menyebar
keseluruh organ tubuh serta menimbulkan akibat yang sangat berat. Bahan
yang ditakuti dalam kelompok ini adalah yang disebut gas sulphur mustard . Tahun
1822 seorang ahli kimia Belgia secara kebetulan berhasil membuat cairan berbau
busuk yang pada PD I melukai atau membunuh ribuan orang.
Gas Sarin yang
diperkirakan dipakai di Suriah, termasuk gas syaraf. Dikembangkan pada PD II
dan dapat membunuh hanya dengan porsi kecil. Sarin memasuki tubuh tidak hanya
melalui jalan pernafasan tetapi juga melalui kulit. Gunnar Jeremias, pemimpin
penelitian pengawasan senjata biologi di Pusat bagi Ilmu Pengetahuan Alam dan
Perdamaian, Universitas Hamburg mengatakan, orang dapat melindungi diri dari
Sarin hanya bila mengenakan pakaian yang menutup keseluruhan tubuh. Sarin
membuat orang tidak bisa lagi bernafas.
Tidak semua korban
Sarin, tewas. Namun membawa dampak kesehatan yang sangat parah, misalnya buta, luka
bakar pada kulit atau bayi cacat. Sejumlah senjata kimiawi sangat merusak
lingkungan yang dampaknya tak terhitung jumlahnya bagi manusia. Namun, hingga kini senjata kimia masih mudah diproduksi.
Yang lebih rumit adalah mendapatkan bahannya. Karena
itu, larangan senjata kimia juga menyangkut larangan produksi atau perdagangan
bahan yang dapat digunakan bagi senjata kimia. Tapi pakar memperkirakan,
bahan-bahan tersebut bisa diperoleh di pasar gelap. Selain itu bahan kimia ini
sangat tahan lama
Senjata biologis juga
diguanakan dalam perang dan tentunya memiliki efek yang berbeda kepada korban. Memang tidak
langsung membunuh tetapi korban akan menderita dan bentuknya seperti wabah. Ada
banyak cara untuk menerapkan serangan biologis , tetapi ini adalah beberapa
senjata yang paling ditakuti , Berikut ialah 6 Senjata Biologis yang Mematikan
dan Urutannya dari yang paling tidak berbahaya sampai yang paling berbahaya :
a.
Virus Ebola, Virus membutuhkan waktu sekitar seminggu untuk
membunuh korban , dan menyebar melalui kontak langsung .
b.
Botulinum toxin, bakteri Clostridium botulinum menghasilkan toksin botulinum, dan racun ini sangat mematikan bagi orang-orang dalam
jumlah yang sangat kecil (hanya seperrmilyar gram). Toksin menghambat pelepasan
bahan kimia dalam sel-sel saraf yang menyebabkan kontraksi otot, sehingga
menyebabkan kelumpuhan.
c.
Tularemia, Bakteri
ini menyebabkan tularemia. Bentuk yang paling mematikan, yang menyebabkan demam
atau penyakit pernapasan, membunuh 5 sampai 7 persen orang yang terkena, tetapi
vaksin merupakan pencegahan yang efektif, dan antibiotik dapat menghapus
infeksi ini.
d.
Wabah pneumonia, Wabah disebabkan oleh
bakteri. Dalam wabah pneumonia, bakteri memasuki paru-paru , dan seseorang akan
meninggal dalam tiga sampai empat hari jika tidak diobati . Wabah pneumonia
juga menular , menyebar melalui batuk dan bersin. Pandemi terbaru, yang
berlangsung sampai tahun 1922, menewaskan 10 juta orang. Akhirnya, Dinas
kesehatan masyarakat bertindak dengan mangarahkan inang bakteri, hewan pengerat dan kutu, dari kota, dan antibiotik
menjadi tersedia. Bahkan hari ini, antibiotik harus cepat diberikan untuk
mencegah kematian akibat wabah pneumonia. Wabah adalah senjata. Jepang mungkin
telah menyebarkan kutu yang terinfeksi di Cina selama Perang Dunia II, Amerika
Serikat dan Uni Soviet menemukan cara untuk membuat aerosol bakteri selama
Perang Dingin.
e.
Anthrax, Sebuah bakteri
penyebab anthrax. Memiliki bentuk spora yang sangat tahan lama. Jika spora atau
bakteri masuk ke dalam paru-paru Anda , mereka mereproduksi dan menciptakan
racun yang dapat berakibat fatal.
f.
Cacar, Cacar adalah virus. dan merupakan pembunuh utama
sampai bisa dikendalikan dengan vaksinasi pada abad ke-20. Telah diberantas di
seluruh dunia , tapi tetap ada rasa takut akan adanya teroris (para penjajah) bisa
melepaskan strain/jenis baru. Masalah utama pada cacar, seperti anthrax , yaitu bahwa hal itu sangat
menular. Menyebar dan membunuh sangat cepat . Sampai dengan 40 persen orang
yang terkena virus mati dari itu dalam waktu sekitar dua minggu , dan tidak ada
pengobatan yang baik untuk penyakit ini . Vaksinasi adalah perlindungan utama,
namun mereka harus diberikan sebelum infeksi agar vaksin dapat bekerja.
4.
Senjata Pemusnah Masal-Nuklir
Senjata nuklir adalah senjata yang mendapat tenaga
dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat - sebuah bom nuklir
mampu memusnahkan sebuah kota.
Senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali dalam pertempuran - semasa Perang
Dunia II oleh Amerika Serikat terhadap kota-kota Jepang, Hiroshima dan
Nagasaki.Pada masa itu daya ledak bom nuklir yg dijatuhkan di Hiroshima dan
Nagasaki sebesar 20 kilo(ribuan) ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini
berdaya ledak lebih dari 70 mega(jutaan) ton TNT
Negara pemilik senjata nuklir yang dikonfirmasi adalah
Amerika Serikat, Rusia, Britania Raya (Inggris), Perancis, Republik Rakyat
Tiongkok, India, Korea Utara dan Pakistan. Selain itu, negara Israel dipercayai mempunyai senjata nuklir,
walaupun tidak diuji dan Israel
enggan mengkonfirmasi apakah memiliki senjata nuklir ataupun tidak. Lihat
daftar negara dengan senjata nuklir lebih lanjut. Senjata nuklir kini dapat
dilancarkan melalui berbagai cara, seperti melalui pesawat pengebom, peluru
kendali, peluru kendali balistik, dan Peluru kendali balistik jarak benua.
Senjata nuklir mempunyai dua tipe dasar. Tipe pertama
menghasilkan energi ledakannya hanya dari proses reaksi fisi. Senjata tipe ini
secara umum dinamai bom atom (atomic
bomb, A-bombs). Energinya hanya diproduksi dari inti atom.
Pada senjata tipe fisi, masa fissile material (uranium yang diperkaya atau plutonium) dirancang mencapai supercritical mass - jumlah massa yang
diperlukan untuk membentuk reaksi rantai- dengan menabrakkan sebutir bahan
sub-critical terhadap butiran lainnya (the "gun" method), atau dengan
memampatkan bulatan bahan sub-critical menggunakan bahan peledak kimia sehingga
mencapai tingkat kepadatan beberapa kali lipat dari nilai semula. (the
"implosion" method). Metoda yang kedua dianggap lebih canggih
dibandingkan yang pertama. Dan juga penggunaan
plutonium sebagai bahan fisil hanya bisa di metoda kedua.
Tantangan utama di
semua desain senjata nuklir adalah untuk memastikan sebanyak mungkin bahan
bakar fisi terkonsumsi sebelum senjata itu hancur. Jumlah energi yang
dilepaskan oleh pembelahan bom dapat berkisar dari sekitar satu ton TNT ke
sekitar 500.000 ton (500 kilotons) dari TNT.
Tipe kedua
memproduksi sebagian besar energinya melalui reaksi fusi nuklir. Senjata jenis
ini disebut senjata termonuklir atau bom hidrogen (disingkat sebagai bom-H), karena
tipe ini didasari proses fusi nuklir yang menggabungkan isotop-isotop hidrogen
(deuterium dan tritium). Meski, semua senjata tipe ini mendapatkan kebanyakan
energinya dari proses fisi (termasuk fisi yang dihasilkan karena induksi
neutron dari hasil reaksi fusi.) Tidak seperti tipe senjata fisi, senjata fusi
tidak memiliki batasan besarnya energy yang dapat dihasilkan dari sebuah sejata
termonuklir.
Dasar kerja desain
Tellr-Ulam pada bomb hidrogen: sebuah
bomb fisi menghasilkan radiasi yang kemudian mengkompresi dan memanasi butiran
bahan fusi pada bagian lain. Senjata termonuklir bisa berfungsi dengan melalui
sebuah bomb fisi yang kemudian memampatkan dan memanasi bahan fisi. Pada desain
Teller-Ulam, yang mencakup semua senjata termonuklir multi megaton, metoda ini
dicapai dengan meletakkan sebuah bomb fisi dan bahan bakar fusi (deuterium atau
lithium deuteride) pada jarak berdekatan di dalam sebuah wadah khusus yang
dapat memantulkan radiasi. Setelah bomb fisi didetonasi, pancaran sinar gamma
and sinar X yang dihasilkan memampatkan bahan fusi, yang kemudian memanasinya
ke suhu termonuklir. Reaksi fusi yang dihasilkan, selanjutnya memproduksi
neutron berkecepatan tinggi yang sangat banyak, yang kemudian menimbulkan
pembelahan nuklir pada bahan yang biasanya tidak rawan pembelahan, sebagai
contoh depleted uranium. Setiap
komponen pada design ini disebut "stage"
(atau tahap). Tahap pertama pembelahan atom bom adalah primer dan fusi wadah
kapsul adalah tahap sekunder. Di dalam bom-bom hidrogen besar, kira-kira
separuh dari 'yield' dan sebagian
besar nuklir fallout, berasal pada tahapan fisi depleted uranium. Dengan
merangkai beberapa tahap-tahap yang berisi bahan bakar fusi yang lebih besar
dari tahap sebelumnya, senjata termonuklir bisa mencapai "yield" tak terbatas.
Senjata terbesar yang pernah diledakan (the Tsar Bomba dari USSR) merilis
energi setara lebih dari 50 juta ton (50 megaton) TNT. Hampir semua senjata
termonuklir adalah lebih kecil dibandingkan senjata tersebut, terutama karena
kendala praktis seperti perlunya ukuran sekecil ruang dan batasan berat yang
bisa di dapatkan pada ujung kepala roket dan misil.
Ada juga tipe senjata
nuklir lain, sebagai contoh boosted
fission weapon, yang merupakan senjata fisi yang memperbesar 'yield'-nya dengan sedikit menggunakan
reaksi fisi. Tetapi fisi ini bukan berasal dari bom fusi. Pada tipe 'boosted bom', neutron-neutron yang
dihasilkan oleh reaksi fusi terutama berfungsi untuk meningkatkan efisiensi bomb fisi. contoh senjata didesain untuk
keperluan khusus; bomb neutron adalah
senjata termonuklir yang menghasilkan ledakan relatif kecil, tetapi dengan
jumlah radiasi neutron yang banyak. Meledaknya senjata nuklir ini diikuti
dengan pancaran radiasi neutron. Senjata jenis ini, secara teori bisa digunakan
untuk membawa korban yang tinggi tanpa menghancurkan infrastruktur dan hanya
membuat fallout yang kecil. Membubuhi senjata nuklir dengan bahan tertentu
(sebagain contoh cobalt atau emas) menghasilkan senjata yang dinamai "salted bomb". Senjata jenis ini
menghasilkan kontaminasi radioactive yang sangat tinggi. Sebagian besar variasi
di disain senjata nuklir terletak pada beda "yield" untuk berbagai keperluan, dan untuk mencapai ukuran fisik
yang sekecil mungkin
BAB XII
IMPLEMENTASI
HHI DI INDONESIA
A.
Tindakan Legalisasi
Setiap negara peserta
harus mengeluarkan unang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk
menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya,
sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan
Pasal 84 Protokol I.
Setiap negara peserta
harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana
efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang
melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Perbuatan yang dianggap
salah adalah pelanggaran berat seperti ditentukan dalam Konvensi Jenewa, serta
setiap perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut,
sesuai Pasal 49-50, 50-51, 129-130, 146-147 masing-masing Konvensi Jenewa dan
Pasal 85-92 Protokol I. setiap negara peserta harus menyusun peraturan yang
dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan
mengenai penggunaan lambang pelindung Palang Merah; jika terjadi pelanggaran,
“dibutuhkan pula peraturan yang menerapkan sanksi pidana-“ terhadap
orang/kelompok /perusahaan yang melakukan penyalahgunaan lambang Palang Merah.
Penggunaan lambang Palang
Merah oleh pihak yang tidak berwenang maupun penggunaan lambang tiruan
merupakan penyalahgunaan, seperti ditetapkan pada Pasal 53-54 Konvensi I dan
Pasal 43-45 Konvensi II. Disamping undang-undang baru yang harus dikeluarkan,
negara peserta juga mempunyai kewajiban untuk menyesuaikan sistem undang-undang
yang sudah berlaku dengan berbagai ketentuan-ketentuan HHI. Untuk menjamin
penerapan hukum humaniter, peraturan yang perlu disesuaikan mencakup berbagai
bidang: militer, pidana, medis dan pertahanan sipil. Misalnya untuk negara
peserta Protokol I, jika perundang-undangan pidana nasional menetapkan hukuman
mati untuk kejahatan tertentu, Protokol I meminta agar hukuman mati tidak
dijatuhkan pada orang yang berumur dibawah 18 tahun, pada wanita hamil maupun
seorang ibu yang mempunyai anak kecil (Pasal 76-77 Protokol I).
B.
Tindakan Organisasional
1.
Tindakan
organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui
secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah
perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan
bergerak dari Dinas Kesehatan sedapat mungkin ditempatkan dengan cara
sedemikian rupa agak jauh dari objek militer, sehingga serangan yang dilakukan
musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan dari dinas
medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
Bangunan tetap, unit kesehatan dari Dinas Kesehatan,
serta pengangkutannya, alat perlengkapan dan personil medisnya harus ditandai
dengan lambang pelindung Palang Merah agar perlindungan yang diberikan oleh
Konvensi-konvensi Jenewa bersifat efektif, beberapa persyaratan harus terpenuhi
seperti mengeluarkan kartu pengenal khusus untuk personil medis (Pasal 38-44
Konvensi I, Pasal 41-45 Konvensi II dan Pasal 18 Konvensi IV).
2.
Tindakan
organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus
disiapkan di masa damai
Negara
peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap
sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi,
sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur
dalam persetujuan khusus tersebut. Negara-negara yang mungkin menjadi negara
pelindung, serta pihak yang akan menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan
sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10.
Di
samping itu, HHI seperti hukum yang lainnya, tidak mungkin mengatur semua
permasalahan yang diahadapi dalam kenyataan. Misalnya, bagaimana dengan
perlindungan yang dibutuhkan pesawat helicopter yang sedang melakukan kegiatan
kemanusiaan, seperti mengevakuasi korban atau menyelamatkan orang yang sakit
dan diperlukan apabila pesawat tersebut juga dapat dipakai untuk menjalankan
misi militer.
C.
Implementasi
Hukum Humaniter Internasional di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa pada tahun 1958.
Jumlah negara yang telah menjadi peserta pada Konvensi-konvensi Jenewa mencapai
188, berarti hampir seluruh dunia. Sejauh mana Indonesia telah memenuhi
kewajibannya sesuai HHI? Tindakan pelaksanaan yang mana telah diambil di
tingkat nasional untuk menjamin penerapan efektif dari Konvensi Jenewa apabila
terjadi konflik bersenjata?
Di Indonesia telah dibentuk Perhimpunan Palang Merah Nasional (PMI) yang
diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Namun ada suatu tindakan
legislatif penting yang belum diambil, yaitu menyangkut sanksi pidana terhadap
pelanggaran Konvensi-konvensi Jenewa. Peraturan itu dibutuhkan untuk menentukan
hukuman yang harus dijatuhkan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum
humaniter. Selama Indonesia belum mengeluarkan peraturan tersebut, tidak ada
jaminan bahwa sanksi pidana efektif akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang
melanggar HHI. Dan jika tidak ada kejelasan tentang sanksi pidana efektif ini
maka dapat dibayangkan bahwa upaya pencegahan pelanggaran hukum humaniter
menjadi lebih sulit lagi.
Meskipun demikian, terdapat beberapa peraturan nasional lainnya yang
merupakan implementasi HHI dan Konvensi Jenewa. Misalnya Surat Keputusan KASAD
mengenai petunjuk lapangan untuk perlakuan tawanan perang. Disamping itu,
terdapat pula suatu Surat Keputusan KASAD tentang senjata bakteri dan kimia
yang mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar dari HHI.
TNI Angkatan Darat telah pula mengeluarkan sebuah pedoman tentang Hak Asasi
Manusia dalam melaksanakan operasi militer. Untuk sementara, buku petunjuk
tersebut hanya berlaku untuk jajaran TNI yang berada di wilayah Kodam Trikora
(Irian Jaya dan Maluku) dan Kodam Udayana (Bali-NTB-NTT). Ketentuan-ketentuan
yang terdapat dalam pedoman TNI-AD tersebut penting sekali, karena menyesuaikan
pelaksanaan prinsip-prinsip HHI dan penghormatan hak-hak dasar manusia dalam
suatu operasi militer untuk kondisi di Indonesia, meisalnya penggunaan istilah
GPK (Gerakan Pengacau Keamanan / Gerombolan Pengacau Kemanan). Diharapkan buku
pedoman tersebut dipergunakan oleh semua kalangan di seluruh wilayah Indonesia.
Di jajaran Polri, ICRC juga membantu upaya untuk mempromosikan perlindungan
hak-hak dasar manusia. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain memberikan pembekalan
HAM dan HHI kepada anggota Polri yang akan memberikan pembekalah HAM dan HHI
kepada anggota Polri yang akan melakukan tugas operasi. Juga atas kerjasama
antara Mabes Polri dan ICRC telah dilaksanakan pelatihan untuk para instrukur
Polri di bidang HAM.
Dengan pihak universitas, ICRC telah memperluas jaringan kerjasamanya,
mencakup seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah untuk membantu dan
mendorong para dosen dalam pengajaran materi HHI di berbagai perguruan tinggi.
Untuk itu telah dilaksanakan kursus regional HHI (di Jakarta, Medan, Palembang,
Ujung Pandang, Yogyakarta, Manado, dan Mataram). Untuk menengkatkan kualitas
pengajaran HHI juga kepada para dosen yang bersangkutan telah diberikan
bahan/sarana pendukung yang dibutuhkan.
Pada saat ini materi HHI sudah dimasukkan dalam kurikulum di berbagai
fakultas hukum dan disajikan sebagai mata kuliah tersendiri / wajib atau
sebagai bagian dari mata kuliah lain. Bahkan di beberapa universitas telah
didirikan pusat studi HAM dan Hukum Humaniter (yaitu di Universitas Trisakti,
UGM Yogya, UNSRI Palembang dan UNSYAH Banda Aceh). Dapat dikatakan bahwa minat
mahasiswa Indonesia untuk mempelajari HHI cenderung menigkat.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Fadillah. Hukum
Humaniter Suatu Perspektif. Jakarta:
Pusat Studi Hukum, Humaniter Internasional Universitas Trisakti. 1997.
Arlina
Permanasari, Pengantar Hukum
Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
C. de Rover, To
Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2000.
Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging War, Geneva: ICRC, 2001
Gary D. Solis, The
Law of Armed Conflict: International Humanitarian Law in War,
United Kingdom: Cambridge Press, 2010
GPH.
Haryo Mataram, Bunga Rampai Hukum
Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
----------------, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta,
2002. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI,
Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan
Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002
Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law An Introduction. Haupt: ICRC-Henry Dunant
Institute. 1993.
Human Rights Watch, Genocide, War Crimes and Crimes Against Humanity: A Topical Digest of
the Case Law of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, United
States of America:
Human Rights Watch, 2006
ICRC, Pengantar
Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
-------------, Penghormatan
Terhadap Hukum Humaniter Internasional: Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No.
1 tahun 1999, ICRC, 1999.
J.G.
Starke, Pengantar Hukum Internasional 2,
Edisi Kesepuluh, Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Komnas
HAM. “Hukum Humaniter International dan
Hak Asasi Manusia, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia.” 2009.
Made Nidya Lestari Karma. “Perlindungan Hukum terhadap Korban Perang (Perempuan) dalam Kaitannya
dengan Hak Asasi Manusia”, Kertha Aksara Media Komunikasi Fakultas Hukum
Universitas Udayana. 2008
Syahmin A.K. SH, Hukum
Internasional Humaniter, Jilid 1: Bagian Umum, Bandung: Armico, 1985
Jurnal
Agustinus Supriyanto. 2000. “Peranan yang Dapat Dijalankan oleh ICRC dalam Internal Strife yang
Terjadi di Aceh.” Banda Aceh: Jurnal Ilmu Hukum, No. 25 Tahun X April 2000,
Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala Darussalam.
David Kretzmer, The
Supreme Court of Israel: Judicial Review During Armed Conflict, German
Yearbook of International Law, 392, 2004
Heribertus Jaka Triyana “Prinsip Kompensasi dalam Hukum Humaniter” dalam Makalah Penataran
Tingkat Lanjut Hukum Internasional. Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed. 2000
Heribertus Jaka Triyana, 2000. “Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dan
Penerapan Sanksi Dewan Keamanan PBB Terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil
Pada Pelanggaran Hukum Internasional.” Purwokerto: Makalah Penataran
Tingkat lanjut Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unsoed
Michael N. Schmitt, Military Necessity and Humanity in International Humanitarian Law:
Preserving the Delicate Balance, Virginia
Journal of International Law, Volume 50:4, 2010
Nobuo Hayashi, Requirements
of Military Necessity in International Humanitarian Law and International
Criminal Law, Boston University
International Law Journal, Volume 28:39, 2010
Westra, Joel H. International
Law and the Use of Armed Force – The UN Charter and the Mayor Powers, London and New
York: Routledge, 2007.
Jurnal Dan Working Papers
Jurnal Dan Working Papers
Instrumen-Instrumen
Internasional :
Convention (IV)
relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
Customary
International Humanitarian Law First Report of The Prosecutor of The
International Criminal Court to The UN Security Council Pursuant To Unscr 1970
(2011
Protocol
Additional to the Geneva
Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of
Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977