KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN MAHKAMAH
KONSTITUSI
DALAM PENGUJIAN UNDANG UNDANG
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu hasil yang jelas
terlihat dengan adanya perubahan terhadap UUD 1945 adalah dengan dibentuknya
sebuah lembaga negara baru yang bertugas untuk mengawal konstitusi di
Indonesia, dan lembaga negara tersebut dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional
Court). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke IV menyatakan bahwa :
“Negara Indonesia adalah negara hukum.” Hal ini berarti bahwa semua kegiatan
dalam praktek ketatanegaraan harus didasarkan atas hukum, termasuk pula dalam
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini praktek
ketatanegaraan tersebut harus didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia adalah : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ;
Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; Peraturan
Pemerintah ; Peraturan Presiden ; Peraturan Daerah.
Dari pasal tersebut terlihat
bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menduduki tempat
tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga
konsekuensi dari adanya tingkatan hierarkis tersebut adalah peraturan yang
lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Kemudian untuk menjamin penyusunan peraturan perundang-undangan tidak
bertentangan dengan konstitusi, maka harus dilakukan mekanisme untuk
mengawasinya melalui hak menguji (toetsingsrecht). Adanya hak menguji
ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam
konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang
tertinggi (supreme), artinya eksistensi dari hak menguji tersebut
adalah sebagai penjamin agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan
secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental
yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Jika terdapat suatu peraturan yang
lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka perlu
diadakan pengujian terhadap peraturan tersebut.
Mahkamah Konstitusi merupakan
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan” dan ayat (2) yang menyatakan : “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”, hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip
umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh
kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan
Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam,
tetapi secara umum pembentukan Mahkamah Konstitusi berawal dari suatu proses
perubahan politik yang otoriter menuju demokrasi (Ni’matul Huda, 2003: 222).
Mahkamah Konstitusi di banyak negara ditempatkan sebagai elemen penting dalam
sistem negara konstitusional modern. Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi
merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang
lebih baik. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks
and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara
sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan
Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi
kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi melalui amandemen ke-4 UUD
1945 telah menjadi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah
Agung, dan konstitusi telah memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial
review) suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan
tersebut selanjutnya diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003.
Pengujian yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 terbatas
pada pengujian apakah materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai
dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah
Undang-Undang dilakukan di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Judicial
Review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial
terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan Legislatif,
Eksekutif, maupun Yudikatif. Pengujian oleh Hakim terhadap produk cabang
kekuasaan legislatif (legislative act) dan cabang kekuasaan
eksekutif (executive act) merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check
and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power).
Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of
power) yang tidak mengidealkan prinsip check and balances,
kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang
membuat aturan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa : Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan
oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; Mahkamah
Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan
oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga
orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden; Ketua dan
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi; Hakim
Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil,
negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap
sebagai Pejabat Negara; Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum
acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang-
Undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut,
Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk (Booklet Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006 : 3): Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945; Memutus pembubaran Partai Politik. Dan Memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Dan yang menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah
memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
diduga : (1) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa (a) penghianatan terhadap
negara, (b) korupsi, (c) penyuapan, (d) tindak pidana berat lainnya; (2) atau
perbuatan tercela, dan/atau (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (Booklet Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, 2006 : 3). Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang menggantikan paham
supremasi MPR dengan supremasi konstitusi, maka kedudukan tertinggi dalam
Negara Indonesia tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945, maka setiap lembaga
negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak lagi dikenal istilah
Lembaga Tertinggi Negara atau Lembaga Tinggi Negara (Prof. Dr. jimly
Asshiddiqie, S.H., 2005 : 12). Dengan demikian, walaupun Mahkamah Konstitusi
merupakan lembaga yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia,
namun lembaga ini mempunyai kedudukan yang sederajat dengan
lembaga negara yang lain, yang telah ada sebelumnya seperti MPR, DPR, Presiden,
MA dan lain-lain. Dengan adanya kedudukan yang sederajat antara Mahkamah
Konstitusi dengan lembaga negara lain yang telah disebutkan tadi, maka hal
tersebut akan mempermudah dan memperlancar pelaksanaan tugas konstitusional
Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat sistem check and balances antar
cabang kekuasaan negara. Sebagai lembaga negara yang tergolong baru dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia, masih banyak orang yang belum menyadari
arti penting dari Mahkamah Konstitusi dan hanya sebagian orang saja yang
mengetahui maksud dan tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang banyak dilakukan adalah kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar (judicial review), tetapi hal ini belum menjadi
hal yang umum bagi masyarakat, seperti mengenai bagaimana kewenangan yang
dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), dan bagaimana prosedur
pelaksanaan pengujian terhadap Undang-Undang tersebut. Maka berdasarkan hal-hal
tersebut penulis bermaksud untuk meneliti dan menggali lebih dalam lagi
mengenai kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, khususnya kewenangan
Mahkmah Konstitusi dalam melakukan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar (judicial review).
B. Perumusan
Masalah
1. Bagaimana kewenangan yang dimiliki Mahkamah
Konstitusi dalam melaksanakan pengujian Undang-Undang (judicial review)
di Indonesia?
2. Apa kelebihan dan kekuraangan pengujian terhadap
Undang-Undang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi?
C.
Pembahasan
Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan
kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan undang-undang adalah produk
politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang politik elit” yang bisa jadi
hanya diisi oleh para politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat
yang mengisi “ruang-ruang politik publik”. Dengan dinamika proses yang terjadi
dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang
dibentuk sarat muatan politik. Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan
adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar
hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang
mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa.
Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak
konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD.
Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu
bentuk upaya perlindungan hak konstitusional warga Negara.
Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk
menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu (Sumantri, 1986). Validitas suatu undang-undang dari sisi materi dan
proses pembentukannya akan diuji dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis
hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan
salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU
Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat
mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu
undang-undang kepada MK.
Perlu diingat bahwa dalam sistem hukum di Indonesia juga dikenal pengujian
peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. kewenangan menguji baik secara
materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada
Mahkamah Agung.
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan
dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian
ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat,
pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.
Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji pembentukan undang-undang
apakah sudah sesuai dengan proses pembentukan yang telah diatur dalam UUD.
Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian
secara materiil objek yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam
undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses
pembentukan undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang
sama yaitu UUD.
Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan adanya
kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini
adalah undang-undang, harus memperhatikan dua aspek yaitu materi dan proses.
Salah satu aspek tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pengujian
Undang-undang dilakukan
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga
sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK)
No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Tahapan pengajuan dan
pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:
1. Pengajuan permohonan;
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan
ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada
panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus
menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar.
Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan
undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan
dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan
dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang
akan digunakan dalam persidangan.
Ada empat kategori yang dapat mengajukan permohonan pengujian
undang-undang, yaitu:
a.
Perorangan
warga Negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b.
Kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
c.
Badan
hukum publik atau badan hukum privat;
d.
Lembaga
Negara.
2. Pemeriksaan
kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan
atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih
kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh
hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh
pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan
permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak
diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas
permohonan.
3. Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (BRPK);
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari
sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada
DPR dan Presiden. Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya
permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang
diuji.
4. Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua
MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian
undang-undang tersebut.5. Penjadwalan
Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan
ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan
pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam
jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
6. Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan
pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan.
Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau
kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu
selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan
tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal
yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau
telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada
Presiden, DPR dan Mahkamah Agung.
7. Sidang pemeriksaan pokok perkara dan
bukti-bukti;
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri
dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa
bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim
wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang
dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara
yang terkait dengan permohonan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dalam tahap ini meliputi:
1. Pemeriksaan pokok permohonan;
2. Pemeriksaan alat-alat bukti
tertulis;
3. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
4. Mendengarkan keterangan DPR
dan/atau DPD;
5. Mendengarkan keterangan saksi;
6. Mendengarkan keterangan ahli;
7. Mendengarkan keterangan
keterangan pihak terkait;
8. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan,
perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti
lain yang dapat dijadikan petunjuk;
9. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang
berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara
elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.
Setelah pemeriksaan tersebut selesai, maka para pihak diberi kesempatan
menyampaikan secara lisan dan/atau tertulis paling lambat tujuh hari sejak
persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.
DPR bersama dengan presiden sebagai pembentuk undang-undang menjadi salah
satu pihak dalam persidangan. Posisinya seperti termohon dalam persidangan
umum. Dalam persidangan tersebut, DPR harus memberikan keterangan, yaitu keterangan
resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang
terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok
perkara. DPR dalam hal ini diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa
kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait
dan/atau anggota DPR yang ditunjuk. Selanjutnya, kuasa pimpinan yang ditunjuk
tersebut dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia dan/atau anggota
DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan.
Sementara itu, Presiden sebagai mitra DPR dalam membentuk undang-undang
dalam persidangan data memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri
Hukum dan HAM beserta para menteri dan/atau pejabat setingkat menteri yang
terkait dengan pokok permohonan.
8. Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah
tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah
hakim berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa
diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan
suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara
terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang
dapat berupa:
1.
Dikabulkan;
Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar UUD dan
apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan UUD;
2.
Ditolak;
Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh
pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak
bertentangan dengan UUD;
3.
Tidak
diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak
dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka
undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan
tersebut menjadi tidak berlaku. MK
merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa
ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
Kelemahan dan
Pengujian Undang undang oleh MK
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban. Salah satu
kewenangan yang paling penting adalah menguji undang-undang, karena kewenangan
ini bertujuan untuk melindungi hak konstitusional rakyat Indonesia atas
berlakunya undang-undang. Walaupun sangat penting, banyak masyarakat yang tidak
mengetahui proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, hal ini
dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru begitu juga dengan hukum
acaranya, serta hukum acara pengujian undang-undang belum pernah diajarkan
dalam perkuliahan, dan bahan kepustakaan yang membahas pengujian undang-undang
sampai saat ini masih sedikit.
Makalah ini menitikberatkan pada prosedur penyelesaian perkara pengujian
undang-undang, pelaksanaan putusan pengujian undang-undang, serta kelemahan
dan kekurangan hukum acara pengujian undang-undang. Hasil penelitian
menunjukkan adanya hal-hal baru yang ditambahkan dalam prosedur pengujian
undang-undang. Selain itu, banyak juga pelanggaran terhadap hukum acara
pengujian undang-undang baik dalam praktik penyelesaian perkaranya maupun dalam
pelaksanaan putusannya. Dengan adanya hal-hal baru dan pelanggaran-pelanggaran
tersebut, maka tampaklah kelemahan dan kekurangan hukum acara pengujian
undang-undang. Kata kunci: pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi.
D.
Kesimpulan
Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang
kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia
sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Sebagai
lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang
cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara
lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal
tersebut, secara teoritis Mahkamah Konstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai
pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.
Mahkamah Konstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim Konstitusi[24]
dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas
konstitusionalitasnya, dan dengan jubah merahnya para Hakim Konstitusi telah
berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah
konstitusi” sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution).
Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk
menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan
demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang mertabat? Memang pada
saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah
dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga
hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era
peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah Konsitusi sebagai
salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dalam rangka membangun
konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi diberbagai
sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang.
Bukankah pepatah klasik Cina mengatakan, ”perjalanan beribu-ribu mil dimulai
dengan satu langkah keyakinan
Dalam beberapa putusannya MK telah memutuskan melebihi dari yang
dimohonkan (ultra petita) sehingga dapat dikualifikasikan menjadi 3 (tiga)
bentuk yaitu: Pertama, MK dalam menetapkan inkonstitusional pasal yang merupakan
jantung UU dan sebagai dasar operasionalisasi pasal-pasal lain (bagian atau
seluruh pasal UU) MK menyatakan tidak mengikat bagian atau UU secara
keseluruhan. Kedua, termasuk jika bagian dalam pasal yang diuji
inkonstitusional, maka diputuskan bagian lain dalam pasal tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Ketiga, MK menyatakan menunda tidak berlakunya UU yang
dinyatakan inkonstitusional meskipun dalam permohonan tidak diminta.
Belum diatur ketentuan ultra petita baik dalam UUD 1945 maupun UU MK
serta PMK dalam kekuasaannya mengadili menurut hukum harus ditemukan hakim
hukumnya. Kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena pengadilan tidak boleh
menolak perkara. MK harus menemukan hukumnya utamanya dari hukum tertulis atau
hukum tidak tertulis sesuai dan tidak berlawanan dengan UUD 1945.
Kedudukan MK dalam struktur ketatanegaraan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
sejajar dengan MA. Batu uji dalam menguji adalah UUD 1945, sehingga MK
satu-satunya lembaga penjaga dan penafsir konstitusi. Sebagai penafsir
konstitusi tidak selayaknya menggunakan asas yang berlaku di peradilan perdata
atau peradilan lainnya yang tidak sesuai dengan kedudukan, sifat dan karakter
hukum acara pengujian untuk menjaga kesatuan sistem hukum dengan UUD 1945
sebagai hukum tertinggi.
Ultra petita sangat sesuai sifat hukum publik hukum
acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas
tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif dalam hukum acara perdata. Pengujian UU
adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim
sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus
konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam
pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta
kepentingan umum yang dilindungi.
Pemisahan tegas antarkekuasaan
tidak sejalan untuk kepentingan publik. Kekuasaan kehakiman tidak hanya
memproduk vonis, akan tetapi juga peraturan dan menemukan hukum dalam kekuasaan
mengadilinya. Berbeda dengan hakim lain, apalagi dalam hukum perdata yaitu
peraturan-peraturan hukum yang objeknya kepentingan-kepentingan khusus dan soal
akan dipertahankan atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan.
Sifat hukum publik berakibat
putusan yaitu: Pertama, putusan bersifat erga omnes. Kedua, putusan MK berlaku
kedepan (prospective), bahkan di negara-negara lain banyak yang berlaku
surut (retroactive) yang belum dikenal. Ketiga, semua orang harus
menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate habetur)
dan berlaku ne bis in idem dengan dapat dimohonkan kembali dengan pengecualian
syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang
bersangkutan berbeda. Keempat, sejak diucapkan memiliki kekuatan hukum pasti
(in kracht van gewijsde) dan tidak ada upaya hukum apapun. Kelima, akibat
putusan terhadap UU lain yang materi muatannya sama atau perkara yang menggunakan
pasal yang diperkarakan belum diatur, termasuk penangguhan atau penghentian
perkara sebelum pengujian diputuskan.
Akan tetapi kekuasaan MK tidak
tak terbatas sebagaimana praktik MPR sebagai lembaga penafsir konstitusi dengan
merubah UUD 1945 menggunakan Tap MPR. Kekuasaan MK terbatas sesuai
wewenang asli yang ditentukan dalam konstitusi. MK tidak dibenarkan merubah
terlalu jauh UUD 1945 atau membuat konstitusi menjadi baru melalui penafsiran.
Kekuasaan MK untuk mengatur terbatas sebagaimana yang didelegasikan oleh
pembentuk UU. Dalam kekuasaan mengadilinya MK harus menggunakan sumber-sumber
hukum pada umumnya khususnya sumber hukum tata negara.
Dengan dianut ultra petita di MK seharusnya diikuti perumusan UU
untuk mengaturnya lebih terperinci berpedoman pertimbangan hukum yang
beralasan. Apabila pembentuk UU lamban meyusun penjabaran hukum acara pengujian
UU secara terperinci sesuai kedudukan, sifat, karakter dan asas-asas dalam PMK
dan kekuasaan mengadili menurut hukum hakim harus menemukan hukum acara yang
tepat untuk melaksanakan pengujian UU.
REFERENSI
Apeldoorn, L.J. Van, 2001. Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan Oetarid
Sadino), Cetakan Kedua puluh sembilan, Jakarta: Pradnya Paramita.
Asshiddiqie, Jimly, 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai
Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Hadjon, Philipus M., dan Djatmiati, Tatiek Sri., 2005. Argumentasi
Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
I. Rubini, dkk., 1982. Hukum Acara Perdata Dalam Yurisprudensi
Mahkamah Agung (1955-1975), Bandung: Alumni.
Kansil, 1976. Kedudukan dan Ketetapan MPR Lembaga Tertinggi Negara,
Jakarta: Pradnya Paramita.
Martosoewignyo, Sri Soemantri, 1979. Persepsi terhadap Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945,
Bandung: Penerbit Alumni.
Mertokusumo, Sudikno, 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan
Pertama, Yogyakarta: Liberty.
Prodjodikoro, Wirjono,
1983. Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan Kelima, Jakarta:
Penerbit Dian Rakyat.
Ranawijaya, Usep, 1983.
Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Ranuhandoko, I.P.M, 2000.
Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.
R. Soeparmono, 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi,
Bandung: Mandar Maju.
R. Soepomo, tanpa tahun.
Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta:
Penerbitan Noordhoof-Kolff N.V.
Subagio, Mas, 1983.
Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan,
Bandung: Penerbit Alumni.
Subekti, 1981. Pembinaan
Hukum Nasional, Bandung: Alumni.
Suny, Ismail, 1985. Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam
Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, Jakarta:
Aksara Baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar