Senin, 24 Juni 2013

Makalah Terstruktur KPU


a.             Saya menilai kemampuan kepemimpinan saya 95

b.             Karena pengalaman saya dalam memimpin organisasi, dapat saya manajemen dengan baik dan pertanggungjawabkan sampai akhir periode jabatan. Kepemimpinan dalam pemahaman saya merupakan amanah yang sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Pemimpin harus memberikan inspirasi bagi yang dipimpinnya, menyelesaikan pekerjaan dan mengembangkan yang dipimpinnya, memberikan contoh kepada yang dipimpinnya bagaimana melakukan pekerjaan, menerima kewajiban-kewajiban, dan memperbaiki segala kesalahan atau kekeliruan. Pemimpin dapat mempengaruhi moral dan kualitas kehidupan kerja dan terutama tingkat prestasi suatu organisasi yang dipimpinnya.
Demikian juga bahwa antara pemimpin dan yang dipimpin harus terjalin kerjasama yang baik. Saya memahami bahwa kepemimpinan yang saya lakukan harus ditunjang oleh kemampuan dan intensitas kinerja saya yang tinggi dan harus menjadi contoh bagi yang saya pimpin. Kemampuan dan keterampilan kepemimpinan saya dalam mengarahkan organisasi adalah faktor utama efektifitas kerja. Kepemimpinan membutuhkan penggunaan kemampuan secara aktif untuk mempengaruhi pihak lain dan dalam mewujudkan tujuann organisasi yang telah ditetapkan lebih dahulu.
Kepemimpinan akan berjalan dengan baik jika pemimpinnya menyadari bahwa menjadi pemimpin harus mempunyai keterampilan manajemen (managerial skill) dan keterampilan teknis (technical skill). Semakin rendah kedudukan seorang teknis pemimpin dalam organisasi maka keterampilan lebih menonjol dibandingkan dengan keterampilan manajemen, artinya bahwa semakin tinggi kedudukan seorang pemimpin dalam organisasi maka semakin dituntut dari padanya kemampuan berpikir secara konsepsional strategis dan menyeluruh. Selain itu, bahwa semakin tinggi kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia semakin generalis, sedang semakin rendah kedudukan seseorang dalam organisasi maka ia menjadi spesialis.
Pemimpin timbul sebagai hasil dari persetujuan anggota organisasi yang secara sukarela menjadi pengikut. Pemimpin sejati mencapai status mereka karena pengakuan sukarela dari pihak yang dipimpin. Seorang pemimpin harus mencapai serta mempertahankan kepercayaan orang lain. Dengan sebuah surat keputusan, maka seseorang dapat diberikan kekuasaan besar tetapi hal tersebut tidak secar aotomatis membuatnya menjadi seorang pemimpin dalam arti yang sebenarnya.
Pengalaman yang membuktikan kualitas dan karakter kepemimpinan saya yaitu sejak di sekolah dasar sampai di sekolah menengah, saya sering kali menjadi Ketua kelas, di perguruan tinggi menjadi Sekretaris senat Mahasiswa, di bidang kepemiluan, yaitu satu kali menjadi Anggota PanitiaPemilihan Kecamatan (PPK).
Di keluarga menjadi kepala keluarga, serta dalam tugas pokok saya menjadi seorang pengajar (dosen). Ukuran kualitas kepemimpinan yang saya terapkan dalam memimpin, yaitu:
1.            Mampu mengambil keputusan; Jika kita gagal mengambil keputusan, makaitupun juga sebuah keputusan, tapi jika kita terlatih dan berhasil, maka kitaakan memiliki keputusan yang berkualitas.
2.            Mampu memberikan arah; Petunjuk jalan yang benar selalu menolong saya untuk mencapai tujuannya. Begitu pula saya dalam memimpin, selalu berusaha untuk tangguh, selalu berlatih untuk melihat jauh ke depan. Mau kemana, mau jadi seperti apa, itulah kemampuan yang terus menerus saya latih dan terus ditingkatkan.
3.            Tegas dan konsisten; Ketegasan selalu menjadi problem klasik bagi para pemimpin yang gagal. Mereka mampu memutuskan tapi mudah dipengaruhi, sehingga mudah berubah. Perubahan situasi akan selalu menjadi tantangan setiap pemimpin yang telah berhasil mengambil keputusan. Perubahan adalah sebuah tantangan bagi sebuah ketegasan. Konsistensi adalah keberanian untuk menanggung segala konsekuensi, akibat apapun, akibat sebuah keputusan. Resiko adalah tantangan sebuah keputusan. Perubahan adalah resiko sebuah ketegasan yang rapuh. Mungkin saja ketegasan berbuahkan resiko. Tapi konsistensilah yang akan menyelamatkan sebuah ketegasan.
4.            Kemampuan menjaga martabat; Menurut saya, nilai-nilai yang jelas dan benar akan menolong saya sebagai pemimpin untuk menjaga martabatnya diri dan organisasi. Kegagalan utama seorang pemimpin adalah ketidakmampuannya menjaga martabatnya. Kompromi adalah musuh martabat. Kemampuan menjaga martabat dimulai dari hal-hal sederhana seperti menjaga ucapannya, menjaga tindakannya, menjaga responnya, menjaga penampilannya, dan menjaga moralnya.
5.            Kecerdasan kepemimpinan (Leadership Quotient); Menurut saya harus dibangun oleh empat integrasi kualitas yaitu perlu dilatih, perlu diasah, perlu dikembangkan dan jangan pernah berhenti mempertajamnya (Decision, Direction, Decisive, dan Dignity). Sedangkan karakter kepemimpinan saya, yaitu dengan maksimal bekerja pada organisasi yang saya pimpin dalam menggerakannya, berusaha menselaraskan kepentingan dan tujuan pribadi dengan kepentingan organisasi, senang menerima saran, pendapat bahkan kritik dari yang saya pimpin, mentolerir anggota yang dipimpin yang membuat kesalahan dan memberikan pendidikan kepadanya agar jangan berbuat kesalahan dengan tidak mengurangi daya kreativitas, inisiatif dan prakarsa darinya, lebih menitik beratkan kerjasama dalam mencapai tujuan, selalu berusaha untuk menjadikan yang saya pimpin lebih sukses dari padanya, dan selalu berusaha mengembangkan kapasitas diri sebagai pemimpin.







a.             Saya menilai tingkat integritas saya 95

b.             Karena saya merasa memiliki harga diri yang tinggi, rasa syukur dengan keadaan keuangan, nilai-nilai kehidupan positif sebagai sistem pendukung moral yang kuat, dan kemampuan diri hidup dalam keseimbangan pribadi dan sosial yang kuat. Saya merasa bahwa  dapat memanajemeni kegiatan dengan baik, mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan, dengan tidak menunda-nunda waktu serta memanfaatkan waktu dengan efektif.
Di lingkungan kerja sebagai dosen, saya memiliki jadwal pengajaran, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi kegiatan pengajaran dengan maksimal, serta umumnya melaksanakan pengajaran dengan tepat waktu Dalam memimpin organisasi, saya menerapkan model kepemimpinan panutan, yaitu bahwa saya menjadi panutan bagi yang saya pimpin, menjaga kebersamaan dan kekompakkan dalam melaksanakan program kerja guna mencapai tujuan organisasi.
Di masyarakat, saya selalu menjaga hubungan sosial saya denganorang lain, dengan mengutamakan sifat saling menghargai, menghormati, memahami, antara sesama anggota masyarakat.
Menurut saya, integritas tidak memiliki kesetiaan yang terbagi, dan tidak  berpura-pura atau munafik. Orang dengan integritas adalah manusia yang utuh. Mereka dapat diidentifikasikan oleh pemikiran tunggal mereka. Orang dengan integritas tidak menyembunyikan sesuatu dan tidak gentar terhadap apapun juga. Hidup itu seperti  buku yang terbuka.
Integritas dalam kepemimpinan adalah suatu perilaku yang utuh, konsisten, komitmen dari seorang pemimpin dalam perkataan sama dengan tindakannya, memiliki kemampuan dan sistem nilai yang dianutnya, yang ditampakkan dalam sikap hidupnya sehari-hari dimanapun ia berada dan dengan siapapun terutama dalam tugas dan fungsinya sebagai pimpinan.


















a.                 Saya menilai tingkat independensi saya 95

b.                Karena saya merasa bahwa independensi dalam bersikap terhadap kebenaran yang hakiki berdasarkan pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, etika dan norma, merupakan pedoman hidup saya dalam berbuat di lingkungan masyarakat. Selain itu saya selalu mengikuti nurani saya yang diiringi dengan pikiran logis saya untuk  bersikap independensi terhadap suatu hal dengan melihat sisi kebenaran, maupun dampak baik atau buruknya terhadap keputusan yang diambil untuk kepentingan masyarakat yang lebih baik.
Pengalaman yang membuktikan derajat independensi saya yaitu pada aktivitas saya sehri-hari. Di keluarga, sikap independensi yang saya lakukan adalah dengan tidak memihak pada salah satu anggota keluarga, memahami hak dan kewajiban sebagai Kepala Keluarga dengan berusaha memenuhi apa yang dibutuhkan keluarga, baik kebutuhan istri maupun keperluan anak.
Di lingkungan masyarakat, dengan menjaga hubungan sosial dengan baik, memutuskan masalah bersama berdasarkan akal sehat dengan berdasar pada aturan yang berlaku, saat saya menjadi Sekretaris Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Sewon pada tahun1999, dalam bertindak untuk organisasi, saya selalu berpedoman pada tugas, wewenang dan kewajiban Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dalam bertindak untuk mencapai tujuan organisasi.

c.                 Sikap saya ketika terdapat kepentingan partai politik tertentu meminta kepentingannya diakomodasi dan jika tidak diakomodasi akan terjadi keguncangan politik yang besar yaitu menelaah kepentingan tersebut dengan cepat dan tepat dengan berpedoman pada peraturan yang berlaku, kemudian bersikap mengambil keputusan yang benar. Selama kepentingan tersebut, tidak melanggar aturan, maka tentunya harus difasilitasi kepentingannya, tetapi jika tidak, maka harus ditolak kepentingan tersebut dengan memberikan penjelasan yang tepat kepada mereka untuk menaati aturan main yang telah ditetapkan sebelumnya.














a.             Menurut saya pemilu sangat penting di negara demokrasi, karena di negara demokrasi semua yang dihasilkan bersumber dari rakyak, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga pemilu sangat diperlukan sebagai sarana bagi rakyat untuk iku tmenentukan kriteria dan arah kepemimpinan negara dalam periode waktu tertentu. Dengan demikian, ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari masyarakat, penyelenggaraan pemilu yang demokratis menjadi syarat penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan beberapa kali pemilu, dimana awalnya pemilu ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amamdemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dilakukan oleh MPR dilakukan langsung oleh rakyat, sehngga Pemilihan Presiden punmasuk ke dalam ranah pemilu yang diadakan setiap lima tahun sekali.
b.             Menurut saya Sistem pemilu, sistem kepartaian, dan sistem pemerintahansangat erat hubungannya. Dalam kerangka negara demokrasi, pelaksanaan pemilu merupakan momentum yang sangat penting bagi pembentukan pemerintahan dan penyelenggaraan negara periode berikutnya. Pemilu, selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakil juga dapat dilihat sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial.
Peran sentral Pemilu tersebut terlihat dari perannya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat, maka dalam konstitusi negara UUD 1945 Pasal 1 ayat (2) memberikan jaminan pemilu adalah salah-satunya cara untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Artinya pemilu merupakan pranata wajib dalam pelaksanaan kedaulatan rakyat dan konstitusi memberikan arah dan mengatur tentang prinsip-prinsip dasar pemilu yang akan dilaksanakan.
Pemilu bersama sistem kepartaian, dan sistem pemerintah adalah alat atau sarana perwujudan demokrasi. Pemilu merupakan syarat minimal bagi demokrasi. Perwujudan demokrasi sendiri diindikasikan antara lain oleh tegaknya prinsip-prinsip kebebasan, keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan sebagai satu paket. Pemilu yang demokratis, dengan demikian, pada akhirnya diindikasikan oleh seberapa jauh aturan, proses, dan hasil Pemilu itu bisa melayani keharusan tegaknya satu paket kebebasan, keterwakilan, akuntabilitas, dan keadilan.
c.             Tahapan penyelenggaraan pemilu berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tahun 2014, ditetapkan pada tanggal 25 Oktober 2012 Oleh Komisi Pemilihan Umum.

Bahan KUTIPAN Penyelenggaraan Pemilu 2014 dari KPU, Berupa jadwal tahapan pemilu berdasarkan Keputusan KPU nomor 15 tahun 2012 sebagai berikut:

A.           Tahapan Persiapan, meliputi:
1.                Pembentukan PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) dan PPS (Panitia Pemungutan Suara) atau PPLN (Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri): November 2012-2014,
2.                Pembentukan KPPS (Kelompok Panitia Pemungutan Suara) atau KPPSLN (Kelompok Panitia Pemungutan Suara Luar  Negeri): 9 Februari - 9 Maret 2014,
3.                Seleksi anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota: Januari-Desember 2013,
4.                Pelaksanaan sosialisasi, publikasi dan pendidikan pemilih: Juni 2012-Juni 2014,
5.                Bimbingan teknis SI KPU (Sistem Informasi KPU): 9 Juni 2012-28 Februari 2014,
6.                Pengadaan dan pengelolaan logistik: 9 Juni-30 November 2014,
7.                Distribusi logistik perlengkapan pemungutan suara (Provinsi, Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS): 1 Februari-31 Maret 2014,
8.                Distribusi logistik perlengkapan pemungutan suara di luar negeri (PPLN dan KPPSLN): 9 Maret-8 April 2014.

B.           Tahapan Penyelenggaraan, meliputi:
1.            Penyusunan Peraturan KPU: 9 Juni 2012-9 Juni 2013,
2.            Verifikasi administrasi di KPU: 11 Agustus-6 Oktober 2012,
3.            Verifikasi faktual di KPU: 30 Oktober-6 November 2012,
4.            Pengumuman partai politik peserta pemilu: 9-11 Januari 2013,
5.            Pengundian dan penetapan nomor urut partai politik: 12-14 Januari 2013,
6.            Penyerahan data kependudukan dari pemerintah kepada KPU: 9 November-9 Desember 2012,
7.            Konsolidasi DP4 (Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilu): 10-24 Februari 2013,
8.            Pengumuman DPS (Daftar Pemilih Sementara): 11-24 Juli 2013,
9.            Pengumuman DPT (Daftar Pemilu Tetap): 21 September 2013-9 April 2014,
10.        Penetapan DPTLN (Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri): 25 Juli-10 Agustus 2013,
11.        Pendaftaran calon anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota: 6-15 April 2013 ada perobahan menjadi tanggal 15 April s/d 22 april 2013,
12.        Verifikasi pencalonan anggota DPRD: 16April-30 Juni 2013,
13.        Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) anggotaDPD: 27 Juli 2013,
14.        Verifikasi pencalonan angota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota: 16 April-14 Mei 2013,
15.        Pengumuman Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPR, DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota: 4 Agustus 2013,
16.        Pelaksanaan Kampanye: 11 Januari-5 April 2014,
17.        Audit dana kampanye: 25 April-25 Mei 2014,
18.        Masa tenang: 6-8 April 2014,
19.        Pemungutan dan Penghitungan Suara: 9 Aprill 2014,
20.        Rekapitulasi hasil penghitungan suara Pemilu tingkat Nasional: 26 April-6 Mei 2014,
21.        Penetepan hasil pemilu secara nasional: 7-9 Mei 2014,
22.        Penetapan Partai Politik Memenuhi Ambang Batas: 7-9 Mei 2014,
23.        Penetapan perolehan kursi dan calon terpilih tingkat nasional sampai Kabupaten/Kota: 11-18 Mei 2014,
24.        Peresmian Keanggotaan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, DPR dan DPD: Juni-September 2014,
25.        Pengucapan sumpah dan janji (DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota, DPR dan DPD): Juli-Oktober 2014.
C.           Tahap Penyelesaian, meliputi:
1.            Pengajuan perselisihan hasil pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD kepada Mahkamah Konstitusi (MK): 12-14 Mei 2014,
2.            Penyusunan Laporan Penyelenggaran Pemilu: 1 Oktober-1 November 2014,
3.            Pembubaran Badan-badan Penyelenggara ad hoc: 9 Juni 2014,
4.            PenyusunanLaporan Keuangan: 1 Juli-31 Desember 2014.

d.            Bila nanti terpilih sebagai komisioner KPU Kabupaten Bantul, untuk menciptakan Pemilu yang berkualitas yang akan saya lakukan, selain  adalah :
(1)         Memastikan bahwa setiap orang yang berhak memilih memperoleh haknya. Hal ini dapat dilakukan dengan mengoptimalkan PPK dan PPS dalam pemutakhiran data, atau pada saat terakhir memperkenankan pemilih yang dapat membuktikan hak pilihnya walaupun hanya dengan menunjukan KTP.
(2)         Memperbanyak sosialisasi dan pendidikan politik kepada calon pemilih sampai ke daerah pedalaman/pedesaan dengan berbagai media. Terkadang saya melihat media sosialisasi/kampanye milik partai politik lebih dominan dibanding media sosialisasi  milik KPU. Mungkin dengan membuat semacam MOU antara semua partai politik dan KPU, pesan-pesan sosialisasi milik KPU dapat dititipkan pada media sosialisasi milik semua partai politik. Agar adil, lay out dan ukuran pesan sosialisasi milik KPU yang dititipkan itu di tentukan oleh KPU. Tentu saja hal ini dapat dilaksanakan apabila tidak bertentangan dengan aturan yang dibuat oleh KPU dan KPU Propinsi.
(3)         Menindaklanjuti dengan segera temuan dan laporan dari Panwaslu Kabupaten. Diharapkan dengan segera ditindaklanjutinya laporan pelanggaran pada gilirannya dapat meminimalisir pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu maupun pelaksana pemilu itu sendiri.

Senin, 17 Juni 2013

KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PENGUJIAN UNDANG UNDANG



KEUNGGULAN DAN KELEMAHAN MAHKAMAH KONSTITUSI
DALAM PENGUJIAN UNDANG UNDANG
A.     Latar Belakang Masalah
Salah satu hasil yang jelas terlihat dengan adanya perubahan terhadap UUD 1945 adalah dengan dibentuknya sebuah lembaga negara baru yang bertugas untuk mengawal konstitusi di Indonesia, dan lembaga negara tersebut dikenal dengan nama Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke IV menyatakan bahwa : “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Hal ini berarti bahwa semua kegiatan dalam praktek ketatanegaraan harus didasarkan atas hukum, termasuk pula dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini praktek ketatanegaraan tersebut harus didasarkan pada ketentuan yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan peraturan tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dinyatakan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ; Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ; Peraturan Pemerintah ; Peraturan Presiden ; Peraturan Daerah.
Dari pasal tersebut terlihat bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menduduki tempat tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga konsekuensi dari adanya tingkatan hierarkis tersebut adalah peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Kemudian untuk menjamin penyusunan peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan konstitusi, maka harus dilakukan mekanisme untuk mengawasinya melalui hak menguji (toetsingsrecht). Adanya hak menguji ini dimaksudkan untuk menjaga nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi suatu negara, yang posisinya diletakkan dalam kedudukan yang tertinggi (supreme), artinya eksistensi dari hak menguji tersebut adalah sebagai penjamin agar materi dari konstitusi dapat diimplementasikan secara konsisten tanpa ada penyimpangan sama sekali terhadap nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam konstitusi tersebut. Jika terdapat suatu peraturan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, maka perlu diadakan pengujian terhadap peraturan tersebut.
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan : “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” dan ayat (2) yang menyatakan : “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”, hal ini berarti Mahkamah Konstitusi terikat pada prinsip umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lembaga lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan. Pembentukan Mahkamah Konstitusi pada setiap negara memiliki latar belakang yang beragam, tetapi secara umum pembentukan Mahkamah Konstitusi berawal dari suatu proses perubahan politik yang otoriter menuju demokrasi (Ni’matul Huda, 2003: 222). Mahkamah Konstitusi di banyak negara ditempatkan sebagai elemen penting dalam sistem negara konstitusional modern. Gagasan pembentukan Mahkamah Konstitusi merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik. Kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi melaksanakan prinsip checks and balances yang menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan negara. Keberadaan Mahkamah Konstitusi merupakan langkah nyata untuk dapat saling mengoreksi kinerja antar lembaga negara. Mahkamah Konstitusi melalui amandemen ke-4 UUD 1945 telah menjadi salah satu pemegang kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, dan konstitusi telah memberikan sejumlah kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi, diantaranya adalah kewenangan untuk melakukan pengujian (judicial review) suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kewenangan tersebut selanjutnya diatur lebih rinci dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang disahkan pada tanggal 13 Agustus tahun 2003. Pengujian yang dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 terbatas pada pengujian apakah materi dan pembuatan suatu Undang-Undang telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Sedangkan pengujian atas peraturan lain di bawah Undang-Undang dilakukan di Mahkamah Agung dengan berpedoman pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1999 tentang Gugatan Uji Materiil. Judicial Review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif, maupun Yudikatif. Pengujian oleh Hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislative act) dan cabang kekuasaan eksekutif (executive act) merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkan prinsip check and balances, kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri. Pasal 24C UUD 1945 menyatakan bahwa : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran Partai Politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum; Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar; Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden; Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi; Hakim Konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan, yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai Pejabat Negara; Pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara serta ketentuan lainnya tentang Mahkamah Konstitusi diatur dengan Undang- Undang.
Dari ketentuan Pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi mempunyai empat kewenangan dan satu kewajiban. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk (Booklet Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 : 3): Menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Memutus pembubaran Partai Politik. Dan Memutus perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum.
Dan yang menjadi kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga : (1) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa (a) penghianatan terhadap negara, (b) korupsi, (c) penyuapan, (d) tindak pidana berat lainnya; (2) atau perbuatan tercela, dan/atau (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Booklet Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006 : 3). Seiring dengan perubahan UUD 1945 yang menggantikan paham supremasi MPR dengan supremasi konstitusi, maka kedudukan tertinggi dalam Negara Indonesia tidak lagi lembaga MPR tetapi UUD 1945, maka setiap lembaga negara mempunyai kedudukan yang sederajat dan tidak lagi dikenal istilah Lembaga Tertinggi Negara atau Lembaga Tinggi Negara (Prof. Dr. jimly Asshiddiqie, S.H., 2005 : 12). Dengan demikian, walaupun Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, namun lembaga ini mempunyai kedudukan yang sederajat dengan lembaga negara yang lain, yang telah ada sebelumnya seperti MPR, DPR, Presiden, MA dan lain-lain. Dengan adanya kedudukan yang sederajat antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga negara lain yang telah disebutkan tadi, maka hal tersebut akan mempermudah dan memperlancar pelaksanaan tugas konstitusional Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat sistem check and balances antar cabang kekuasaan negara. Sebagai lembaga negara yang tergolong baru dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, masih banyak orang yang belum menyadari arti penting dari Mahkamah Konstitusi dan hanya sebagian orang saja yang mengetahui maksud dan tujuan dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang banyak dilakukan adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), tetapi hal ini belum menjadi hal yang umum bagi masyarakat, seperti mengenai bagaimana kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review), dan bagaimana prosedur pelaksanaan pengujian terhadap Undang-Undang tersebut. Maka berdasarkan hal-hal tersebut penulis bermaksud  untuk meneliti dan menggali lebih dalam lagi mengenai kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, khususnya kewenangan Mahkmah Konstitusi dalam melakukan pengujian suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial review).

B.     Perumusan Masalah
1. Bagaimana kewenangan yang dimiliki Mahkamah Konstitusi dalam melaksanakan pengujian Undang-Undang (judicial review) di Indonesia?
2. Apa kelebihan dan kekuraangan pengujian terhadap Undang-Undang (judicial review) di Mahkamah Konstitusi?

C.           Pembahasan
Membentuk undang-undang adalah sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Bahkan, ada yang menyebutkan undang-undang adalah produk politik. Prosesnya terjadi dalam “ruang-ruang politik elit” yang bisa jadi hanya diisi oleh para politisi. Walaupun seharusnya juga melibatkan masyarakat yang mengisi “ruang-ruang politik publik”. Dengan dinamika proses yang terjadi dalam ruang politik tersebut maka muncul potensi terhadap undang-undang yang dibentuk sarat muatan politik. Dampak dari kompromi politik dalam pembentukan adalah undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan UUD yaitu melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal undang-undang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa.

Dalam konteks ini, perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional warga Negara.
Judicial review atau Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu (Sumantri, 1986). Validitas suatu undang-undang dari sisi materi dan proses pembentukannya akan diuji dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi. UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK.
Perlu diingat bahwa dalam sistem hukum di Indonesia juga dikenal pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. kewenangan menguji baik secara materiil maupun formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung.
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-undang bertentangan dengan materi UUD.
Pengujian undang-undang secara formil adalah menguji pembentukan undang-undang apakah sudah sesuai dengan proses pembentukan yang telah diatur dalam UUD. Perbedaan antara keduanya terletak pada objek pengujiannnya. Dalam pengujian secara materiil objek yang diuji adalah materi muatan yang ada dalam undang-undang. Sedangkan objek pengujian secara formil adalah proses pembentukan undang-undang. Kedua pengujian ini menggunakan dasar pengujian yang sama yaitu UUD.
Dua pengujian, secara materiil maupun formil ini menunjukkan adanya kebutuhan bahwa dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal ini adalah undang-undang, harus memperhatikan dua aspek yaitu materi dan proses. Salah satu aspek tersebut tidak dapat diabaikan begitu saja.
Pengujian Undang-undang dilakukan
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:
1.      Pengajuan permohonan;
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang akan digunakan dalam persidangan.
Ada empat kategori yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang, yaitu:
a.            Perorangan warga Negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama;
b.           Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI yang diatur dalam undang-undang;
c.            Badan hukum publik atau badan hukum privat;
d.           Lembaga Negara.
2.      Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;
Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon. Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.
3.     Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);
Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden. Selain itu, MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.
4.     Pembentukan Panel Hakim
Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang tersebut.5.      Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan. 
6.       Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;
Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan, kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini, hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki, panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah Agung. 
7.      Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;
Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh hakim dalam tahap ini meliputi:
   1. Pemeriksaan pokok permohonan;
   2. Pemeriksaan alat-alat bukti tertulis;
   3. Mendengarkan keterangan Presiden/Pemerintah;
   4. Mendengarkan keterangan DPR dan/atau DPD;
   5. Mendengarkan keterangan saksi;
   6. Mendengarkan keterangan ahli;
   7. Mendengarkan keterangan keterangan pihak terkait;
   8. Pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan, dan/atau peristiwa yang bersesuaian dengan alat-alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk;
   9. Pemeriksaan alat-alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.
Setelah pemeriksaan tersebut selesai, maka para pihak diberi kesempatan menyampaikan secara lisan dan/atau tertulis paling lambat tujuh hari sejak persidangan terakhir, kecuali ditentukan lain dalam persidangan.
DPR bersama dengan presiden sebagai pembentuk undang-undang menjadi salah satu pihak dalam persidangan. Posisinya seperti termohon dalam persidangan umum. Dalam persidangan tersebut, DPR harus memberikan keterangan, yaitu keterangan resmi DPR baik secara lisan maupun tertulis yang berisi fakta-fakta yang terjadi pada saat pembahasan dan/atau risalah yang berkenaan dengan pokok perkara. DPR dalam hal ini diwakili oleh Pimpinan DPR dapat memberikan kuasa kepada pimpinan dan/atau anggota komisi yang membidangi hukum, komisi terkait dan/atau anggota DPR yang ditunjuk. Selanjutnya, kuasa pimpinan yang ditunjuk tersebut dapat didampingi oleh anggota komisi, anggota panitia dan/atau anggota DPR lainnya yang terkait dengan pokok permohonan.    
Sementara itu, Presiden sebagai mitra DPR dalam membentuk undang-undang dalam persidangan data memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada Menteri Hukum dan HAM beserta para menteri dan/atau pejabat setingkat menteri yang terkait dengan pokok permohonan.
 8.     Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat berupa:
1.        Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
2.        Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak bertentangan dengan UUD;
3.        Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang, pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut  menjadi tidak berlaku. MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
Kelemahan dan Pengujian Undang undang oleh MK
Mahkamah Konstitusi memiliki 4 kewenangan dan 1 kewajiban. Salah satu kewenangan yang paling penting adalah menguji undang-undang, karena kewenangan ini bertujuan untuk melindungi hak konstitusional rakyat Indonesia atas berlakunya undang-undang. Walaupun sangat penting, banyak masyarakat yang tidak mengetahui proses pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, hal ini dikarenakan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga baru begitu juga dengan hukum acaranya, serta hukum acara pengujian undang-undang belum pernah diajarkan dalam perkuliahan, dan bahan kepustakaan yang membahas pengujian undang-undang sampai saat ini masih sedikit.
Makalah ini menitikberatkan pada prosedur penyelesaian perkara pengujian undang-undang, pelaksanaan putusan pengujian undang-undang, serta kelemahan dan kekurangan hukum acara pengujian undang-undang. Hasil penelitian menunjukkan adanya hal-hal baru yang ditambahkan dalam prosedur pengujian undang-undang. Selain itu, banyak juga pelanggaran terhadap hukum acara pengujian undang-undang baik dalam praktik penyelesaian perkaranya maupun dalam pelaksanaan putusannya. Dengan adanya hal-hal baru dan pelanggaran-pelanggaran tersebut, maka tampaklah kelemahan dan kekurangan hukum acara pengujian undang-undang. Kata kunci: pengujian undang-undang, Mahkamah Konstitusi.
D.           Kesimpulan
 Sebagai lembaga negara yang melaksanakan cabang kekuasaan di bidang yudikatif, Mahkamah Konsitutsi telah berdiri di Indonesia sebagai salah satu buah reformasi yang bergulir sejak tahun 1998. Sebagai lembaga yudikatif, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang dan kewajiban yang cukup berat dan strategis, sebagaimana halnya lembaga sejenis di negara-negara lainnya, yakni sangat terkait erat dengan konstitusi. Dengan mengacu kepada hal tersebut, secara teoritis Mahkamah Konstitusi mempunyai dua fungsi, sebagai pengawal konstitusi dan penafsir konstitusi.
Mahkamah Konstitusi yang dinahkodai oleh sembilan Hakim Konstitusi[24] dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini telah menunaikan tugas-tugas konstitusionalitasnya, dan dengan jubah merahnya para Hakim Konstitusi telah berusaha sedemikian rupa untuk mewujudkan Mahkamah Konsitusi sebagai ”rumah konstitusi” sekaligus penjaga konsitusi (the guardian of the constitution).
Sudah berhasilkah Mahakamah Kosntitusi melaksanakan visinya untuk menciptakan tegaknya kosntitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang mertabat? Memang pada saat ini sesuai dengan usianya yang masih demikian muda, apa yang telah dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi masihlah belum terlalu banyak. Bolehlah dikatakan baru beberapa langkah dari ribuan langkah yang akan diayunkan hingga hari-hari esok. Namun langkah-langkah awal ini dipandang merupakan era peletakan dasar-dasar fundamental bagi perwujudan Mahkamah Konsitusi sebagai salah satu kekuasaan kehakiman yang terpercaya dalam rangka membangun konstitusionalitas Indonesia serta budaya sadar berkonstitusi diberbagai sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara pada masa yang akan datang. Bukankah pepatah klasik Cina mengatakan, ”perjalanan beribu-ribu mil dimulai dengan satu langkah keyakinan
Dalam beberapa putusannya MK telah memutuskan melebihi dari yang dimohonkan (ultra petita) sehingga dapat dikualifikasikan menjadi 3 (tiga) bentuk yaitu: Pertama, MK dalam menetapkan inkonstitusional pasal yang merupakan jantung UU dan sebagai dasar operasionalisasi pasal-pasal lain (bagian atau seluruh pasal UU) MK menyatakan tidak mengikat bagian atau UU secara keseluruhan. Kedua, termasuk jika bagian dalam pasal yang diuji inkonstitusional, maka diputuskan bagian lain dalam pasal tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ketiga, MK menyatakan menunda tidak berlakunya UU yang dinyatakan inkonstitusional meskipun dalam permohonan tidak diminta.
Belum diatur ketentuan ultra petita baik dalam UUD 1945 maupun UU MK serta PMK dalam kekuasaannya mengadili menurut hukum harus ditemukan hakim hukumnya. Kewajiban hakim menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, karena pengadilan tidak boleh menolak perkara. MK harus menemukan hukumnya utamanya dari hukum tertulis atau hukum tidak tertulis sesuai dan tidak berlawanan dengan UUD 1945.
Kedudukan MK dalam struktur ketatanegaraan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman sejajar dengan MA. Batu uji dalam menguji adalah UUD 1945, sehingga MK satu-satunya lembaga penjaga dan penafsir konstitusi. Sebagai penafsir konstitusi tidak selayaknya menggunakan asas yang berlaku di peradilan perdata atau peradilan lainnya yang tidak sesuai dengan kedudukan, sifat dan karakter hukum acara pengujian untuk menjaga kesatuan sistem hukum dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Ultra petita sangat sesuai sifat hukum publik hukum acara pengujian UU. Dengan pengujian UU, hakim tidak dapat menggunakan asas tidak berbuat apa-apa atau hakim pasif dalam hukum acara perdata. Pengujian UU adalah mengenai konflik norma hukum antara UU dengan UUD 1945. Tugas hakim sangat berbeda, baik dengan legislator maupun hakim lainnya yang mengadili kasus konkrit. Tugas hakim konstitusi berbeda jauh dengan hakim lainnya dalam pemeriksaan, objeknya maupun dasar konstitusional yang digunakan serta kepentingan umum yang dilindungi.
Pemisahan tegas antarkekuasaan tidak sejalan untuk kepentingan publik. Kekuasaan kehakiman tidak hanya memproduk vonis, akan tetapi juga peraturan dan menemukan hukum dalam kekuasaan mengadilinya. Berbeda dengan hakim lain, apalagi dalam hukum perdata yaitu peraturan-peraturan hukum yang objeknya kepentingan-kepentingan khusus dan soal akan dipertahankan atau tidak diserahkan kepada yang berkepentingan.
Sifat hukum publik berakibat putusan yaitu: Pertama, putusan bersifat erga omnes. Kedua, putusan MK berlaku kedepan (prospective), bahkan di negara-negara lain banyak yang berlaku surut (retroactive) yang belum dikenal. Ketiga, semua orang harus menganggap putusan tersebut benar (res judicata pro veritate habetur) dan berlaku ne bis in idem dengan dapat dimohonkan kembali dengan pengecualian syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. Keempat, sejak diucapkan memiliki kekuatan hukum pasti (in kracht van gewijsde) dan tidak ada upaya hukum apapun. Kelima, akibat putusan terhadap UU lain yang materi muatannya sama atau perkara yang menggunakan pasal yang diperkarakan belum diatur, termasuk penangguhan atau penghentian perkara sebelum pengujian diputuskan.
Akan tetapi kekuasaan MK tidak tak terbatas sebagaimana praktik MPR sebagai lembaga penafsir konstitusi dengan merubah UUD 1945 menggunakan Tap MPR. Kekuasaan MK terbatas sesuai wewenang asli yang ditentukan dalam konstitusi. MK tidak dibenarkan merubah terlalu jauh UUD 1945 atau membuat konstitusi menjadi baru melalui penafsiran. Kekuasaan MK untuk mengatur terbatas sebagaimana yang didelegasikan oleh pembentuk UU. Dalam kekuasaan mengadilinya MK harus menggunakan sumber-sumber hukum pada umumnya khususnya sumber hukum tata negara.
Dengan dianut ultra petita di MK seharusnya diikuti perumusan UU untuk mengaturnya lebih terperinci berpedoman pertimbangan hukum yang beralasan. Apabila pembentuk UU lamban meyusun penjabaran hukum acara pengujian UU secara terperinci sesuai kedudukan, sifat, karakter dan asas-asas dalam PMK dan kekuasaan mengadili menurut hukum hakim harus menemukan hukum acara yang tepat untuk melaksanakan pengujian UU.

REFERENSI
Apeldoorn, L.J. Van, 2001. Pengantar Ilmu Hukum, (terjemahan Oetarid Sadino), Cetakan Kedua puluh sembilan, Jakarta: Pradnya Paramita.

Asshiddiqie, Jimly, 2006. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Cetakan Pertama, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

Hadjon, Philipus M., dan Djatmiati, Tatiek Sri., 2005. Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

I. Rubini, dkk., 1982. Hukum Acara Perdata Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (1955-1975), Bandung: Alumni.

Kansil, 1976. Kedudukan dan Ketetapan MPR Lembaga Tertinggi Negara, Jakarta: Pradnya Paramita.

Martosoewignyo, Sri Soemantri, 1979. Persepsi terhadap Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi dalam Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945, Bandung: Penerbit Alumni.

Mertokusumo, Sudikno, 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia, Cetakan Pertama, Yogyakarta: Liberty.

Prodjodikoro, Wirjono, 1983. Asas-Asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cetakan Kelima, Jakarta: Penerbit Dian Rakyat.
Ranawijaya, Usep, 1983. Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Ranuhandoko, I.P.M, 2000. Terminologi Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

R. Soeparmono, 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi, Bandung: Mandar Maju.

R. Soepomo, tanpa tahun. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbitan Noordhoof-Kolff N.V.

Subagio, Mas, 1983. Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan, Bandung: Penerbit Alumni.

Subekti, 1981. Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni.

Suny, Ismail, 1985. Pembagian Kekuasaan Negara Suatu Penyelidikan dalam Hukum Tatanegara Inggris, Amerika Serikat, Uni Soviet dan Indonesia, Jakarta: Aksara Baru.