Selasa, 12 Agustus 2014

Handout Hukum Humaniter Internasional



HANDOUT

Hukum Humaniter Internasional



 


WIDYA MATARAM 








Oleh :
Teguh Imam Sationo, S.H.,M.Sc.





FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS WIDYA MATARAM
YOGYAKARTA
2014



BAB I
PENDAHULUAN

A.           Pengertian Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan HHI
1.            Hukum Perang
Hukum perang atau yang sering disebut dengan hukum Humaniter internasional, atau hukum sengketa bersenjata memiliki sejarah yang sama tuanya dengan peradaban manusia, atau sama tuanya dengan perang itu sendiri. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan, bahwa adalah suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa selama 3400 tahun sejarah yang tertulis, umat manusia hanya mengenal 250 tahun perdamaian. Naluri untuk mempertahankan diri kemudian membawa keinsyarafan bahwa cara berperang yang tidak mengenal batas itu sangat merugikan umat manusia, sehingga kemudian mulailah orang mengadakan pembatasan-pembatasan, menetapkan ketentuan-ketentuan yang mengatur perang antara bangsa bangsa.
Dalam sejarahnya hukum humaniter internasional dapat ditemukan dalam aturan-aturan keagamaan dan kebudayaan di seluruh dunia. Perkembangan modern dari hukum humaniter baru dimulai pada abad ke-19. Sejak itu, negara-negara telah setuju untuk menyusun aturan-aturan praktis, yang berdasarkan pengalaman-pengalaman pahit atas peperangan modern. Hukum humaniter itu mewakili suatu keseimbangan antara kebutuhan kemanusiaan dan kebutuhan militer dari negara-negara. Seiring dengan berkembangnya komunitas internasional, sejumlah negara di Seluruh dunia telah memberikan sumbangan atas perkembangan hukum humaniter internasional. Dewasa ini, hukum humaniter internasional diakui sebagai suatu sistem hukum yang benar-benar universal.
Pada umumnya aturan tentang perang itu termuat dalam aturan tingkah laku, moral dan agama. Hukum untuk perlindungan bagi kelompok orang tertentu selama sengketa bersenjata dapat ditelusuri kembali melalui sejarah di hampir semua negara atau peradaban di dunia. Dalam peradaban bangsa Romawi dikenal konsep perang yang adil (just war). Kelompok orang tertentu itu meliputi penduduk sipil, anakanak, perempuan, kombatan yang meletakkan senjata dan tawanan perang.
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah Hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun 1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter :
a.         Jean Pictet : “International humanitarian law in the wide sense is constitutional legal provision, whether written and customary, ensuring respect for individual and his well being.
b.         Geza Herzeg : “ Part of the rule of public international law which serve as the protection of individuals in time of armed conflict. Its place is beside the norm of warfare it is closely related to them but must be clearly distinguish from these its purpose and spirit being different.
c.         Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
d.         Esbjorn Rosenbland : “The law of armed conflict berhubungan dengan permulaan dan berakhirnya pertikaian; pendudukan wilayah lawan; hubungan pihak yang bertikai dengan negara netral. Sedangkan Law of Warfare ini antara lain mencakup : metoda dan sarana berperang, status kombatan, perlindungan yang sakit, tawanan perang dan orang sipil.”
e.         S.R Sianturi : “Hukum yang mengatur mengenai suatu sengketa bersenjata yang timbul antara dua atau lebih pihak-pihak yang bersengketa, walaupun keadaan sengketa tersebut tidak diakui oleh salah satu pihak.“
f.          Panitia tetap hukum humaniter, departemen hukum dan perundangundangan merumuskan sebagai berikut : “Hukum humaniter sebagai keseluruhan asas, kaedah dan ketentuan internasional, baik tertulis maupun tidak tertulis, yang mencakup hukum perang dan hak asasi manusia, bertujuan untuk menjamin penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang.”
Dengan demikian, Hukum Humaniter Internasional adalah seperangkat aturan yang, karena alasan kemanusiaan dibuat untuk membatasi akibat-akibat dari pertikaian senjata. Hukum ini melindungi mereka yang tidak atau tidak lagi terlibat dalam pertikaian, dan membatasi cara-cara dan metode berperang. Hukum Humaniter Internasional adalah istilah lain dari hukum perang (laws of war) dan hukum konflik bersenjata (laws of armed conflict).
Hukum Humaniter Internasional adalah bagian dari hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antar negara. Hukum internasional dapat ditemui dalam perjanjian-perjanjian yang disepakati antara negara-negara-yang sering disebut traktat atau konvensi dan secara prinsip dan praktis negara menerimanya sebagai kewajiban hukum. Dengan demikian, maka hukum humaniter tidak saja meliputi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam  perjanjian internasional, tetapi juga meliputi kebiasaan-kebiasaan internasional yang terjadi dan diakui.
2.            Hukum Sengketa Bersenjata
Penyelesaian konflik dapat dilakukan dengan akomodasi, integrasi secara konsensus tanpa kekerasan. Banyak dilakukan dengan tekanan dan kekerasan, tidak terbatas selalu dengan kekerasan senjata, tetapi dengan bentuk-bentuk kekerasan yang meliputi bidang kehidupan, apakah politik, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.
Perang adalah pelaksanaan atau bentuk konflik dengan intensitas kekerasan yang tinggi. Von Clausewitz, seorang militer dan filsuf Jerman mengatakan antara lain bahwa perang adalah kelanjutan politik dengan cara-cara lain. Dengan prinsip tersebut ia melihat bahwa hakekat kehidupan bangsa adalah suatu perjuangan sepanjang masa dan dalam hal ini ia identikkan politik dengan perjuangan tersebut.
Sementara Indonesia menganut pendirian bahwa Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaannya. Pada hakekatnya perang adalah mematahkan semangat musuh untuk melawan. Dahulu rakyat tidak mengetahui adanya perang, karena peperangan dilakukan oleh dua negara dengan masing-masing menggunakan prajuritnya bahkan prajurit sewaan. Saat ini, bersamaan dengan tumbuhnya demokrasi dalam pemerintahan dan dukungan teknologi yang cepat, maka berubahlah perang dan konflik antar negara menjadi sangat luas dan kompleks. Dalam alam demokrasi, perang dan konflik telah melibatkan secara politis seluruh rakyat negara yang bersangkutan. Dengan alat-alat komunikasi mutakhir setiap manusia dimanapun berada akan dapat dijangkau oleh radio, bahkan televisi, sarana komunikasi dan informasi lainnya sebagai alat konflik yang akan mempengaruhi pikirannya.
Negara yang memulai perang, melakukannya dengan melancarkan serangan berkekuatan militer terhadap Negara yang hendak ditundukkannya. Serangan dengan kekuatan militer dapat berupa satu ofensif luas yang dinamakan invasi, juga dapat berupa serangan dengan sasaran terbatas. Hal ini, mencerminkan adanya konflik bersenjata dimana pihak-pihak yang berperang menggunakan kemampuan senjata yang dimiliki. Konflik bersenjata umumnya terjadi antar Negara, namun konflik bersenjata bukan perang dapat terjadi di dalam suatu Negara sebagai usaha yang dilakukan daerah untuk memisahkan diri atau gerakan separatisme dengan menggunakan kekerasan senjata, dan usaha terorisme baik yang bersifat nasional maupun internasional.
Masalah-masalah tersebut, ada yang berkembang sepenuhnya sebagai usaha domestik karena dinamika dalam satu Negara, tetapi juga ada yang terjadi karena peran atau pengaruh Negara lain. Meskipun masalah-masalah itu tidak termasuk perang, dampaknya bagi Negara yang mengalami bisa sama atau dapat melebihi.
Dewasa ini (pada masa damai), sering terjadi konflik di dalam suatu Negara yang dipandang akan berdampak langsung maupun tidak langsung bagi stabilitas suatu Negara. Kesalahan tindakan preventif terhadap konflik yang terjadi, akan berakibat fatal bagi keutuhan sebuah Negara. Pengalaman penanganan konflik etnik yang melanda Uni Soviet dan Negara-negara bagian, misalnya, menyadarkan banyak Negara akan arti pentingnya tindakan preventif untuk pencegahan konflik, agar tidak berdampak negatif bagi keamanan nasional mereka. Pengalaman Uni Soviet, yang gagal untuk mengantisipasi konflik menyebabkan Negara tersebut runtuh menjadi serpihan-serpihan Negara kecil, ternyata telah menyadarkan banyak Negara akan dampak langsung konflik bagi aspek pertahanan. Begitu pula sulitnya penanganan konflik yang dipicu oleh masalah identitas agama yang menyebabkan konflik, yang belum kunjung selesai di India antara Hindu dan Muslim sehingga Muslim membentuk identitas tersendiri sejak akhir abad 19 mendorong setiap Negara untuk mengantisipasi sifat dan jenis-jenis konflik yang mungkin berdampak bagi faktor keamanan dan pertahanan.
3.            Istilah-istilah HHI
Istilah hukum humaniter atau lengkapnya disebut International humanitarian law applicable in armed conflict berawal dari istilah hukum perang (laws of war), yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of armed conflict), yang akhirnya pada saat ini biasa dikenal dengan istilah hukum humaniter. Harmoyataram membagi hukum humaniter menjadi dua aturan-aturan pokok, yaitu:
a.              Hukum yang mengatur mengenai cara dan alat yang boleh dipakai untuk berperang (Hukum Den Haag / The Hague Laws).
b.             Hukum yang mengatur mengenai perlindungan erhadap kombatan dan penduduk sipil dari akibat perang (Hukum Jenewa / The Geneva Laws).
Sedangkan Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum perang sebagai berikut:
a.             Jus ad bellum yaitu hukum tentang perang, mengatur tentang dalam hal bagaimana negara dibenarkan menggunakan kekerasan bersenjata.
b.             Jus un bello yaitu hukum yang berlaku dalam perang, dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
1)            Hukum yang mengatur cara dilakukannya perang (conduct of war). Bagian ini biasanya disebut The Hague Laws.
2)            Hukum yang mengatur perlindungan orang-orang yang menjadi korban perang. Ini lazimnya disebut The Geneva Laws.
Berdasarkan uraian di atas, maka hukum humaniter internasional terdiri dari dua aturan pokok, yaitu Hukum Den Haag dan hukum Jenewa.
Semula istilah yang digunakan adalah hukum perang. Tetapi karena istilah hukum perang tidak disukai, yang terutama disebabkan oleh trauma Perang Dunia II yang menelan banyak korban, maka dilakukan upaya-upaya untuk menghindarkan dan bahkan meniadakan perang. Uapaya-upaya tersebut adalah melalui:
a.             Pembentukan LBB (Liga Bangsa-Bangsa).karena para anggota organisasi ini sepakat untuk menjamin perdamaian dan keamanan, maka para anggota menerima kewajiban untuk tidak memilih jalan perang, apabila mereka terlibat dalam suatu permusuhan.
b.             Pembentukan Kellog-Briad Pact atau disebut pula dengan Paris Pacr 1928. Anggiota-anggota dari perjanjian ini menolak atau tidak mengakui perang sebagai alat politik nasional dan mereka sepakat akan mengubah hubungan mereka dengan cara berdamai.
Sikap untuk menghindari perang berpengaruh dalam perubahan penggunaan istiah, sehingga istilah hukum perang berubah menjadi Hukum Sengketa Bersenjata (Laws of Armed Conflict). Mengenai hal ini Edward Kossoy menyatakan: “The term of armed conflicts tends to replace at least in all relevant legal formulation, the older notion of war. On purely legal consideration the replacement for war by ‘armed conflict’ seems more justified and logical.”
Istilah hukum sengketa bersenjata (law of armed conflict) sebagai pengganti hukum perang (law of war) banyak dipakai dalam konvensi-konvensi Jenewa tahun 2949 dan kedua Protokol Tambahannya. Dalam perkembangan selanjutnya, yaitu pada permulaan abad ke-20, diusahakan untuk mengatur cara berperang, yaitu konsepsi-konsepsinya banyak dipengaruhi oleh asas kemanusiaan (humanity principle).
Dengan adanya perkembangan baru ini, maka istilah hukum sengketa bersenjata mengalami perubahan lagi, yaitu diganti dengan istilah Hukum Humaniter Internasional yang berlaku dalam Sengketa Bersenjata (International Law Applicable in Armed Conflict) atau biasa disebut Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian law). Walaupun istilah yang digunakan berbeda-beda, yaitu Hukum Perang, Hukum Sengketa Bersenjata dan Hukum Humaniter, namun istilah-istilah tersebut memiliki arti yang sama.
4.            Tujuan Hukum Humaniter
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniterm perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang.
Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
a.             Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari
b.             penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
c.             Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak dilakukan sebagai tawanan perang.
d.             Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.



















BAB II
PERKEMBANGAN HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

A.           Sejarah Perang
1.            Perang Perang Punisia ke-3 (49 SM - 146 SM)
Meski tidak satu pun dari Perang Punisia banyak dikenal, Perang Punisia ketiga adalah penting bagi Roma. Perang Punisia Kedua kemungkinan yang paling menonjol.Bahkan jika Anda belum pernah mendengar tentang perang itu sendiri, Anda mungkin pernah mendengar kisah Hannibal si buruk memerintahkan pasukan gajahnya melalui Alpen dalam upaya untuk menaklukan Roma secara tiba-tiba. 
Kartago adalah kekuatan utama dari Afrika Utara dan telah menjadi duri dalam daging Republik Romawi untuk beberapa waktu. Sementara Perang Punisia pertama dan kedua telah terjadi di seluruh Eropa selatan dan Afrika utara, Romawi memutuskan untuk melakukan perlawanan ke Kartago di tahun 149 SM. Pasukan Romawi mengepung kota Kartago selama 3 tahun sampai kota dan kekaisaran mereka jatuh. Ini merupakan kemenangan besar bagi Roma, memberi mereka pijakan di Afrika dan mengendalikan sebagian besar Laut Mediterania. 
Satu berita menarik tentang Perang Punisia Ketiga: Karena tidak adanya catatan tentang deklarasi resmi untuk mengakhiri perang, walikota Roma dan Kartago bertemu pada tahun 1985 untuk seremonial perdamaian. Pertemuan dan perjanjian ini membawa Perang Punisia Ketiga berakhir setelah 2.134 tahun. 
2.            Perang Salib Utara (1147 sampai Sekitar 1290)
Banyak orang tahu sejarah Perang Salib di mana pasukan Kristen bentrok dengan pasukan Muslim dalam upaya untuk mendapatkan kembali akses ke situs suci di Yerusalem. Namun pada saat yang sama sedang berlangsung Perang Salib di Tanah Suci, Perang Salib Utara juga terjadi di Skandinavia. Dalam Perang Salib, tujuannya adalah untuk melenyapkan kelompok pagan dan pengikut mereka. 
Perang Salib Utara dimulai dengan Perang Salib Wendish di tahun 1147. Kerajaan Denmark dan Swedia, Orde Teutonik, dan persaudaraan pedang Livonian (dua terakhir merupakan perintah angkatan militer keagamaan) menyerbu tempat yang sekarang timur laut Jerman dalam upaya untuk menundukkan kaum pagan di kawasan itu. Menyusul keberhasilan militer, Paus Celestine III secara resmi menyerukan perang salib melawan kaum pagan di tahun 1195. Perang Salib Utara berlangsung sampai akhir 1200-an dan mengakibatkan penaklukan  Jerman Utara dan Negara Baltik dan penyebaran agama Kristen ke tanah ini. 
3.            Perang Telinga Jenkins 1739 – 1748 
Perang Telinga Jenkins 'telah berkecamuk di Karibia dan apa yang sekarang disebut Georgia dan Florida antara Inggris dan Spanyol. Konflik ini merupakan bagian dari Perang yang lebih besar dari Suksesi Austria, perang yang melibatkan hampir setiap negara di Eropa. 
Nama yang tidak biasa lahir dari sebuah insiden angkatan laut di Hindia Barat: Kapal Kapten Robert Jenkins ditumpangi oleh pasukan Spanyol. Kapten Spanyol menuduh kapal Inggris melakukan pembajakan dan sebagai akibatnya, telinga kiri Kapten Jenkins dipotong. Beberapa catatan mengatakan Kapten Jenkins telinganya dipotong saat dia menyampaikan cerita kepada House of Commons. Terlepas apakah ini yang sebenarnya benar, tindakan oleh Spanyol sudah cukup sebagai tindakan pemicu perang. Perang Telinga Jenkins terbukti menjadi upaya sia-sia, karena tidak ada perubahan teritorial di Amerika baik untuk Inggris atau Spanyol setelah perang utama di Eropa telah berakhir. 
4.            Revolusi Amerika  (1778-1783)
Banyak akan berpikir pertempuran dalam Revolusi Amerika akan berlangsung di Amerika.Namun, Revolusi Amerika telah terjadi jauh sampai di Eropa dan India, dengan Perancis dan Spanyol memimpin orang-orang front. Selain bantuan pinjaman di tanah Amerika, pasukan Perancis dan Spanyol "mengobarkan" ke seluruh dunia. Perancis memiliki aliansi dengan Kerajaan anti Inggris dari Mysore di India selatan. Tentara dan kapal Prancis ditempatkan di India membantu Kerajaan Mysore melawan Inggris  bersamaan terjadinya perang kedua Anglo-Mysore. 
Spanyol menggunakan peperangan kerajaan Inggris di Amerika untuk keuntungan mereka. Sementara Spanyol mengirim tentara dan uang untuk membantu orang Amerika, mereka juga melihat kerentanan Inggris di Eropa dan memutuskan untuk memulai serangan untuk merebut kembali tanah yang dikuasai oleh Inggris selama Perang Tujuh Tahun ini. Spanyol melawan Inggris di pulau Gibraltar dan Minorca, di seluruh Hindia Barat, dan di daratan Amerika. Bantuan Prancis dan Spanyol terbukti sangat berharga bagi pemberontak Amerika , dengan kedua sekutu memainkan peran kunci dalam kekalahan Inggris. 
5.            Perang Quasi  (1798-1800)
Meskipun Prancis telah memainkan peran utama dalam membantu memenangkan Revolusi Amerika, Amerika Serikat dan Perancis segera menemukan diri mereka sebagai musuh dalam perang angkatan laut. Selama ini Perancis sedang berperang dengan Inggris selama Perang Koalisi Kedua, dan Amerika Serikat telah resmi menyatakan netralitas mereka.Meskipun demikian, Amerika Serikat masih berdagang dengan Inggris; perbuatan yang di mata Prancis, memecahkan netralitas mereka. Juga selama masa itu Revolusi Perancis terjadi, sehingga Prancis menjadi Republik.Hal ini menyebabkan AS untuk menghentikan pembayaran utang ke Perancis, karena mereka mengklaim utang AS adalah utang yang harus dibayar kepada monarki Perancis, bukan untuk Republik Perancis.
Menanggapi situasi ini, angkatan laut Perancis dan serdadu banyak mulai menyita kapal dagang Amerika menuju ke Inggris, dan pemerintah Perancis menolak untuk bernegosiasi. Karena perdagangan Amerika itu sukses besar selama beberapa bulan, Kongres berwenang memutuskan untuk melakukan serangan terhadap kapal perang Prancis. Sebuah armada dari 54 kapal Amerika dikirim untuk berpatroli di Pasifik Juli 1798 dengan perintah untuk menghancurkan atau menangkap privateers Perancis.Kerugian pada kedua belah pihak termasuk sedikit. Pada tahun 1800 Perancis dan Amerika Serikat datang ke kesepakatan untuk menghentikan permusuhan dan melanjutkan perdagangan bebas. 
6.                Perang Barbary Pertama (1801 – 1805)
Perang Barbary Pertama adalah perang pertama terjadi antara Amerika Serikat danNegara Barbary (yang sekarang menjadi negara Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Libya). Bajak laut barbary telah menyerang kapal-kapal di sepanjang pantai Afrika dan di Mediterania, dan mengambil awak sandera pedagang kapal untuk uang tebusan kembali ke negara asal mereka. 
Pembicaraan diplomatik dengan Negara Barbary mengalami kebuntuan, sehingga Tripoli menyatakan perang melawan Amerika Serikat.Pertempuran pertama dari perang ini terjadi pada tanggal 1 Agustus 1801, saat USS Enterprise menangkap bajak laut Tripoli .Selama tiga tahun ke depan, armada Amerika memblokade pelabuhan Barbary dan menyerang armada musuh. 
Pada musim semi tahun 1805 marinir Amerika dan tentara bayaran bayaran menyerang melalui jalur darat dan merebut kota Derna. Saat Tripoli terus diserang melalui laut dan sekarang  pasukan AS semakin dekat dengan Tripoli, Amerika Serikat dan pihak Tripoli menandatangani perjanjian untuk mengakhiri perang, yang termasuk pembayaran sebesar $ 60.000 sampai Negara Barbary melepaskan semua tahanan Amerika. 
7.                Perang Sonderbund November (3-29, 1847)
Swiss sering dianggap sebagai negara yang tetap netral dan tidak terlibat dalam konflik bersenjata. Pada 1847 Swiss menemukan dirinya dalam perang dengan musuh yang tidak biasa: yaitu dirinya (swiss) sendiri. Perang saudara pecah pada bulan November 1847 ketika beberapa kanton Katolik (divisi administratif) dibentuk Sonderbund dan memisahkan diri dari sisa sebagian besar kanton Protestan untuk mencegah pembentukan pemerintah terpusat.
Pertempuran antara pemerintah Swiss dan pemberontak kanton hanya berlangsung dua puluh enam hari dan diakhiri dengan para pemberontak menyerah. Sepanjang bulan pertempuran, hanya delapan puluh sembilan tewas. Beberapa bulan kemudian konstitusi baru disahkan, mengakhiri kemandirian wilayah dan transisi Swiss menjadi negara federal. 
8.                Perang Anglo-Zanzibar (27 Agustus 1896)
Perang Anglo-Zanzibar memegang perbedaan menjadi perang terpendek dalam sejarah, selama 38 menit. Ketika Khalid bin Barghash, Sultan Zanzibar baru berkuasa pada 1896, dia ingin negara untuk bebas dari kontrol Inggris. Salah satu persyaratan oleh Inggris adalah untuk Sultan baru agar meminta izin untuk penobatan dari Konsul Inggris.
Barghash menolak, dan Inggris menganggapnya serius. Mereka menawarkan kepadanya pilihan: meninggalkan istana dengan kehendak sendiri atau diusir paksa. Ketika waktu yang ditentukan datang untuk membuat keputusannya, Sultan menanggapinya dengan ketertutupan diri dalam istana dan memperkuat pertahanan. Lima kapal militer Inggris di pelabuhan di luar istana dan melepaskan tembakan setelah kesepakatan itu telah habis.Tiga Kapal Zanzibar kapal tenggelam, pertahanan pantai hancur, dan beberapa tentara pembela tewas. Meskipun pertempuran berlangsung kurang dari satu jam, lebih dari 500 pasukan Zanzibar tewas atau terluka, sebagian besar disebabkan amukan api di dalam istana.Pasukan Inggris mengalami seorang pasukan terluka dan tidak ada kematian. Setelah menyerah, Sultan Barghash digulingkan dan diberikan suaka politik di Jerman Timur Afrika sementara Sultan pro-Inggris yang baru dinobatkan.via : litserve
9.            Kampanye Kepulauan Aleutian (1942 – 194)
Kampanye Perang di Kepulauan Aleutian pada Perang Dunia II adalah kampanye yang kurang diketahui orang tetapi mempunyai peran yang penting, saat Alaska ( wilayah Amerika Serikat) diserang oleh pasukan Jepang. Kepulauan Aleutian adalah rantai kepulauan di lepas pantai barat daya Alaska, bagian dari pulau-pulau yang seperti tangan, yang membentang ke Samudera Pasifik. 
Invasi Jepang dimulai dengan serangan terhadap Pangkalan Belanda diikuti penyurutan strategis, maka serangan lain lebih jauh ke barat di pulau adak. Pasukan Amerika dikalahkan, yang memungkinkan Jepang untuk menguasai pulau Kiska dan Attu yang tak terlindung. Dalam sebulan pasukan Amerika melancarkan serangan balik dan selama empat belas bulan berikutnya, pasukan Amerika dan Kanada perlahan memukul mundur infanteri dan kapal Jepang d, berhasil merebut kembali kepulauan Aleutian . 
Serangkaian insiden mengambil tempat ketika pasukan Sekutu merebut kembali pulau Kiska.Pulau ini ternyata telah ditinggalkan. Tanpa diketahui orang Amerika, Pasukan telah dievakuasi hampir tiga minggu sebelumnya. Namun, banyak insiden tembak terjadi saat pertama kali infanteri mendarat di pantai.Ditambah dengan radang dingin dan jebakan Jepang yang ditinggalkan, 313 pasukan AS tewas saat mereka berusaha merebut kembali sebuah pulau yang sudah kosong. 
10.        Perang Soviet – Jepang (9 Agustus - 2 September, 1945)
Tanpa diketahui banyak orang, tentara Soviet memainkan peran besar dalam penyerahan diri oleh Jepang di PD II.Stalin telah setuju untuk bergabung dengan pertempuran di Pasifik saat Jerman dikalahkan.
Pada tanggal 8 Agustus, sehari sebelum bom atom Nagasaki, Uni Soviet mendeklarasikan perang terhadap Jepang dan mengejutkan mereka dengan meluncurkan tiga invasi terpisah ke Manchuria 24 jam kemudian. Tentara Kwangtung yang membela daerah itu sebagian besar hancur dan dipaksa untuk menyerah. Setelah menaklukkan Manchuria, pasukan Soviet meluncurkan serangan ke Korea Utara, tetapi tujuan mereka mengendalikan seluruh semenanjung dikalahkan ketika pemerintah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu.
Dengan Soviet yang cepat maju melalui wilayah mereka dan invasi yang sudah dekat daratan Jepang, Jepang tidak bisa lagi bertahan.Dalam waktu kurang dari sebulan, Uni Soviet telah berhasil merebut kembali tanah yang hilang selama Perang Rusia-Jepang sebelumnya, menghancurkan sekelompok tentara utama Jepang, dan membebaskan Manchuria. 
B.            Sejarah Perkembangan Hukum Humaniter Internasional
Hampir tidak mungkin menemukan bukti dokumenter kapan dan dimana aturan-aturan hukum humaniter itu timbul, dan lebih sulit lagi menyebutkan “pencipta” dari hokum humaniter tersebut. Sekalipun dalam bentuknya yang sekarang relative baru, hukum humaniter internasional atau hukum sengketa bersenjata, atau hukum perang, memiliki sejarah panjang. Hukum ini sama tuanya dengan perang itu sendiri, dan perang sama tuanya dengan kehidupan manusia di bumi.
Sampai kepada bentuknya yang sekarang, hukum humaniter internasional telah mengalami perkembangan yang sangat panjamg. Dalam rentang waktu yang sangat panjang telah banyak upaya-upaya yang dilakukan untuk memanusiawikan perang. Selama masa tersebut terdapat usaha-usaha untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang dari kekejaman perang dan perlakuan semena-mena dari pihak-pihak yang terlibat dalam perang.
Upaya-upaya tersebut,yang acap kali mengalami pasang surut, mengalami hambatan dan kesulitan sebagaimana akan tergambar dalam uraian-uraian berikutnya. Upaya-upaya tersebut dapat kita bagi dalam tahapan-tahapan perkembangan hukum humaniter berikut ini:
1.            Zaman Kuno
Pada masa ini para pemimpin militer memerintahkan pasukan mereka untuk menyelamatkan musuh yang tertangkap, memperlakukan mereka dengan baik, menyelamatkan penduduk sipil musuh, dan pada waktu penghentian permusuhan maka pihak-pihak yang berperang biasanya bersepakat untuk memperlakukan tawanan perang dengan baik. Sebelum perang dimulai, maka pihak musuh akan diberitakan lebih dahulu. Lalu untuk menghindari luka yang berlebihan makak ujung panah tidak akan diarahkan ke hati. Dan segera setelah ada yang terbunuh dan terluka, pertempuran akan berhenti selama 15 hari. Gencatan senjata semacam ini sangat dihormati, sehingga para prajurit di kedua pihak ditarik dari medan pertempuran.
Juga, dalam berbagai peradaban besar selama tahun 3000-1500SM upaya-upaya seperti itu berjalan terus. Hal ini dikemukakan oleh Pictet, antara lain sebagai berikut:
a.             Diantara bangsa-bangsa Sumeria, perang sudah merupakan lembaga yang terorganisir. Ini ditandai dengan adanya pernyataan perang, kemungkinan mengadakan arbitrasi, kekebalan utusan musuh dan perjanjian perdamaian.
b.             Kebudayaan Mesir Kuno sebagaimana disebutkan dalam “Seven Works of True Mercy”, yang menggambarkan adanya perintah untuk memberikan makanan, minuman, pakaian, dan perlindungan kepada musuh; juga perintah untuk merawat yang sakit, dan menguburkan yang mati. Perintah lain pada masa itu menyatakan, “anda juga harus memberikan makanan kepada musuh anda”.seorang tamu, bahkan musuh pun tak boleh diganggu.
c.             Dalam kebudayaan bangsa Hittie, perang dilakukan dengan cara-cara yang manusiawi. Hukum yang mereka miliki didasarkan atas keadilan dan integritas. Mereka menandatangani pernyataan perang diatas traktat. Pada penduduk yang menyerah, yang berasal dari kota, tidak diganggu. Kota-kota dimana para penduduknya melakukan perlawanan, akan ditindak tegas. Namun hal ini merupakan pengecualian terhadap kota-kota yang dirusak dan penduduknya dibantai atau dijadikan budak. Kemurahan hati mereka berbeda dengan bangsa Assiria yang menang, datang dengan kekejaman.
d.             Di India, sebagaimana tercamntum dalam syair kepahlawanan Mahabrata dan undang-undang Manu, para satria dilarang membunuh musuh yang cacat, yang menyerah; yang terluka harus dipulangkan ke rumah mereka setelah diobati. Semua senjata dengan sasaran menembus hati atau senjata beracun dan panah api dilarang, penyitaan hak milik musuh dan syarat-syarat bagi penahanan para tawanan perang telah diatur, dan pernyataan tidak menyediakan tempat tinggal dilarang.
Dalam sejarah kehidupan masyarakat Indonesia juga dapat diteukan beberapa kebiasaan dan hukum perang yang diberlakukan pada periode pra-sejarah, periode klasik, maupun periode islam. Praktek dari kebiasaan dan hukum perang yang dilakukan antara lain tentang pernyataan perang, perlakuan tawanan perang serta larangan menjadikan wanita dan anak-anak sebagai sasaran serangan, dan juga tentang pengakhiran perang. Sebuah prasasti yang ditemukan di Sumatera Selatan (Prasasti Talang Tuwo) misalnya, berisikan berita Raja yang memuat tentang kutukan (dan ultimatum). Jadi bagi mereka yang tidak menuruti perintah Raja, akan diserang oleh bala tentara Raja. Begitu pula pada masa Kerajaan Gowa diketahui adanya perintah Raja yang memerintahkan perlakuan tawanan perang dengan baik.
2.            Abad pertengahan
Pada abad pertengahan hukum humaniter dipengaruhi oleh ajaran-ajaran dari agama Kristen, Islam dan prinsip kesatriaan. Ajaran agama Kristen misalnya memberikan sumbangan terhadap konsep “perang yang adil” atau just war. Ajaran Islam tentang perang antara lain bias dilihat dalam Al Qur’an surah al Baqarah:190, 191, al Anfal:39, at Taubah:5, al Haj:9, yang memandang perang sebagai sarana pembelaan diri, dan menghapuskan kemungkaran. Adapun prinsip kesatriaan yang berkembang pada abad pertengahan ini, misalnya mengajarkan tentang pentingnya pengumuman perang dan larangan penggunaan senjata-senjata tertentu.
3.            Zaman modern
Kemajuan yang menetukan terjadi mulai abad ke-18, dan setelah berakhirnya perang Napoleon, terutama pada tahun 1850 sampai pecahnya Perang Dunia I. Praktek-praktek negara kemudian menjadi hukum dan kebiasaan dalam berperang (jus in bello). Sealah satu tonggak penting dalam perkembangan hukum humaniter adalah didirikannya organisasi Palang Merah dan ditandatanganinya Konvensi Jenewa tahun 1864. Pada waktu yang hampir bersamaan di Amerika Serikat, Presiden Lincoln meminta Lieber, seorang pakar hukum imigran Jerman, untuk menyusun aturan berperang. Hasilnya adalah Insrtuctions for Government of Armies of the United States atau disebut Lieber Code, dipublikasikan pada tahun 1863. Kode Lieber ini memuat aturan-aturan rinci pada semua tahapan perang darat, tindakan perang yang benar, perlakuan terhadap penduduk sipil, perlakuan terhadap kelompok orang-orang tertentu seperti tawanan perang, yang luka, dan sebagainya.
Kovensi 1864, yaitu Konvensi bagi Perbaikan Keadaan Tentara yang Luka di Medan Perang Darat, 1864 dipandang sebgai Konvensi yang megawali Konvensi-konvensi Jenewa berikutnya yang berkaitan dengan Perlindungan Korban Perang. Konvensi ini merupakan langkah pertama dalam mengkodifikasikan ketentuan perang di darat.
Berdasarkan Konvensi ini, maka unit-unit dan personil kesehatan bersifat netral, tidak boleh diserang dan tidak boleh dihalangi dalam melaksanakan tugasnya. Begitu pula penduduk setempat yang membantu pekerjaan kemanusiaan bagi yang luka dan mati, baik kawan maupun lawan tak boleh dihukum. Konvensi memperkenalkan tanda Palang Merah diatas putih. Sebagai tanda pengenal bagi bangunan dan personil kesehatan. Tanda Palang Merah ini merupakan lambing dari International Committee of the Red Cross yang sebelumnya bernama International Committee for the Aid of the Wounded, yang didirikan oleh beberapa orang warga Jenewa dan Henry Dunnant pada tahun 1863.
Dengan demikian, tidak seperti pada masa-masa sebelumnya yang terjadi melalui proses hukum kebiasaan, maka pada masa ini perkembangan-perkembangan yang sangat penting bagi hukum humaniter internasional, dikebangkan melalui traktat-traktat umum yang ditandatangani oleh mayoritas negara-negara selah tahun1850. Jauh sebelumnya, setelah tahun 1850 telah dihasilkan berbagai Konvensi yang merupakan perkembangan hukum humaniter internasional, yang terdiri dari berbagai Konvensi yang dihasilkan pada Konferensi Perdamaian I dan II di Den Haag, serta berbagai Konvensi lainnya di bidang hukum humaniter, sebagaimana dapat dilihat di bab III.




BAB III
PRINSIP-PRINSIP DASAR HHI

A.           Humanity/Perikemanusiaan
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan perikemanusiaan, dimana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka yang berlebihan atau  penderiataan yang tidak perlu.
B.            Military Necessity/Kepentingan Militer
Berdasarkan prinsip ini maka pihak yang bersengketa dibenarkan menggunakan kekerasan untuk menundukkan lawan demi tercapainya tujuan dan keberhasilan perang.
C.           Chivalry/Kesatriaan
prinsip ini mengandung arti bahwa di dalam perang, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang tidak terhormat, berbagai macam tipu muslihat dan cara-cara yang bersifat khianat dilarang. Dalam penerapannya, ketiga asas tersebut dilaksanakan secara seimbang, sebagaimana dikatakan oleh Kunz.:
“Law of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the correct balance between, on the one hand the principle of humanity and chivalry, and on the other hand, military interest”.
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, karena dari sudut pandang hukum humaniter, perang merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Ada beberapa tujuan hukum humaniter yang dapat dijumpai dalam berbagai kepustakaan, antara lain sebagai berikut:
1.             Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
2.             Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
3.             Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Di sini, yang terpenting adalah asas perikemanusiaan.



BAB IV
AZAS-AZAS HHI

A.           Azas-azas Kebiasaan Hukum Perang
Hukum Humaniter atau dikenal juga dengan nama Hukum Perang atau Hukum Sengketa Bersenjata, mengandung beberapa asas pokok yang menjadi dasar ketentuan yang mengatur seputar tindakan yang dapat/boleh dilakukan di dalam konflik bersenjata. Asas-asas tersebut yaitu asas kepentingan militer (military necessity), asas perikemanusiaan (humanity) dan asas kesatriaan (chivalry). Ketiga asas ini selalu menjadi fondasi utama yang melandasi aturan-aturan  di dalam hukum humaniter.
Seorang ahli bernama Kunz menyatakan bahwa laws of war, to be accepted and to be applied in practice, must strike the connect balance between, on the one hand, the principle of humanity and chivalry; and the other hand, military interest.
Jadi, walaupun Hukum Humaniter mengatur peperangan itu sendiri akan tetapi pengaturannya tidak dapat hanya semata-mata mengakomodir asas kepentingan militer dari pihak yang bersengketa saja, melainkan pula harus mempertimbangkan ke dua asas lainnya. Demikian pula sebaliknya, aturan-aturan Hukum Perang tidak mungkin hanya mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari peperangan itu tanpa mempedulikan aspek-aspek operasi militer. Tanpa adanya keseimbangan dari ke tiga asas-asas ini, maka mustahil akan terbentuk aturan-aturan mengenai Hukum Perang. Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut :
1.            Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)
Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang kelompok bersenjata (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang. Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).
a.              Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)
Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanya pembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lainnya.
b.             Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)
Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud proporsional di sini "bukan" berarti keseimbangan.
Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23 Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya sama dengan terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara lebih rinci di dalam Pasal 23.
2.             Asas Kemanusiaan (Humanity)
Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).
Berperang memerlukan persenjataan, itu sudah pasti. Yang menjadi masalah adalah bagaimana “menggunakannya secara manusiawi”. Mungkin kita akan protes, bagaimana bisa?? Penggunaan senjata sudah pasti tidak manusiawi, senjata sudah tentu menimbulkan luka dan menyebabkan kematian. Lantas, apa yang dimaksud dengan Pasal ini?
Nah, itu tiada lain disebabkan adanya asas kemanusiaan (humanity) yang menjadi landasan pembentukan ketentuan tersebut. Memang dalam peperangan,  melukai musuh atau melakukan pembunuhan menjadi sesuatu yang wajar secara hukum apabila dilakukan oleh orang yang berhak untuk ikut serta dalam pertempuran (kombatan) dan ditujukan kepada suatu sasaran yang memang merupakan sasaran militer (military objectives). Jika seorang prajurit dalam peperangan membunuh tentara musuh di medan pertempuran dengan M-16, maka itu adalah hal yang biasa. Akan tetapi, jika ia memakai M-16 berisi peluru “yang dikikir ujungnya”, maka cara tersebut akan dianggap sebagai pelanggaran Hukum Perang. Mengapa? bukankah musuhnya toh mati juga? (baca : korban tidak akan merasakan bedanya ditembak dengan peluru yang dikikir/tidak dikikir).
Nah, disinilah letak perlunya asas kemanusiaan di dalam melakukan metode berperang, yaitu tetap memperlakukan manusia secara manusiawi baik ketika peperangan berlangsung, dan bahkan setelah suatu pihak menjadi korban. Perlu ditegaskan bahwa penggunaan peluru yang “dikikir ujungnya”, akan menimbulkan efek ‘melebar’ di dalam tubuh sehingga mengakibatkan luka sobekan yang tidak beraturan dan mengakibatkan hancurnya jaringan tubuh manusia. Peluru tersebut disebut pula “peluru dum-dum” (dum-dum bullets) karena diproduksi pertama kali di kota Dumdum, dekat Kalkuta, India), atau “peluru yang memiliki efek mengembang dalam tubuh” (expanding bullets), sehingga Hukum Humaniter sudah melarang penggunaan peluru jenis ini dalam Dekalarasi ke- III tahun 1809. Itulah sebabnya, Regulasi Den Haag melarang penggunaan alat dan cara berperang yang dapat menimbulkan ‘luka-luka yang berlebihan’ dan ‘penderitaan yang tidak perlu’. Jika membunuh dengan peluru biasa dapat mengakibatkan kematian seorang musuh; maka mengapa pula harus mengkikirnya sehingga jasad korban menjadi hancur dan tidak dapat dikenali? Itulah yang dimaksud dengan penderitaan yang tidak perlu.
3.             Asas Ksatriaan (Chivalry)
Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang. Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Hagg ke III tahun 1907 mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).
Bukankah kelihatannya suatu pihak dapat memenangkan peperangan jika ia menyerang secara diam-diam ketika pihak musuh lengah atau secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih dahulu? Namun pada kenyataannya, aturan Hukum Humaniter justru menentukan sebaliknya. Hal ini tidak lain adalah refleksi dari asas kesatriaan yang tercermin di dalam Konvensi Den Haag ke III.
Contoh lain dapat dilihat pada ketentuan Pasal 23 Lampiran Konvensi Den Haag ke IV yang disebut juga Regulasi Den Haag (Hague Regulations). Kita ambil salah satu contoh saja, yaitu Pasal 23 ayat (c) yang menetapkan bahwa seorang kombatan dari pihak negara yang bersengketa dilarang membunuh atau melukai musuh yang telah menyerah, atau yang tidak mampu melakukan perlawanan lagi.
Ketentuan ayat di atas, jika diperhatikan selintas, juga rasanya tidak masuk akal. Bukankah lebih mudah untuk memenangkan pertempuran jika pihak musuh dibunuh, dilukai atau dibuat "tidak berdaya" selagi ia menyerah atau tak mampu lagi bertempur. Namun, ternyata aturan Hukum Humaniter menentukan sebaliknya.
B.            Azas-azas Hukum Den Haag dan Jenewa
1.            Hukum Den Haag
Hukum Den Haag merupakan ketentuan hukum humaniter yang mengatur mengenai cara dan alat berperang. Membicarakan Hukum Den Haag berarti kita membicarakan hasil-hasil Konferensi Perdamaian I yang diadakan pada tahun 1899 dan Konferensi Perdamaian II yang diadakan pada tahun 1907.
a.             Konvensi Den Haag 1899
Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1899 merupakan hasil konferensi Perdamaian I di Den Haag (18 Mei – 29 Juli 1899). Konferensi ini merupakan prakarsa Tsar Nicolas II dari Rusia yang berusaha mengulangi usaha pendahulunya Tsar Alexander I yang menemui kegagalan dalam mewujudkan suatu Konferensi Internasional di Brussel pada tahun 1874. Ide fundamental untuk menghidupkan lagi Konferensi Internasional yang gagal itu adalah Rencana Konsepsi Persekutuan Suci (Holy Alliance tanggal 26 September 1815 antara Austria, Prussia, dan Rusia). Seperti yang diketahui bahwa Quadruple Alliance yang ditandatangani oleh Austria, Prussia, dan Inggris tanggal 20 November 1815 merupakan kelanjutan dari Kongres Wina September 1814 – Juni 1815 untuk mengevaluasi kembali keadaan di Eropa setelah Napoleon Bonaparte dikalahkan di Waterloo pada tanggal 18 Juni 1815.
Untuk melaksanakan kehendak Tsar Nicolas II itu maka pada tahun 1898 Menteri Luar Negeri Rusia, Count Mouravieff mengedarkan surat kepada semua Kepala Perwakilan Negara-negara yang diakreditir di St. Petersburg berupa ajakan Tsar untuk berusaha mempertahankan perdamaian Dunia dan mengurangi persenjataan. Konferensi yang dimulai pada tanggal 20 mei 1899 itu berlangsung selama 2 bulan menghasilkan 3 konvensi dan 3 deklarasi pada tanggal 29 Juli 1899. Adapun 3 konvensi yang dihasilkan adalah:
1)            Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional.
2)            Konvensi II tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat.
3)            Konvensi III tentang Adaptasi Azas-azas Konvensi Jenewa Tanggal 22 Agustus 1864 tentang hukum perang di laut.
Sedangkan 3 deklarasi yang dihasilkan adalah sebagi berikut:
1)            Melarang penggunaan peluru-peluru dum-dum (peluru-peluru yang bukngkusnya tidak sempurna menutup bagian dalam sehingga dapat pecah dan membesar dalam tubuh manusia).
2)            Peluncuran proyektil-proyektil dan bahan-bahan peledak dan balon, selama jangka lima tahun yang berakhir di tahun 1905 juga dilarang.
3)            Penggunaan proyektil-proyektil yang menyebabkan gas-gas cekik dan beracun dilarang.


2.            Konvensi-konvensi Den Haag 1907
Konvensi-konvensi ini adalah merupakan hasil Konferensi Perdamaian ke II sebagai kelanjutan dari Konferensi Perdamaian I tahun 1899 di Den Haag. Konvensi-konvensi yang dihasilkan oleh Konferensi Perdamaian II di Den Haag menghasilkan sejumlah konvensi sebagai berikut:
a.             Konvensi I tentang Penyelesaian Damai Persengketaan Internasional;
b.             Konvensi II tentang Pembatasan Kekerasan Senjata dalam Menuntut Pembayaran Hutang yang berasal dari Perjanjian Perdata;
c.             Konvensi III tentang Cara Memulai Peperangan;
d.             Konvensi IV tentang Hullum dan Kebiasaan Perang di Darat dilengkapi dengan Peraturan Den Haag;
e.             Konvensi V tentang Hak dan Kewajiban Negara dan Warga Negara Netral dalam Perang di darat;
f.              Konvensi VI tentang Status Kapal Dagang Musuh pada saat Permulaan Peperangan;
g.             Konvensi VII tentang Status Kapal Dagang menjadi Kapal Perang;
h.             Konvensi VIII tentang Penempatan Ranjau Otomatis didalam laut;
i.               Konvensi IX tentang Pemboman oleh Angkatan Laut di waktu perang;
j.               Konvensi X tentang Adaptasi Asas-asas Konvensi Jenewa tentang perang di laut;
k.             Konvensi XI tentang Pembatasan Tertentu terhadap Penggunaan Hak Penangkapan dalam Perang Angkatan Laut;
l.               Konvensi XII tentang Mahkamah Barang-Barang Sitaan;
m.           Konvensi XIII tentang Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam perang dilaut.
Dalam hubungannya dengan ratifikasi Indonesia atas Konvensi-konvensi Den Haag tahun 1907 itu maka F. Sugeng Istanto menjelaskan bahwa pada waktu berlangsungnya Konferensi itu Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang merupakan jajahan Kerajaan Belanda sehingga ratifikasi yang ditetapkan oleh Kerajaan Belanda dengan Undang-Undang (Wet) tanggal 1 Juli 1909 dan Keputusan Raja tanggal 22 Februari 1919 berlaku pula bagi Hindia Belanda.
3.            Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
Konvensi IV Den Haag 1907 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat yang judul lengkapnya adalah Convention Respecting to the Laws and Customs of War on Land merupakan penyempurnaan dari Konvensi Den Haag tahun 1899 yaitu Konvensi II Den Haag 1899 mengenai Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Konvensi IV Den Haag 1907, hanya terdiri dari 9 pasal, yang dilengkapi dengan lampiran yang disebut dengan Hague Regulations.
Klausula Si Omnes
Pasal 2 dari Konvensi IV Den Haag 1907 mengatur apa yang disebut dengan Klausula Si Omnes yaitu bahwa Konvensi hanya berlaku apabila kedua pihak yang bertikai adalah pihak dalam konvensi, apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Hal ini tercantum dalam pasal 2:
 The provision contained in the Regulation to in art. 1, as well as in the present Convention, are only biding between Contracting Powers, and only if all the Belligerents are parties to the Conventions”.
Pasal 2 menetapkan bahwa Konvensi dan Hague Regulations (HR) hanya berlaku apabila pihak-pihak yang berperang atau pihak yang terlibat dalam perang adalah pihak dari Konvensi ini. Dengan demikian pasal 2 menetapkan apabila salah satu pihak bukan peserta konvensi, maka konvensi ini tidak berlaku. Pasal 2 ini lazim disebut Klausula Si Omnes.
Di samping pasal 2 Konvensi Den Haag di atas, perlu pula diperhatikan pasal-pasal dari Lampiran Konvensi Den Haag IV (Hague Regulations), seperti:
Pasal 1 Hague Regulations
Pasal 1 HR menentukan siapa saja yang termasuk ‘belligerents’, yaitu tentara. Pasal ini juga mengatur tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh kelompok militia (milisi) dan korps sukarela, sehingga mereka disebut sebagai kombatan, yaitu :
a)             Dipimpin oleh seorang yang bertanggung jawab atas bawahannya;
b)            Memakai tanda/emblem yang dapat dilihat dari jauh;
c)             Membawa senjata secara terbuka;
d)            Melaksanakan operasinya sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
Pasal 2 Hague Regulations
Pasal ini membicarakan mengenai Levee en Masse, yang dikategorikan sebagai ‘belligerent’, yang harus memenuhi syarat-syarat sebagi berikut:
a)             Penduduk dari wilayah yang belum diduduki;
b)            Secara spontan mengangkat senjata;
c)             Tidak ada waktu mengatur diri;
d)            Membawa senjata secara terbuka;
e)             Mengindahkan hukum perang.
Pasal 3 Hague Regulations
Pasal 3 HR menetapkan bahwa Angkatan Bersenjata sebagai pihak yang berperang terdiri dari kombatan dan non kombatan, yang apabila tertangkap oleh musuh, kedua-duanya harus diperlakukan sebagai tawanan perang. Perlu dicatat bahwa non kombatan yang dimaksud dalam pasal 3 bukanlah penduduk sipil, tetapi bagian dari Angkatan Bersenjata yang tidak turut tempur. Pasal-pasal Hague Reguations yang mengatur cara dan alat berperang Pasal-pasal mengenai hal ini secara khusus diuraikan lebih lanjut dalam bab IV.
4.            Konvensi V Den Haag mengenai Negara dan Orang Netral dalam Perang di Darat
Konvensi V Den Haag 1907 berjudul “Neutral Power and Persons in Land Warfare”. Dengan melihat judul tersebut, maka harus dibedakan antara Neutral Power (Negara Netral) dan Neutral Person (Orang Netral).yang dimaksud “negara netral” adalah suatu negara yang menyatakan akan bersifat netral dalam suatu peperangan yang sedang berlangsung. Dengan demikian tidak ada keharusam bagi negara netral tersebut untuk membantu salah satu pihak. Sebagai negara netral, maka kedaulatan negara tersebut, dalam suatu peperangan, tidak boleh diganggu dan dilanggar (hal ini tercantum dalam pasal 1 Konvensi V yang menyatakan secara tegas bahwa “the territory of Neutral Powers is inviolable”.
Untuk mempertahankan kenetralan, maka wilayah dari negara tersebut tidak dapat dijadikan sebagai wilayah yang dapat dilintasi oleh para pihak yang sedang bersengketa. Demikian pula, apabila para pihak yang bersengketa hendak mengirim suatu peralatan militer seperti amunisi dan peralatan lainnya, maka pengiriman peralatan militer tersebut tidak boleh melalui suatu negara netral (hal ini ditentukan dalam pasal 2 Konvensi yang berbunyi: “Belligerents are forbidden to move across the territory of a neutral power troops or convoys, either of munition of war of supplies”). Para pihak yang bersengketa juga dilarang untuk mendirikan suatu stasiun radio di wilayah negara netral, dan dilarang memakai instalasi radio yang berada di wilayah tersebut, yang sudah dibuat sebelum perang, semata-mata untuk kepentingan militernya (hal ini tertera dalam pasal 3
5.            Konvensi XIII Den Haag 1907 mengenai Hak dan Kewajiban Negara Netral dalam Perang di Laut
Konvensi XIII Den Haag 1907 berjudul “Neutral Rights and Duties in Maritime War”, secara garis besar mengatur tentang hak dan kewajiban negaranegara netral dalam perang di laut. Sebagaimana halnya dengan Konvensi Den Haag V, maka Konvensi XIII ini menegaskan bahwa kedaulatan dari negara netral tidak hanya berlaku di wilayah teritorialnya (wilayah darat) saja, namun juga berlaku bagi wilayah perairan negara netral. Para pihak yang bersengketa tidak boleh (dilarang) melakukan tindakan-tindakan di perairan negara netral yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang dapat melanggar kenetralan di wilayah tersebut. Tindakantindakan tu misalnya setiap tindakan permusuhan, termasuk tindakan penangkapan dan pencarian yang dilakukan oleh kapal perang negara yang bersengketa di perairan netral, maupun penggunaan pelabuhan dan peraian netral oleh pihak yang berperang.
C.           Prinsip Fundamental HHI dalam Sengketa Bersenjata (Hukum Jenewa)
Bahwa hukum Den Haag dan Hukum Jenewa merupakan dua aturan pokok dalam Hukum Humaniter, sebagaimana dikemukakan oleh Jean Piectet bahwa:
 humanitarian law has two branches, one bearing the name of Geneva, an the ther name of the Hague”.
Hukum Jenewa, yang mengatur mengenai perlindungan korban perang, terdiri atas beberapa perjanjian pokok. Perjanjian tersebut adalah keempat Konvensi Jenewa 1949, yang masing-masing adalah:
1.         Geneva Convention for the Amellioration of the Condition of the Wounded and Sick Armed Forces in the Field;
2.         Geneva Convention for the Amellioration of the Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea;
3.         Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War;
4.         Geneva Convention relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War.
Keempat Konvensi Jenewa tahun 1949 tersebut dalam tahun 1977, ditambahkan lagi dengan Protokol Tambahan 1977 yakni disebut dengan ;
1.         Protocol Additional to the Geneva Convention of 12 August 1949, And Relating to the Protections of Victims of International Armed Conflict (Protocol I); dan
2.         Protocol Additional to the Geneva Convention of Victims of Non International Armed Conflicts (Protocol II).
Protokol I maupun II tersebut di atas adalah merupakan tambahn dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949. Penambahan itu dimaksudkan sebagai penyesuaian terhadap perkembangan pengertian sengketa bersenjata, pentingnya perlindungan yang lebih lengkap bagi mereka yang luka, sakit, dan korban karam dalam suatu peperangan, serta antisipasi terhadap perkembangan mengenai alat dan cara berperang. Protokol I tahun 1977 mengatur tentang perlindungan korban pertikaian bersenjata internasional, sedangkan Protokol II mengatur tentang korban pertikaian bersenjata non-internasional.
Baik Konvensi-konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol-protokol Tambahannya tahun 1977 merupakan sumber-sumber hukum utama hukum humaniter. Dalam Konvensi Jenewa, beberapa pasal diantaranya dipandang sangat penting dan mendasar sehingga perlu dicantumkan di setiap Konvensi, baik diletakkan pada nomor pasal yang sama, maupun dirumuskan dengan redaksi atau isi yang sama atau hampir sama. Pasal-pasal tersebut lazim disebut ketentuan-ketentuan yang bersamaan atau “common articles”. Common articles ini meliputi beberapa hal penting, sperti ketentuan umum (pasal 1, 2, 3, 6-11); ketentuan hukum terhadap pelanggaran dan penyalahgunaan (pasal 49, 50, 51, dan 52); ketentuan mengenai pelaksanaan dan ketentuan penutup (pasal 55-64).
Konvensi Jenewa sendiri telah menentukan apa saja yang dimaksud dengan pelanggaran berat, sebagaimana tercantum dalam pasal 50 Konvensi I, yaitu:
1.             Pembunuhan yang disengaja;
2.             Penganiayaan atau perlakuan tak berkeperimanusiaan, termasuk pencobaan biologis;
3.             Menyebabkan dengan sengaja, penderitaan besar atau luka berat, atas badan atau kesehatan;
4.             Pembinasaan yang luas dan tindakan atas pemilikan atas harta benda yang tidak dibenarkan oleh kepentingan militer dan yang dilaksanakan dengan melawan hukum dan semena-mena.
D.               Sumber-Sumber Hukum Lainnya
Sumber hukum utama dari hukum humainter adalah Hukum Den Haag dan Hukum Jenewa, dimana Hukum Jenewa mengatur perlindungan korban perang dan Hukum Den Haag mengatur mengenai cara dan alat berperang. Selain kedua sumber hukum hukum utama tersebut, Hukum Humaniter juga mengenal sumber hukum lainnya, misalnya Protokol Tambahan 1977 yang sering disebut dengan hukum campuran karena selain mengatur mengenai perlindungan terhadap korban perang dan juga terdapat hal yang mengatur mengenai cara dan alat berperang, dan ketentuan lain yang disampaikan pada bab II. Selain itu, terdapat pula sumber di bidang hukum humaniter yang lain seperti:
1)                Bahwa pembajakan dihapus dan akan tetap dihapus
2)                Bendera Netral melindungi barang-barang musuh, kecuali kontraband perang
3)                Barang-barang netral di bawah bendera musuh tidak boleh disita, kecuali kontraband perang
4)                Supaya mengikat blokade harus efektif, artinya dilakukan oleh sesuatu kekuatan yang mencukupi untuk benar-benar dapat mencegah mendekatnya kapal ke pantai musuh.
1.                Deklarasi Paris (16 April 1856)
Deklarasi ini mengatur tentang Perang di Laut yang dirumuskan berdasarkan pengalaman perang Krim (1864), dimana dua negara yang bersekutu yaitu Inggris dan Perancis menerapkan prinsip-prinsip hukum perang di laut yang berbeda. Untuk mencegah terulangnya kejadian tersebut maka Deklarasi Paris dimuat asasasas seperti berikut ini:
 2.                Deklarasi St. Petersburg (29 Nov – 11 Des 1868)
Berhubung pada tahun 1863 telah ditemukan sejenis peluru, yang apabila mengenai benda yang keras permukaannya sehingga tutupnya dapat meledak, maka Tsar Alexander II dari Rusia memprakarsai Konferensi di kota St. Petersburg (pada zaman Uni Soviet, kota ini dirubah namanya menjadi Leningrad. Sesudah zaman Uni Soviet bubar nama St. Petersburg dipergunakan lagi). Tujuan deklarasi itu adalah untuk melarang penggunaan peluru-peluru semacam yang diuraikan di atas.
3.                Rancangan Peraturan Den Haag tentang Perang di Uadara (1923)
Ketentuan khusus tentang pertempuran di udara dirancang oleh sebuah Komisi dari para ahli hukum di Den Haag mulai bulan Desember 1922 sampai Februari 1923 sebagai realisasi Konferensi Washington 1922. Tujuan pokok Komisi sebenarnya semula hanya untuk mengatur penggunaan radio dalam pertempuran. Rancangan ketentuan ini dimaksudkan untuk dipergunakan sebagi pedoman dalam pertempuran udara. Substansinya mengatur tentang penggunaan pesawat udara dengan segala peralatan yang dimiliki, didalam pertempuran. Sebagian besar ketentuan mendasari kepada asas-asas umum dan hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang di darat dan laut.
4.                Protokol Jenewa (17 Juni 1925) tentang Pelanggaran Penggunaan Gas Cekik dan Macam-Macam Gas Lainnya dalam Peperangan
Protokol ini dirumuskan dan ditandatangani dalam suatu Konferensi untuk mengawasi perdagangan internasional senjata dan amunisi. Larangan itu mencakup larangan pemakaian gas air mata dalam perang dan pemakaian herbisida untuk kepentingan perang.
5.                Protokol London (6November 1936) tentang Peraturan Penggunaan Kapal Selam dalam Pertempuran.
Protokol ini merupakan penegasan dari Deklarasi tentang Hukum Perang di Laut yang dibentuk di London tanggal 26 februari 1989 dan belum pernah diratifikasi.
6.                Konvensi Den Haag 1954 tentang Perlindungan Benda-Benda Budaya pada Waktu Pertikaian Bersenjata
Prinsipnya adalah bahwa benda-benda budaya seperti Rumah Ibadah, Museum, dan sebagainya, selama tidak dimanfaatkan untuk kepentingan militer, semaksimal mungkin harus dilindungi terhadap serangan. Pasal 19 konvensi ini mewajibkan setiap pihak yang terlibat dalam sengketa bersenjata, untuk melindungi benda budaya, meskipun sengketa tersebut tidak bersifat internasional. Konvensi ini membedakan antara dua tingkat perlindungan, yaitu perlindungan umum dan perlindungan khusus.
Dimasa damai, setiap negara harus mempersiapkan perlindungan benda budaya di wilayahnya dari akibat pertikaian bersenjata. Untuk itu, objek budaya dapat dilindungi, antara lain dengan cara mendirikan bangunan khusus, dengan merencanakan pemindahannya ke tempat yang lebih aman, atau dengan menandainya dengan tanda pelindung khusus. Semua tindakan ini merupakan perlindungan umum. Di samping itu, benda budaya dapat juga dilindungi secara khusus, dengan mencatatnya dalam “Daftar Internasional Objek Budaya di bawah Perlindungan Khusus” yang berada di bawah pertanggungjawaban Direktur Jenderal Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu, dan Kebudayaan (UNESCO). Tindakan ini merupakan perlindungan khusus.
7.                Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (10 Okt 1980) tentang Larangan atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang Mengakibatkan Penderitaan yang Berlebihan
Konvensi ini juga merupakan landasan hukum untuk melarang atau membatasi penggunaan senjata lainnya yang dapat mengakibatkan penderitaan yang berlebihan. Konvensi ini mengatur tentang prosedur dan meringkas prinsip-prinsip hukum. Ketentuan-ketentuan ini termuat dlam empat buah protokol yang terlampir. Setiap negara yang mau menandatangani Konvensi ini harus meratifikasi paling tidak dua dari empat protokol tersebut.
Protokol I melarang menggunakan proyektif yang menyebabkan pecahan yang tidak dapat ditemukan melalui sinar X dalam tubuh manusia. Protokol ini menyinggung khususnya bom yang mengandung pecahan daru bahan plastik.
Protokol II melarang penggunaan ranjau, booby-traps dan peralatan lain terhadap masyarakat sipil, serta penggunaannya secara membabi buta yang mengakibatkan penderitaan yang berlebihan dibandingkan dengan keuntungan militer yang diperoleh. Protokol ini menyinggung khususnya penggunaan ranjau di luar daerah militer dan melarang segala keadaan ranjau/booby trap yang diciptakan untuk menyebabkan penderitaan yang berlebihan. Dilarang memasang ranjau ke dalam barang-barang seperti mainan anak-anak. Disamping itu, Protokol II menentukan agar dibuatnya peta dari setiap medan ranjau, guna melindungi masyarakat sipil dalam segala keadaan. Protokol III melarang penggunaan senjata pembakar terhadap masyarakat sipil. Protokol ini merupakan suatu kemajuan yang besar.
Selain itu, tentunya menjadi sumber hukum lainnya yang tidak kalah penting artinya ialah keputusan Mahkamah Internasional seperti pengadilan penjahat perang di Nurenberg dan Tokyo, kemudian diikuti dengan pembentukan peradilan yang sama bagi kejahatan perang di bekas negara Yugoslavia, dan di Rwanda. Setelah mengetahui tentang sumber-sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam hukum humaniterm maka apabila pada suatu kasus tidak terdapat sumber hukum yang dapat dijadikan acuan, maka menurut hukum humaniter, hal itu dapat mengacu kepada sumber hukum lainnya, yaitu prinsip-prinsip hukum internasional, prinsip kemanusiaan dan “dictates of public conscience”. Hal inilah yang disebut dengan “Klausula Martens”.
 Klausula Martens mula-mula terdapat dalam Pembukaan Konvensi Den hag ke-II tahun 1899, mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Adapun isi klausula tersebut, secara lengkap, adalah sebagai berikut:
until a more complete code of laws of war is issued, the High Contracting Parties think it right to declare than in cases not included in the Regulations adopted by them, populations and belligerents remain under the protection and empire of the principles of international law, as they result from the usages established between civilized nations, from the laws of humanity and the recruitment of the public conscience”.

Secara ringkas, kalusula ini menentukan bahwa apabila hukum humaniter belum mengatur suatu ketentuan hukum mengenai masalah-masalah tertentu, maka ketentuan yang dipergunakan harus mengacu kepada prinsip-prinsip hukum internasional yang terjadi dari kebiasaan yang terbentuk diantara negara-negara yang beradab; dari hukum kemanusiaan; serta dari pendapat publik (public conscience).
Klausula Martens sangat penting karena, dengan mengacu pada hukum kebiasaan internasional, klausula ini menekankan pentingnya norma-norma kebiasaan dalam pengaturan sengketa bersenjata. Selanjutnya, klausula ini juga mengacu pada ‘prinsip-prinsip kemanusiaan’ (principles of humanity) dan ‘pendapat publik’ (the dictates of public conscience). Kedua istilah ini harus sepenuhnya dimengerti. Ungkapan “principles of humanity” adalah serupa dengan “laws of humanity” (hukum kemanusiaan).
E.            Hubungan Prinsip Palang Merah Internasional dengan Konvensi Jenewa
Jika anda melihat isi dari Konvensi-konvensi Jenewa, jelas tersebut bahwa mereka yang mengenakan tanda pelindung yaitu palang merah, tidak boleh diserang. Disebutkan pula, bahwa hanya kesatuan medis angkatan perang dan ICRC (serta badan palang merah dari setiap Negara) saja, yang berhak menggunakannya.  Dengan kata lain, Negara-negara sepakat termasuk Israel dan Palestina tentunya  bahwa hanya pihak yang berhak menggunakan tanda perlindungan saja, yang boleh masuk ke lokasi perang dan keberadaannya dilindungi serta disahkan oleh hukum internasional. Pihak lain? Hingga saat ini belum diatur dalam hukum internasional, kecuali kesepakatan untuk perlindungan atas keberadaan badan-badan milik PBB.
Mengapa hingga saat ini, di wilayah-wilayah pendudukan, hanya ICRC (dan PBB) saja yang bisa dengan ‘aman dan diijinkan’ untuk masuk memberi bantuan kepada para korban perang. Termasuk di wilayah Gaza tentunya. Adapun jika Negara-negara ingin membantu, maka badan palang merah di Negara tersebutlah yang bisa berkoordinasi dengan ICRC. Dengan kata lain, Negara – melalui badan palang merah nasionalnya – dapat memberi bantuan langsung kepada para korban perang tanpa melalui birokrasi kenegaraan bahkan tanpa perlu ada hubungan diplomatik terlebih dahulu.
Itulah sebabnya mengapa walaupun Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, namun PMI sebagai badan palang merah nasional di Indonesia, dapat langsung mengubungi badan palang merah Israel (yang bernama Magen David Adom) dan sekaligus menghubungi ICRC untuk meminta mereka membantu evakuasi relawan yang diserang oleh tentara Israel serta meminta Magen David Adom (MDA) membantu memonitor keadaan 2 WNI yang masih dirawat serta upaya evakuasi.
Begitu pun dengan Bulan Sabit Merah Palestina. Lambang bulan sabit merah adalah alternative lambang palang merah yang memiliki fungsi sama; sebagai tanda pelindung. PMI dapat menghubungi langsung Bulan Sabit Merah Palestina, dan antara Bulan Sabit Merah Palestina dengan MDA tetap dapat saling bekerjasama. PMI pun dapat bekerjasama dengan keduanya. Hal itu dibuktikan dengan datangnya Presiden Bulan Sabit Merah Palestina beberapa waktu lalu ke Indonesia (PMI) untuk kunjungan balasan dan komitmen untuk bekerjasama lebih lanjut. Adapun permintaan serupa dari MDA belum dapat dipenuhi oleh PMI dengan berbagai pertimbangan.
Kondisi netralitas demikianlah yang kemudian menjadi syarat dan komitmen Negara-negara, bahwa hanya boleh ada satu badan palang merah nasional (disebut dengan perhimpunan nasional) di suatu Negara – baik yang menggunakan tanda atau lambang palang merah maupun tanda atau lambang bulan sabit merah. Negara harus memilih salah satu dan harus melindungi keduanya agar tidak digunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak, selain yang disebut dalam Konvensi Jenewa. Penyalahgunaan lambang atau penggunaan lambang oleh pihak yang tidak berhak, adalah pelanggaran atas Konvensi Jenewa dan merupakan kewajiban Negara untuk mengaturnya.





















BAB V
KETENTUAN KONVENSI JENEWA 1949 DAN PROTOKOL TAMBAHAN

A.           Prinsip Konvensi dan Prinsip Hukum Umum
Berbeda dengan perjanjian dan kebiasaan internasional, prinsip-prinsip hukum umum jarang disebut dalam instrumen-instrumen hukum humaniter maupun dalam penjelasan-penjelasan resminya. Prinsip-prinsip hukum umum yang menurut Statuta Mahkamah Pengadilan Internasional diartikan sebagai prinsip-prinsip yang terdapat dalam semua sistem hukum, memang tidak banyak yang dapat diformulasikan secara tepat untuk menjadi operasional. Namun demikian, prinsip-prinsip hukum umum ini seperti antara lain prinsip itikad baik (good faith), prinsip pacta sunt servanda dan prinsip proporsional, yang telah menjadi kebiasaan internasional dan telah dikodifikasi, juga berlaku dalam sengketa bersenjata dan dapat bermanfaat dalam melengkapi dan menerapkan hukum humaniter.
Dalam hukum humaniter, yang lebih penting daripada prinsip-prinsip hukum umum yang disebut tadi antara lain asas-asas umum dari hukum humaniter; antara lain
prinsip pembedaan (distinction principle) dan prinsip tentang larangan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering principle). Prinsip-prinsip tersebut memang tidak didasarkan pada suatu sumber hukum internasional yang terpisah, tetapi pada perjanjian-perjanjian, kebiasaan dan prinsip-prinsip hukum umum. Di satu pihak, prinsip-prinsip ini berasal dari aturan-aturan yang ada yang secara jelas menyatakan substansi dan artinya. Di lain pihak, prinsip-prinsip tersebut mengilhami aturan-aturan yang ada, mendukung, memperjelas dan harus digunakan untuk menafsirkan aturan-aturan itu. Suatu pengakuan tegas tentang keberadaan dan contoh-contoh penting dan khusus dari prinsip-prinsip umum hukum humaniter adalah pertimbangan kemanusiaan yang mendasar (elementary consideration of humanity) dan Marten Clause.
B.            Larangan Reprisal
Reprisal atau balas dendam adalah tindakan yang illegal yang dilakukan oleh negara sebagai bentuk pembalasan atas tindakan illegal yang telah dilakukan terlebih dahulu oleh negara lain. Kasus klasik yang menangani masalah reprisal ini adalah kasus Naulilaa. Pengadilan menyatakan bahwa reprisal dapat dibenarkan dan dilakukanm ketika terdapat pembenaran akibat sebuah tindakan yang dilakukan sebelumnya yang telah melanggar hukum internasional. Jika hal ini terjadi, reprisal harus dilakukan atas dasar rasa tidak puas terhadap pemulihan dan disertai dengan tindakan yang proporsional antara pelanggaran dan reprisal tersebut.
Ketentuan ini terdapat dalam keempat Konvensi, yang dengan tegas dan mutlak melarang diilakukannya tindakan kekerasan terhadap orang-orang dan bangunan serta perlengkapan Perlengkapan yang dilindungi konvensi. Pasal 46 konvensi menyatakan
“Tindakan-tindakan pembalasan terhadap yang luka, sakit, para pegawai, bangunan atau perlengkapan yang dilindungi oleh konvensi ini dilarang”.
Walaupun demikian, dalam hal-hal tertentu hukum internasional masih memperkenankan dilakukannya pembalasan (reprisal) ini. Hal ini disebabkan, karena dalam taraf internasional pembalasan pada hakekatnya merupakan suatu bentuk dari “self-defence” yang masih belum bisa dilarang. Minimum order dikatakan sebagai upaya meminimalisasi (mengurangi atau menekan) kekerasan yang dilarang dan unsur paksaan lainnya. Selanjutnya akan dibahas mengenai unsur-unsur yang terkait mengenai masalah minimum order. Pasal 2 Ayat (4) Piagam PBB sebagai Dasar Larangan Penggunaan Paksaan dan/atau Kekerasan. Perwujudan minimum order dalam hukum internasional pada dasarnya dituangkan secara tertulis dalam Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB yang menyatakan:
All Members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any state, or in any other manner inconsistent with the Purposes of the United Nations.

Pendahulu PBB, yaitu Liga Bangsa-Bangsa pada dasarnya juga menyebutkan prinsip meminimalisasi kekerasan dalam bagian pembukaan, namun hanya dalam rangka pencapaian perdamaian dan keamanan internasional serta kewajiban untuk tidak melakukan perang. Ketika Pasal 2 ayat (4) masih dalam rancangan, sengaja tidak digunakan istilah war atau perang, melainkan “the threat of force”.
War atau perang memiliki arti yang lebih teknis dan sempit, sementara negara-negara terkadang terlibat dalam sebuah situasi yang mengancam namun tidak menyatakan bahwa mereka secara teknis sedang dalam perang. Situasi yang mengancam ini dapat berupa insiden perbatasan yang berskala kecil, hingga operasi militer yang besar. Pasal 2 ayat (4) Piagam PBB ini dielaborasikan dan dianalisis secara sistematis dalam Declaration on Principles of International Law (1970). Dalam deklarasi ini disebutkan bahwa:
Pertama, tindakan atau perang dengan cara agresi, mengandung kejahatan terhadap perdamaian, dimana terdapat suatu pertanggunjawaban dalam hukum internasional. Kedua, negara-negara dilarang menggunakan ancaman atau kekerasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional atau dalam menyelesaikan sengketa. Ketiga, negara berkewajiban untuk menghindari penggunaan kekerasan dalam tindakan reprisal (pembalasan). Keempat, negara dilarang menggunakan kekerasan untuk membatasi sekelompok orang untuk menentukan nasib sendiri atau menentukan kemerdekaannya. Kelima, negara harus menghindarkan diri dari tindakan membantu atau mengatur perselisihan sipil atau terorisme di negara lain dan menghindarkan diri untuk mendorong dibentuknya pasukan yang digunakan untuk menyerang secara mendadak di wilayah negara lain. Perlu diketahui bahwa Pasal 2 ayat (4) juga meliputi ancaman kekerasan (selain penggunaan kekerasan). Masalah ini dinyatakan dalam sebuah advisory opinion di Mahkamah Internasional (International Court of Justice atau ICJ) kepada Majelis Umum PBB perihal Keabsahan Ancaman atau Penggunaan Kekerasan dalam Senjata Nuklir.
C.           Larangan Pelepasan Hak
Pasal 7 adalah mengatur mengenai larangan bagi orang-orang yang dilindungi konvensi untuk melepaskan hak-hak yang mereka peroleh di bawah konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949. Pasal 7 menyatakan bahwa “yang luka dan sakit, begitupun anggota dinas kesehatan serta rohaniwan-rohaniwan sekali-kali tidak boleh menolak sebagian atau seluruhnya hak-hak yang diberikan kepada mereka oleh konvensi ini, serta oleh persetujuan-persetujuan khusus seperti tersebut dalam pasal terdahulu, apabila ada”.
Ketentuan Pasal 7 keempat konvensi ini bertujuan agar negara penawan tidak mungkin lagi mengelakkan kewajiban-kewajibannya untuk memberikan perlindungan kepada orang-orang yang telah jatuh ke dalam tangannya, dengan alasan bahwa mereka “dengan sukarela”
atau “atas kemauan sendiri” telah menolak hak-hak dan jaminan yang diberikan oleh konvensi-konvensi kepada mereka.
D.           Pengawasan
1.            Pengawasan dan Perlindungan
a.             Negara Pelindung,
Mengenai ketentuan ini terdapat dalam Pasal 8 keempat konvensi, yang berbunyi “konvensi ini harus dilaksanakan dengan kerja sama serta di bawah pengawasan dari negara-negara Pelindung yang berkewajiban melindungi kepentingan-kepentingan pihak-pihak dalam sengketa. Untuk maksud ini, negara-negara Pelindung boleh mengangkat di samping diplomatik dan konsuler mereka, utusan-utusan yang dipilih dari antara warga negara mereka atau warga negara-warga negara.
b.             Negara netral lainnya.
Utusan tersebut harus mendapat persetujuan negara dengan siapa mereka akan melakukan kewajiban-kewajiban mereka”. Ketentuan - ketentuan mengenai negara Pelindung ini yang akan mengawasi pelaksanaan ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa oleh pihak-pihak dalam sengketa sangat penting lainnya.
2.            Pengawasan dan Bantuan
Palang Merah Internasional dan Organisasi Perikemanusiaan lainnya dalam ketentuan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 9, yang menyatakan “ketentuan-ketentuan konvensi ini tidak merupakan penghalang bagi kegiatan-kegiatan perikemanusiaan, yang mungkin diusahakan oleh Komite Internasional Palang Merah atau tiap organisasi humaniter lainnya yang tidak berpihak, untuk melindungi dan menolong yang luka dan sakit, anggota dinas kesehatan dan rohaniwan-rohaniwan selama kegiatan-kegiatan itu mendapat persetujuan pihak-pihak dalam sengketa bersangkutan”. Pasal ini membuka kemungkinan untuk kegiatan kemanusiaan yang dilakukan, baik oleh Palang Merah atau organisasi humaniter.
E.            Sanksi
Ketentuan - ketentuan mengenai pemberantasan pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi terdapat dalam Pasal 49-50 Konvensi I, Pasal 50-51 Konvensi II, Pasal 129-130 Konvensi III dan Pasal 146-147 Konvensi IV. Pasal 49 Konvensi I menyatakan :
“ Pihak Peserta Agung berjanji untuk menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk memberi sanksi pidana efektif terhadap orang-orang yang melakukan atau memerintahkan untuk melakukan salah satu diantara pelanggaran berat atas Konvensi ini seperti di dalam pasal berikut.
Tiap Peserta Agung berkewajiban untuk mencari orang-orang yang disangka telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran-pelanggaran berat yang dimaksudkan, dan harus mengadili orang-orang tersebut dengan tidak memandang kebangsaannya. Pihak Peserta Agung, dapat juga, jika dikehendakinya, dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangannya sendiri, menyerahkan kepada Pihak Peserta Agung lain
Yang berkepentingan, orang-orang tersebut untuk diadili, asal saja Pihak Peserta Agung tersebut dapat menunjukkan suatu perkara prima facie. Tiap Peserta Agung harus mengambil tindakan-tindakan yang perlu untuk memberantas selain pelanggaran berat yang ditentukan dalam Pasal berikut, segala perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Konvensi ini.
Dalam segala keadaan, orang yang dituduh harus mendapat jaminan-jaminan peradilan dan pembelaan yang wajar, yang tidak boleh kurang menguntungkan dari jaminan-jaminan yang diberikan oleh Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang tertanggal 12 Agustus 1949 dalam Pasal 105 dan seterusnya.
Ketentuan mengenai sanksi pidana terhadap pelanggaran-pelanggaran konvensi dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan bagi pihak penandatangan seperti terdapat Pasal 49 ini, harus dilihat dalam hubungannya dengan ketentuan dalam Pasal 1, bahwa pihak penandatangan tidak saja harus menaati ketentuan-ketentuan konvensi, tetapi juga “harus menjamin ditaatinya ketentuan-ketentuan konvensi”
F.            Penyebarluasan Konvensi
Mengenai kewajiban pihak Penandatangan untuk menyebarkan pengetahuan tentang konvensi- konvensi ini terdapat dalam Pasal 47, yang menyatakan bahwa “Pihak Peserta Agung berjanji untuk, baik di waktu damai, maupun di waktu perang, menyebarkan teks konvensi ini seluas mungkin dalam negara mereka masing- masing, dan terutama untuk memasukkan pengajarannya dalam program-program pendidikan militer, dan jika mungkin dalam program pendidikan, sehingga asas-asas konvensi ini dapat dikenal oleh seluruh penduduk, terutama oleh angkatan perang, oleh anggota kesehatan dan rohaniwan”.
Hal ini dimaksudkan, agar orang-orang yang dilindungi konvensi mengetahui tentang hak-haknya, karena akibat dari peperangan ini tidak hanya terbatas pada pihak-pihak yang berperang dan angkatan bersenjata semata, namun meliputi seluruh rakyat.



BAB VI
JENIS KONFLIK BERSENJATA

A.           International Armed Conflict
Secara garis besar, hanya ada dua bentuk konflik bersenjata saja yang diatur dalam Hukum Humaniter sebagaimana yang dapat dilihat dan mengkaji konvensi-konvensi jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 yaitu :  
1)            Sengketa atau konflik bersenjata yang bersifat internasional”(international armed conflict); serta 
2)            “Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional” (non-international armed conflict).
Pembagian dua bentuk konflik ini adalah juga menurut Haryomataram. Selain Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan, para pakar Hukum Humaniter telah mengajukan bentuk konflik bersenjata, antara lain :
1.            Starke, membagi konflik bersenjata menjadi dua, yaitu war proper between States, and armed conflict which are not of the character of war. Mengenai “armed conflict” yang menjadi pihak belum tentu negar, dapat juga bukan negara menjadi pihak dalam konflik tersebut. Ditambahkan pula bahwa “war proper” adalah “declared war”, yaitu perang yang didahului dengan suatu “declaration of war”.
2.            Shigeki Miyazaki, pakar ini menjabarkan konflik bersenjata sebagai berikut :
a.             Konflik bersenjata antara pihak peserta konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 1 dan Protokol I, Pasal 1, Paragraf 3.
b.             Konflik bersenjata antara pihak peserta (negara) dengan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), misalnya penguasa yang memimpin kampanye pembebasan nasional yang telah menerima Konvensi Jenewa dan/atau Protokol. Konvensi Jenewa Pasal 2, Paragraf 4, Protokol Tambahan I, Pasal 1, Paragraf 4, Pasal 96, Paragraf 2.
c.             Konflik bersenjata antar pihak peserta (negara) dan bukan pihak peserta (negara atau penguasa de facto), yang belum menerima baik Konvensi Jenewa maupun Protokol. Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Marthen Clause, Protokol II (penguasa : authority).
d.             Konflik bersenjata antara dua bukan pihak peserta (non-contracting parties). Konvensi Jenewa, Pasal 2, Paragraf 4, Kovensi Jenewa Pasal 3 (penguasa), Marthen Clause, Protokol 2 (penguasa).
e.             Konflik bersenjata yang serius yang tidak bersifat internasional (pemberontakan). Konvensi Jenewa, Pasal 3, Protokol 2, Hukum Internasional Publik.
f.              Konflik bersenjata yang lain. Kovenan Internasional HAM, Hukum Publik (Hukum Pidana).
3.            Haryomataram, membagi konflik bersenjata sebagai berikut :
a.             Konflik Bersenjata yang bersifat Internasional
Ada beberapa macam konflik bersenjata internasional : murni dan semu yakni perang pembebasan Nasional (War Of National Liberation)  dan konflik bersenjata internal yang diinternasionalisir (Internationalized Internal Armed Conflict). Konflik bersenjata internasional “murni” adalah konflik bersenjata yang terjadi antara dua atau lebih negara. Sedangkan konflik bersenjata internasional “semu” adalah konflik bersenjata antara negara disatu pihak dengan bukan negara (non-state entity) di pihak lain. Konflik semacam ini seharusnya termasuk kategori konflik bersenjata yang tidak bersifat internasional, tetapi berdasarkan ketentuan hukum humaniter dalam hal ini Pasal 1 ayat (4) protokol tambahan I, bahwa konflik bersenjata tersebut disamakan dengan konflik bersenjata internasional.
Mengenai Internationalized Internal Armed Conflict dapat dikatakan bahwa yang dimaksud adalah suatu non-international armed conflict kemudian karena ada pengakuan atau bantuan dari negara ke tiga berkembang menjadi non-international armed conflict yang di internasionalisir. Mengenai apa yang dimaksdkan dengan istilah “armed conflict not of an international character” yang terdapat dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan “non-international armed conflict pada Protokol Tambahan II 1977, tidak dapat ditemukan penjelasan dalam konvensi atau protokol tersebut. Penjelasan selanjutnya dapat dilihat pada pembahasan tentang Protokol Tambahan 1977.
Sengketa bersenjata yang bersifat internasional disebut juga sebagai sengketa bersenjata antar negara (misalnya negara A berperang melawan negara B). Sengketa bersenjata antar negara terdiri dari beberapa situasi sebagaimana telah ditetapkan di dalam Pasal 2 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 beserta Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 96 ayat (3) Protokol Tambahan I tahun 1977.
b.             Konflik Bersenjata yang bersifat Non-Internasional
Sengketa bersenjata yang bersifat non-internasional dikenal juga sebagai “perang pemberontakan” yang terjadi di dalam suatu negara; juga dapat berbentuk perang saudara (civil war) (misalnya terjadi perang pemberontakan di negara C antara pasukan pemberontakan melawan pasukan reguler negara C. Perhatikan bahwa perang pemberontakan selalu bertujuan untuk memisahkan diri dari negara induk). Ketentuan mengenai sengketa bersenjata non-internasional ini diatur hanya berdasarkan satu pasal saja, yakni Pasal 3 common article Konvensi-konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan II tahun 1977.
Di samping mengetahui maksud atau pengertian konflik bersenjata non-internasional menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977, maka tidak ada salahnya mengetahui bagaimana pengertian konflik non-internasional menurut para ahli. Berikut dicantumkan bagaimana pendapat ahli dalam usaha mereka untuk merumuskan apa yang disebut dengan sengketa bersenjata non-internasional.
1)                Dieter Fleck
Konflik bersenjata non-internasional adalah suatu konfrontasi antara penguasa pemerintah yang berlaku dan suatu kelompok yang dipimpin oleh orang yang bertanggung jawab atas anak buahnya, yang melakukan perlawananan bersenjata di dalam wilayah nasional serta telah mencapai intensitas suatu kekerasan bersenjata atau perang saudara.
 2)                Pietro Verri
Suatu konflik non-internasional dicirikan dengan pertempuran antara angkatan bersenjata suatu negara dengan perlawanan dari sekelompok orang atau pasukan pemberontak… Bagaimanapun juga suatu konflik di suatu wilayah negara antara dua kelompok etnis dapat pula diklasifikasikan sebagai konflik bersenjata non-internasional asalkan konflik tersebut memenuhi syarat-syarat yang diperlukan seperti intensitas konflik, lama atau durasi konflik dan partisipasi rakyat pada konflik tersebut. Selanjutnya, dikatakan pula oleh Verri, bahwa konflik bersenjata non-internasional ini adalah sinonim dari perang saudara.
3)                Hans-Peter Gasser
Konflik non-international adalah konfrontasi bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu negara, yaitu antara pemerintah di satu sisi dan kelompok perlawanan bersenjata di sisi lain. Anggota kelompok perlawanan bersenjata tersebut apakah digambarkan sebagai pemberontak, kaum revolusioner, kelompok yang ingin memisahkan diri, pejuang kebebasan, teroris, atau istilah-istilah sejenis lainnya berperang untuk menggulingkan pemerintah, atau untuk memperoleh otonomi yang lebih besar di dalam negara tersebut, atau dalam rangka memisahkan diri dan mendirikan negara mereka sendiri. Penyebab dari konflik seperti ini bermacam-macam; seringkali penyebabnya adalah pengabaian hak-hak minoritas atau hak asasi manusia lainnya yang dilakukan oleh pemerintah yang diktator sehingga menyebabkan timbulnya perpecahan di dalam negara tersebut.
Sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.
Pasal 3 keempat Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakantindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :
1)                Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan, perlakuan kejam dan penganiayaan;
2)                Penyanderaan;
3)                Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;
4)                Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri. Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensikonvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat.
Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa.
Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1. Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah sematamata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara.
B.            Jenis Konflik yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter
Selain ke dua jenis konflik tersebut di atas, maka terdapat jenis konflik lainnya yang tidak diatur dalam Hukum Humaniter. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat (2) Protokol II 1977 yang berbunyi : “Protokol ini tidak berlaku pada situasi-situasi kekerasan dan ketegangan dalam negeri, seperti huru-hara, tindakan-tindakan kekerasan yang bersifat sporadis dan terisolir,  serta tindakan-tindakan yang bersifat serupa lainnya, yang bukan merupakan sengketa bersenjata”. Pada ilustrasi di atas, tidak terdapat tanda-tanda upaya pemisahan diri dari negara induk, karena jenis konflik yang terjadi masih dalam koridor ketegangan dan kekerasan dalam negeri dengan intensitas konflik yang relatif masih rendah.


BAB VII
PERLINDUNGAN KORBAN PERANG DAN KONFLIK BERSENJATA

A.           Perlindungan Kombatan
Prinsip atau Asas Pembedaan (Distinction Principle) merupakan suatu asas penting dalam Hukum Humaniter Internasional. Prinsip ini membedakan penduduk dari suatu negara yang sedang berperang dalam dua golongan, yaitu: Kombatan (Combatant) dan Penduduk Sipil (Civilian).
Apabila seorang kombatan jatuh ketangan musuh, maka ia akan diperlakukan sebagai tawanan perang. Berkaitan dengan prinsip pembedaan dan perlakuan tawanan perang ini maka penting diketahui bagaimana mengenai status dan perlakuan yang ditujukan kepada mata-mata (Spy) dan tentara bayaran (Unlawful Combatant) apabila mereka jatuh ke tangan musuh.
Di dalam Kovensi Jenewa 1949 terdapat apa yang dikenal dengan istilah ketentuan-ketentuan yang bersamaan (common articles), yaitu ketentuan yang fundamental dan sangat penting sehingga diulang berkali-kali dalam setiap Konvensi dalam pasal yang sama, atau bunyi yang sama, atau bunyi yang hampir sama. Ada beberapa hal yang diatur dalam common articles ini antara lain mengenai penghormatan Konvensi, sengketa bersenjata non internasional, protected persons, pengawasan setiap Konvensi.
Hukum Humaniter Internasional membedakan dua jenis pertikaian senjata, yaitu sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan yang bersifat non-internasional. Jika pertikaian bersenjata itu melibatkan dua negara atau lebih maka akan disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internasional atau international armed conflicts. Pengertian international armed conflicts ini kemudian diperluas oleh Protokol I 1977 yang juga mengkategorikan CAR conflicts sebagai international armed conflicts.
Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah sebuah negara disebut pertikaian bersenjata yang bersifat internal atau yang bukan bersifat internasional (noninternational armed conflict atau internal armed conflict). Ketentuan mengenai noninternational armed conflict ini diatur dalam pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. Dalam situasi-situasi tertentu dapat juga suatu noninternational armed conflict berubah menjadi international armed conflict. Hal yang terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflict.
Salah satu prinsip penting dalam hukum humaniter adalah prinsip perlindungan. Betuk perlindungan yang diberikan oleh hukum humaniter kepada mereka yang terlibat dalam pertempuran secara garis besar dibedakan atas dua hal. Pertama, kepada kombatan diberikan perlindungan dan status sebagai tawanan perang, dan yang kedua kepada penduduk sipil ditetapkan larangan untuk menjadikan mereka sebagai sasaran serangan.
Salah satu aspek penting dalam hukum humaniter adalah mengenai mekanisme penegakan hukum jika terjadi pelanggaran. Mekanisme ini diatur dalam Konvensi Jenewa yaitu dengan menggunakan mekanisme hukum nasional. Kemudian dalam protokol I mekanisme ini dilakukan suatu International Fact Finding Commission. Disamping itu mekanisme hukum humaniter juga dapat dilakukan melalui institusi peradilan internasional, baik yang bersifat ad hoc maupun yang berupa mahkamah permanen. Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia merupakan dua bidang yang dekat hubungannya. Beberapa perbedaan dan persamaan antara keduanya dapat diidentifikasi.
Hukum Den Haag, atau Hukum Perang yang utama, “menetapkan hak dan kewajiban pihak yang berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan sarana mencelakai yang boleh dipakai.” Pada khususnya, Hukum Den Haag berkenaan dengan definisi kombatan, menetapkan aturan mengenai sarana dan cara berperang, dan menelaah perihal sasaran militer.
            Upaya sistematis untuk membatasi kebiadaban perang baru mulai berkembang pada abad ke-19. Keprihatinan atas keganasan perang berhasil mengembangkan perubahan pandangan tentang perang di kalangan negara-negara yang dipengaruhi oleh Abad Pencerahan. Tujuan perang ialah untuk mengatasi musuh, dan tujuan tersebut dapat dicapai dengan melumpuhkan kombatan musuh. Dengan demikian, “pembedaan antara kombatan dan orang sipil, ketentuan bahwa kombatan musuh yang terluka dan tertangkap harus diperlakukan secara manusiawi, dan pengampunan harus diberikan yang merupakan sebagian dari pilar-pilar Hukum Humaniter moderen– mengikuti prinsip tersebut.”
Salah satu sendi hukum perang adalah distinction principle (prinsip pembeda). Pengertian asas ini ialah bahwa penduduk suatu negra terlibat dalam pertikaian bersenjata dibagi dua golongan besar, yaitu mereka yang secara langsung aktif dalam pertikaian tersebut, dan mereka yang tidak turut serta secara aktif. Pembagian ini perlu diadakan karena hukum perang menentukan bahwa masing-masing golongan mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda. Prinsip ini diatur dalam pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977.   Tujuan dari prinsip pembeda ini adalah melindungi warga sipil.  Yang intinya menegaskan :
1.                Penduduk sipil tidak boleh menjadi sasaran serangan  (Serangan bom yang membabi buta dipermukiman penduduk sipil dilarang keras)
2.                Sebagai suatu metode peperangan, dilarang keras membuat penduduk sipil  menderita kelaparan.
3.                Fasilitas yang sangat dibuthkan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil,      seperti perkebunan, peternakan dan sumur air tidak boleh dihancurkan.
            Beberapa Ahli telah menjabarkan arti Kombatan, seperti hal nya pendepat KGPH.  aryomataram, dalam bukunya yang berjudul Pengantar Hukum Humaniter, beliau mengatakan bahwa kombatn adalah mereka yang berhak (have the right) untuk secara langsung turut serta dalam permusuhan (hostilities).   Pengertian yang dipakai oleh KGPH. Haryomataram hampir serupa artinya dengan pengertian kombatan menurut F. Sugeng Istanto yaitu mereka yang berhak serta secara langsung dalam permusuhan.
            Pada Protokol tamabahan I 1977 masalah mengenai status kombatan diatur dalam pasal 43 dan 44. Pasal 43 ayat (1) yang berbunyi ;
“Angkatan perang dari suatu Pihak dalam sengketa terdiri dari semua angkatan, kelompok-kelompok dan satuan-satuan bersenjata yang diorganisir yang berada dibawah suatu komando yang bertanggung jawab kepada Pihak tersebut atas perbuatan bawahannya, bahkan apabila Pihak tersebut diwakili oleh sebuah Pemerintah atau suatu kekuasaan yang tidak diakui oleh suatu Pihak lawan. Angkatan Perang seperti itu harus tunduk pada suatu peraturan disiplin tentara, yang internalia, harus berlaku sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan dalam sengketa bersenjata.” 
Pasal 43 mulai dengan menjelaskan pengertian angkatan bersenjata (armed force) dari pihak sengketa. Menurut ayat 1, angkatan bersenjata tersebut terdiri dari semua angkatan bersenjata yang terorganisasi, kelompok (group) dan kesatuan (units) yang terorganisir, yang berada dibawah pimpinan/ komando yang bertanggung jawab kepada pihak tersebut atas kelakuan dan tingkah laku anak buah mereka. Perlu dicatat disini bahwa pasal ini tidak lagi menyebut istilah Regular Armed Forces dan Irregular Armed Forces, seperti yang terdapat dalam konvensi-konvensi sebelumnya. Selain itu kombatan juga diatur dalam pasal 1 dan 3 regulasi Den Haag 1907, Pasal 13 common Articles konvensi I dan II, pasal 4A dan 4B konvensi Jenewa III tahun 1949, serta pasal 43 dan 44 Protokol Tambahan I tahun 1977.
B.            Perlindungan Penduduk Sipil
Menurut Haryomataram,  Penduduk Sipil  (Civilians) ialah mereka yang tidak turut serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran; mereka harus dilindungi  dan tidak boleh dijadikan sasaran serangan. Sedangkan Arlina Permanasari mengemukakan bahwa penduduk sipil adalah golongan penduduk yang tidak turut serta dalam permusuhan.
            Acuan paling pokok mengenai penduduk sipil, adalah pasal 27 konvensi Jenewa IV tahun 1949, yang antaranya berbunyi sebagai berikut :
“orang-orang yang dilindungi dalam segala keadaan berhak atas penghormatan atas diri pribadi, kehormatan hak-hak, keyakinan dan praktek keagamaan serta adat istiadat dan kebiasaan mereka.” mereka harus diperlakukan perimanusiaan,dan harus dilindungi khusus dengan segala tidakan keras atau ancaman-ancaman kekerasan, dan terhadap penghinaan serta tidak boleh menjadi objek totonan umum. 
Sebenarnya prinsip yang tertuang dalam pasal 27 konvensi Jenewa tahun 1949 merupakan nilai dalam berbagai keagamaan dan kebudayaan.            Mengenai bab IV dalam Protokol Tambahan I ini d dalam uraian di pasal 50 yang menjelaskan apa itu penduduk sipil dan orang-orang sipil. Yaitu yang terdapat dalam pasal 50 ayat (1) dan (2) : “Seorang sipil adalah setiap orang yang tidak  termasuk dalam salah satu dari penggolongan-penggolongan orang-orang yang disebut dalam Pasal 4 A(1), (2), (3) dan (6) dari Konvensi.” Pasal 50 ayat (1)  dan “Penduduk sipil terdiri dari semua orang sipil.” Pasal 50 ayat (2)
            Pada Protokol Tambahan konvensi jenewa tahun 1977, menetapkan keharusan dihindarinya penduduk sipil menjadi sasaran militer. Seperti yang tercantum dalam pasal 48, yang berbunyi sebagai berikut :
“Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk  sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.” Ketentuan tersebut menunjukan bahwa secara implicit Protokol itu menetapkan keharusan diarahkannya operasi militer hanya pada sasaran militer.
C.           Perlindungan Obyek-Obyek Lainnya
1.            Benda-benda Budaya
Di antara sekian banyak objek yang dengan sengaja diserang dan dihancurkan di dalam peperangan, peninggalan bersejarah dalam bentuk benda-benda budaya juga tempat-tempat bersejarah adalah yang paling rentan terkena dampak dari peperangan itu. Para oknum yang tidak bertanggungjawab bersembunyi dan berlindung di bawah suatu teori military necessity atau ‘kepentingan militer’ dan merusak serta menghancurkan benda dan tempat bersejarah yang dilindungi.
Penghancuran peninggalan bersejarah secara disengaja pada saat peninggalan bersejarah tersebut tidak digunakan untuk kepentingan militer adalah suatu pelanggaran terhadap Hukum Internasional dan Hukum Humaniter Internasional yang berada di dalam lingkup Hukum Internasional, dan siapapun yang bertanggung jawab memerintahkan dan melaksanakan serangan tersebut bisa dihukum atas dasar kejahatan perang.
Di dalam Konvensi Den Haag tahun 1954, prinsip umum atas perlindungan terhadap tempat bersejarah didasarkan pada obligasi untuk menjaga dan menghormati tempat bersejarah tersebut, seperti dijelaskan dalam Pasal 2 Konvensi. Penjagaan atas tempat bersejarah terdiri dari setiap langkah persiapan yang harus diambil di dalam masa damai demi tersedianya kondisi terbaik bagi perlindungan tempat bersejarah tersebut, seperti yang tercantum dalam Pasal 3.
Sementara itu, penghormatan terhadap tempat bersejarah berarti menghindari tindakan permusuhan yang ditujukan langsung terhadap tempat bersejarah tersebut, dan melarang, mencegah dan jika perlu menghentikan segala bentuk pencurian, penjarahan atau penyalahgunaan, dan setiap tindakan-tindakan vandalisme yang ditujukan langsung terhadap tempat bersejarah tersebut. Hal tersebut juga berarti bahwa penggunaan tempat bersejarah untuk tujuan militer dan untuk mendukung tindakan militer adalah dilarang, seperti yang ditegaskan pada Pasal 4.
Tindakan pembalasan yang ditujukan langsung terhadap tempat-tempat bersejarah juga dilarang, dan tidak ada alasan pembenar atau pengecualian untuk tindakan pembalasan, ditegaskan dalam Pasal 4 paragraf 4, dan terkandung dalam Pasal 53(c) dari Protokol Tambahan I 1977.
Langkah-langkah yang harus diambil untuk menjamin bahwa tempat-tempat bersejarah itu terlindungi dan dihormati yakni berkaitan dengan identifikasi dan inventarisasi, lambang, kartu identitas, pendaftaran di International Register of Property under Special Protection, penyebaran dan sanksi pidana
2.            Lingkungan
Salah satu perkembangan baru dalam hukum humaniter adalah adanya perlindungan yuridis terhadap lingkungan alam dalam sengketa bersenjata. Perlindungan lingkungan alam ini diatur dalam Protokol I, yaitu dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 55. Dalam kedua pasal ini, secara eksplisit telah terdapat kata-kata ‘lingkungan alam’ (natural environment) sebagaimana dapat dilihat dalam pasal-pasal berikut ini :
Pasal 35 ayat(3) : ‘Dilarang menggunakan sarana-sarana atau metode-metode berperang yang ditujukan atau yang diharapkan akan mengakibatkan kerusakan yang hebat, meluas dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan alam.’
Pasal 55 : ‘Di dalam peperangan, kepedulian harus ditingkatkan untuk melindungi lingkungan alam terhadap kerusakan yang meluas, berjangka panjang dan hebat. Perlindungan ini meliputi larangan penggunaan sarana dan metode berperang yang dimaksudkan atau diharapkan dapat mengakibatkan kerusakan demikian terhadap lingkungan alam dan karena itu akan merugikan kesehatan atau kelangsungan hidup penduduk Serangan-serangan terhadap lingkungan alam dengan cara tindakan balasan adalah dilarang’.
Sebenarnya, para ahli telah lama berdebat tentang apakah perlindungan lingkungan dalam sengketa bersenjata ini telah diatur dalam hukum humaniter. Dengan berdasarkan pada isi redaksional yang secara eksplisit telah menyisipkan kata-kata ‘lingkungan alam’ sebagaimana tertera di atas, maka ada sekelompok ahli yang menyetujui bahwa perangkat yuridis yang melindungi lingkungan alam dalam sengketa bersenjata pertama kali diatur pada tahun 1977, yaitu dalam Protokol I.
Berkaitan dengan perlindungan lingkungan alam ini terdapat beberapa frasa atau istilah yang perlu mendapatkan perhatian. Istilah-istilah yang dimaksud disini adalah istilah kerusakan lingkungan yang bersifat “meluas, berjangka waktu lama dan dahsyat” (widespread, long-term and severe). Protokol sendiri tidak memberikan batasan atau definisi tentang arti istilah-istilah yang dipergunakan tersebut. Oleh karena itu, kita harus melihat pendapat para ahli sebagaimana telah dikemukakan dalam sidang-sidang konferensi pada waktu penyusunan Protokol. Sebagaimana dicantumkan dalam Penjelasan Protokol, maka pengertian dari beberapa istilah tersebut adalah sebagai berikut :
a.             widespread’: mengacu kepada suatu daerah yang luasnya tidak kurang dari beberapa ratus kilometer persegi;
b.             long-term’: mengacu kepada suatu jangka waktu yang lamanya sepuluh tahun atau lebih;
c.             severe’: meliputi kerusakan yang lebih dari sekedar berjangka waktu lama yang kemungkinan dapat membahayakan kelangsungan hidup penduduk sipil atau yang akan menyebabkan resiko terhadap masalah-masalah kesehatan mereka
3.            Obyek lain
Fasilitas objek lain yang dimaksud disini adalah fasilitas kesehatan dan rRumah ibadah, yaitu suatu objek sipil, misalnya rumah sakit atau rumah ibadah, apabila penggunaannya memberikan suatu konribusi militer yang efektif kepada suatu operasi militer maka ia pada saat itu ia menjadi objek militer. Apabila tidak digunakan untuk tujuan militer lagi maka objek tersebut tidak lagi merupakan objek militer.
Kebiasaan untuk menandai rumah sakit dengan bendera khusus yang melambangkan bendera masing-masing pihak, akhirnya menjadi penggunaan lambang Palang Merah pada rumah sakit dan sarana transportasi medis, tentara yang luka dan sakit merupakan tawanan perang dan diperlakukan sesuai dengan Konvensi Jenewa III tahun 1949 (di mana awalnya juga disebutkan dalam Konvensi tahun 1864); dokter dan rohaniawan harus dilindungi dan dihormati; penduduk sipil bukan sasaran serangan.



BAB VIII
KEJAHATAN PERANG

A.           Kejahatan Terhadap Kemanusiaan (Crimes Against Humanity)
Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Huruf B adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari Serangan yang meluas atau sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung kepada penduduk sipil berupa, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan  penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional, penyiksaan, perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara.
Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang disadari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional adalah :    Penghilangan orang secara paksa, Kejahatan apartheid.
Sifat dan karakter perbuatan tersebut haruslah tidak manusiawi, menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka yang serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental. Perbuatan itu haruslah memiliki sifat dan karakter yang tidak manusiawi dan menimbulkan penderitaan yang sangat berat, atau luka serius terhadap tubuh atau kesehatan fisik dan mental. Perbuatan tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari “serangan yang sistematis atau meluas”
Kejahatan terhadap kemanusiaan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil atas latar belakang yang diskriminatif. Walaupun perbuatan tersebut tidak harus merupakan serangan yang dilakukan pada tempat dan waktu yang sama, atau tidak memiliki semua ciri-ciri serangan itu, tetapi bahwa serangan itu berdasarkan karakteristiknya, memiliki tujuan, sifat atau konsekuensi objektifnya merupakan bagian dari serangan yang bersifat diskriminatif.
 Karena kejahatan terhadap kemanusiaan dapat dilakukan “di dalam atau di luar konteks konflik bersenjata,” maka erminologi sipil harus dimengerti dalam konteks perang dan juga dalam konteks yang relatif damai. Kemudian, definisi sipil secara luas dapat diaplikasikan dan dalam konteks situasi di mana tidak terjadi konflik bersenjata, definsi sipil mencakup semua orang kecuali mereka yang memiliki tugas untuk menjaga ketertiban umum dan memiliki dasar hukum untuk melakukan kekerasan.
Persyaratan bahwa tindakan-tindakan yang dilarang itu harus ditujukan terhadap penduduk sipil tidak berarti bahwa seluruh penduduk di negara atau satu wilayah harus menjadi korban dari tindakan itu sehingga dapat disebut terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Justru unsur ‘penduduk’ dimaksudkan untuk membedakan kejahatan yang bersifat kolektif dengan tindakan-tindakan tersendiri atau terisolasi yang meskipun merupakan kejahatan berdasarkan undang-undang pidana nasional, tetapi tidak mencapai tingkat kejahatan terhadap kemanusiaan.
Serangan yang ‘berdasarkan alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama,’ yang merupakan sifat khas dari Statuta ICTR adalah sebuah konstruksi, yang lebih dibaca sebagai karakteristik dari ‘serangan’ dan bukan merupakan mens rea (niat jahat) pelaku. Pelaku mungkin saja melakukan kejahatan pokok berdasarkan alasan diskriminatif yang sama dengan serangan yang lebih luas itu; tetapi motif diskriminatif bukanlah prasyarat kejahatan, karena kejahatan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang lebih luas.
Pasal 3 Statuta mensyaratkan bahwa serangan terhadap penduduk sipil harus dilakukan berdasarkan alasan ‘kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama.’ Perbuatan-perbuatan yang dilakukan terhadap orang di luar kategori yang diskriminatif itu mungkin saja merupakan bagian dari serangan, di mana perbuatan terhadap pendukung dari kalangan luar atau yang lebih jauh lainnya, atau yang dimaksudkan untuk mendukung atau melanjutkan serangan terhadap kelompok, dilakukan berdasarkan alasan diskriminatif.
Perbuatan itu harus dilakukan berdasarkan satu atau lebih alasan diskriminatif, yaitu kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama. Serangan harus dilancarkan berdasarkan alasan diskriminatif, yaitu kebangsaan, etnis, rasial, agama atau politik.
Pelaku harus mengetahui bahwa ia melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam keadaan ia harus mengetahui konteks yang lebih luas tentang serangannya itu.  Salah satu bagian yang mentrasformasi perbuatan individu menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan adalah dimasukkannya perbuatan tersebut dalam dimensi yang lebih besar dari perbuatan pidana, sehingga kesalahan dibuktikan melalui syarat bahwa orang harus sadar akan dimensi yang lebih luas ini. Sesuai dengan itu, pengetahuan yang sebenarnya atas konsep yang lebih luas dari serangan adalah bahwa si pelaku pada dasarnya mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang sistematis atau meluas yang ditujukan terhadap penduduk sipil, dan sesuai dengan semacam kebijakan atau rencana, sehingga memenuhi syarat unsur mens rea dari pelaku.
Kejahatan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis atau meluas terhadap penduduk sipil, atas alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama. Pelaku tidak perlu bertindak dengan tujuan diskriminatif tetapi dia harus mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis tersebut. Untuk dapat bertanggung-jawab, pelaku harus memiliki pengetahuan yang sebenarnya mengenai konteks yang lebih luas dari serangan itu, yaitu ia (pelaku) mengetahui bahwa perbuatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil, berdasarkan suatu kebijakan atau rencana.
Motif diskriminatif tidak disyaratkan untuk perbuatan-perbuatan selain penganiayaan
Motif untuk melakukan diskriminasi berdasarkan alasan kebangsaan, politik, etnis, rasial atau agama adalah unsur yang esensial dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Tidak ada persyaratan bahwa perbuatan-perbuatan yang disebutkan itu, selain perbuatan penganiayaan, harus dilakukan dengan motif diskriminatif.

B.            Kejahatan terhadap Perdamaian (Crimes Against Peace)
Kejahatan terhadap perdamaian sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Nuremberg didefenisikan sebagai : Perencanaan, persiapan, inisiatif suatu peperangan agresi, atau suatu peperangan yang melanggar perjanjian internasional. Sehingga dalam setiap konflik yang terjadi, berbagai pihak internasional menginginkan agar solusi damai harus terus ditempuh agar setiap konflik yang ada tidak erubah menjadi konflik terbuka (perang). Dalam pasal 33 piagam badan keamanan PBB dinyatakan bahwa bagi pihak-pihak yang terlibat suatu perselisihan pertama-tama mencari suatu solusi dengan negosiasi, pemeriksaan, penyelesaian sengketa dengan penengahan, permufakatan, penyelesaian melalui pengadilan, meminta bantuan dari aktor-aktor regional, atau sarana-sarana lainnnya.

C.           Kejahatan Perang (Crimes of War)
Ketentuan mengenai kejahatan perang (crimes of war) selain ada pada ketentuan yang disebutkan di atas juga ditemukan dalam Geneva Convention 1949 dan Additional Protocol 1977, Statute for the International Tribunal for Rwanda 1995, dan Statute for the International fo the Former Yugoslavia 1993 (amended 1998).
Kejahatan perang di antaranya melancarkan serangan atas seorang atau sekelompok sipil, atau obyek sipil. Melancarkan serangan yang menyebabkan kerugian bagi orang sipil, kerusakan obyek sipil atau kerusakan meluas, berjangka panjang dan berat terhadap lingkungan alam. Menyerang atau mengebom kota-kota, desa, perumahan, atau gedung yang tidak dipertahankan atau bukan obyek militer. Melakukan serangan atas gedung-gedung untuk tujuan keagamaan, pendidikan, kesenian, keilmuan atau sosial, monumen bersejarah, rumah sakit. Membunuh atau melukai secara curang pihak musuh, atau perlakuan mempermalukan tawanan perang.
Selama perang berlangsung, berita berbagai versi bahwa ratusan bahkan ribuan penduduk sipil Irak telah meninggal dan luka-luka akibat serangan bom-baik anak-anak, wanita maupun orang tua. Belum lagi berbagai sarana sipil yang menjadi sasaran seperti pertokoan, pemukiman penduduk, stasiun televisi, bahkan pasar An Naser yang sedang ramai, juga menjadi sasaran bom. Semua ini merupakan kejahatan perang.
Tidak dimungkiri, Irak juga melakukan hal sama, dengan manayangkan tawanan perangnya dapat dikategorikan mempermalukan seorang tawanan perang. Tentara yang menyamar sebagai warga sipil lalu menewaskan prajurit musuh dapat dianggap melakukan kecurangan. Bagaimanapun hukum perang secara yuridis berlaku dalam segala situasi (in all circumstances).
Namun, bilik kemanusiawian tampaknya dapat berapologi ke Irak mengingat perang ini adalah perang yang tak seimbang dan ilegal, maka pembalasan yang sama (quid pro quo) tak dapat disalahkan sepenuhnya. Logika klasik do ut des melegitimasikan bahwa negara memenuhi kewajibannya selama pihak lain melaksanakannya, dengan demikian jika negara melanggar kewajibannya, memberikan hak kepada pihak lain untuk tidak pula memenuhi kewajibannya.


BAB IX
PALANG MERAH INTERNASIONAL (ICRC)

A.           Sejarah dan Perkembangan Palang Merah Internasional
Pada tanggal 24 Juni 1859 di kota Solferino, Italia Utara, pasukan Perancis dan Italia sedang bertempur melawan pasukan Austria dalam suatu peperangan yang mengerikan. Pada hari yang sama, seorang pemuda warganegara Swiss, Henry Dunant , berada di sana dalam rangka perjalanannya untuk menjumpai Kaisar Perancis, Napoleon III. Puluhan ribu tentara terluka, sementara bantuan medis militer tidak cukup untuk merawat 40.000 orang yang menjadi korban pertempuran tersebut. Tergetar oleh penderitaan tentara yang terluka, Henry Dunant bekerjasama dengan penduduk setempat, segera bertindak mengerahkan bantuan untuk menolong mereka.
Beberapa waktu kemudian, setelah kembali ke Swiss, dia menuangkan kesan dan pengalaman tersebut kedalam sebuah buku berjudul "Kenangan dari Solferino", yang menggemparkan seluruh Eropa. Dalam bukunya, Henry Dunant mengajukan dua gagasan:     membentuk organisasi kemanusiaan internasional , yang dapat dipersiapkan pendiriannya pada masa damai untuk menolong para prajurit yang cedera di medan perang,     mengadakan perjanjian internasional guna melindungi prajurit yang cedera di medan perang serta perlindungan sukarelawan dan organisasi tersebut pada waktu memberikan pertolongan pada saat perang.
Pada tahun 1863, empat orang warga kota Jenewa bergabung dengan Henry Dunant untuk mengembangkan gagasan pertama tersebut. Mereka bersama-sama membentuk "Komite Internasional untuk bantuan para tentara yang cedera", yang sekarang disebut Komite Internasional Palang Merah atau International Committee of the Red Cross (ICRC). Dalam perkembangannya kelak untuk melaksanakan kegiatan kemanusiaan di setiap negara maka didirikanlah organisasi sukarelawan yang bertugas untuk membantu bagian medis angkatan darat pada waktu perang. Organisasi tersebut yang sekarang disebut Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah.
Berdasarkan gagasan kedua, pada tahun 1864, atas prakarsa pemerintah federal Swiss diadakan Konferensi Internasional yang dihadiri beberapa negara untuk menyetujui adanya "Konvensi perbaikan kondisi prajurit yang cedera di medan perang". Konvensi ini kemudian disempurnakan dan dikembangkan menjadi Konvensi Jenewa I, II, III dan IV tahun 1949 atau juga dikenal sebagai Konvensi Palang Merah . Konvensi ini merupakan salah satu komponen dari Hukum Perikemanusiaan Internasional (HPI) suatu ketentuan internasional yang mengatur perlindungan dan bantuan korban perang.
1.            Palang Merah Internasional
Komite Internasional Palang Merah / International Committee of the Red Cross (ICRC), yang dibentuk pada tahun 1863 dan bermarkas besar di Swiss. ICRC merupakan lembaga kemanusiaan yang bersifat mandiri, dan sebagai penengah yang netral. ICRC berdasarkan prakarsanya atau konvensi-konvensi Jenewa 1949 berkewajiban memberikan perlindungan dan bantuan kepada korban dalam pertikaian bersenjata internasional maupun kekacauan dalam negeri. Selain memberikan bantuan dan perlindungan untuk korban perang, ICRC juga bertugas untuk menjamin penghormatan terhadap Hukum Perikemanusiaan internasional.
Perhimpunan Nasional Palang Merah atau Bulan Sabit Merah, yang didirikan hampir di setiap negara di seluruh dunia, yang kini berjumlah 176 Perhimpunan Nasional, termasuk Palang Merah Indonesia. Kegiatan perhimpunan nasional beragam seperti bantuan darurat pada bencana, pelayanan kesehatan, bantuan sosial, pelatihan P3K dan pelayanan transfusi darah. Persyaratan pendirian suatu perhimpunan nasional diantaranya adalah  mendapat pengakuan dari pemerintah negara yang sudah menjadi peserta Konvensi Jenewa dalam menjalankan Prinsip Dasar Gerakan. Bila demikian ICRC akan memberi pengakuan keberadaan perhimpunan tersebut sebelum menjadi anggota Federasi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah.
2.          Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah / International Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC)
Pendirian Federasi diprakarsai oleh Henry Davidson warganegara Amerika yang disahkan pada suatu Konferensi Internasional Kesehatan pada tahun 1919 untuk mengkoordinir bantuan kemanusiaan, khususnya saat itu untuk menolong korban dampak paska perang dunia I dalam bidang kesehatan dan sosial. Federasi bermarkas besar di Swiss dan menjalankan tugas koordinasi anggota Perhimpunan Nasional dalam program bantuan kemanusiaan pada masa damai, dan memfasilitasi pendirian dan pengembangan organisasi palang merah nasional. Pertemuan organisasi palang merah internasional Sesuai dengan Statuta dan Anggaran Dasar Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah menyebutkan empat tahun sekali diselenggarakan Konferensi Internasional Palang Merah dan Bulan Sabit Merah ( Internasional Red Cross Conference) . Konferensi ini dihadiri oleh seluruh komponen Gerakan Palang Merah Internasional ( ICRC, perhimpunan nasional dan Federasi Internasional ) serta seluruh negara peserta Konvensi Jenewa. Konferensi ini merupakan badan tertinggi dalam Gerakan dan mempunyai mandat untuk membahas dan memutuskan semua ketentuan internasional yang berkaitan dengan kegiatan kemanusiaan kepalangmerahan yang akan menjadi komitmen semua peserta.
Dua tahun sekali , Gerakan Palang Merah Internasional juga mengadakan pertemuan Dewan Delegasi (Council of Delegates) , yang anggotanya terdiri atas seluruh komponen Gerakan. Dewan Delegasi akan membahas permasalahan yang akan dibawa dalam konferensi internasional. Suatu tim yang dibentuk secara khusus untuk menyiapkan pertemuan selang antar konferensi internasional yaitu Komisi Kerja ( Standing Commission).
B.            Peranan Palang Merah Internasional dalam Penyebaran HHI
Upaya ICRC dalam penegakan Hukum Humaniter Internasional terkait usaha perlindungan anak
1.            Penanganan untuk anak-anak yang terpisah dari orangtuanya
Mengidentifikasi dan mendata anak-anak yang terpisah dari keluarganya serta menyebarkan informasi tersebut ke seluruh wilayah, baik nasional maupun internasional melalui stakeholders-nya dan berbagai media yang dimilikinya. Menerima banyak permintaan dari para orang tua yang kehilangan anaknya akibat konflik, perang, dan situasi kekerasan lainnya, kemudian mulai melakukan proses pengusutan setelah menerima permintaan itu. Mendukung kreasi unit pengusutan khusus melalui lembaga nasional di seluruh dunia.
2.            Memberikan data jumlah sipil yang berada di dalam konflik melalui kerjasama dengan agen-agen kemanusiaan lainnya
Pembentukan www.FamilyLinks.icrc.org untuk membantu hubungan orang-orang yang terpisah dari keluarganya akibat perang atau bencana alam. Sejak tahun 2003, lebih dari 770.000 orang sudah mencantumkan namanya di website tersebut .
3.            Penanganan untuk anak-anak yang terlibat langsung dalam perang (tentara anak)
Secara aktif, mempromosikan prinsip-prinsip non-rekrutmen dan non-partisipasi orang-orang yang berada di bawah usia 18 tahun. Melindungi anak-anak yang berada dalam keadaan terluka dan ditawan. Menggunakan haknya untuk meminta pembebasan anak-anak secara individu. Walaupun tidak terlibat dalam negosiasi, ICRC ikut membantu implementasi hasil perjanjian dengan mempersatukan anak-anak yang terpisah dari keluarganya dan menjamin kesinambungan dari berkumpulnya mereka. Dalam berkonsultasi dan berkolaborasi dengan lembaga nasional dan Federasi Internasional, ICRC dapat melibatkan dirinya ke dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikologi dari anak-anak laki-laki dan perempuan yang telah terlibat dalam konflik bersenjata sebagaimana yang diterapkan di Sierra Leone dan Liberia
4.            Penanganan terhadap anak-anak yang menjadi tawanan
Mengidentifikasi dan mendata tawanan anak-anak. Membentuk kesempatan hubungan antara tawanan anak-anak dan keluarganya dengan memberi fasilitas kepada keluarga untuk mengunjungi, berbicara via telefon, dan menggunakan pelayanan pesan untuk tawanan anak-anak. Perwakilannya mengawasi kondisi material dari tawanan dan menjamin keberlanjutannya. Hal-hal yang diperiksa oleh perwakilan ICRC adalah kelengkapan infrastruktur, ruangan yang cukup, cahaya dan air bersih.
5.            Memperjuangkan kebutuhan dasar
Memperjuangkan jaminan bahwa tawanan dapat memperoleh kebutuhan dasarnya, seperti, makanan, pakaian, air, obat-obatan, pendidikan, rekreasi, dan hal-hal kecil lainnya.Pengupayaan pemisahan tawanan dewasa dan anak-anak. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk melindungi anak-anak wanita dan wanita dewasa dari kekerasan seksual. Mempercepat akses dan proses perbantuan dan yudisial untuk tawanan anak-anak. sehingga ICRC menjalin kerjasama dengan pemerintah yang berkuasa untuk mengubah kebijakan terkait tawanan anak-anak.
6.            Permasalahan hak-hak kehidupan
Menekankan pelarangan terhadap kejahatan seksual dan menyarankan pemikirannya ke dalam peraturan internal. Berkampanye, penyebaran pamflet, penyuluhan untuk memberi penjelasan mengenai kekerasan seksual dan akibatnya terhadap kondisi fisik dan mental dari korban. Menyediakan perawatan dan pelayanan medis baik yang bersifat obat-obatan, peralatan medis, tenaga medis, perbaikan, dan lain sebagainya. Mengadakan pelatihan psikososial terhadap relawan pada tingkat komunitas untuk memberikan saran-saran kepada korban dan menjadi perantara antara korban dan keluarganya.Menyediakan data mengenai kasus kekerasan seksual dan melaporkannya kepada pihak yang berkuasa baik di tingkat nasional maupun internasional dan mendorong otoritas untuk mengambil tindakan yang sesuai.
7.            Penanganan kesehatan fisik dan mental anak-anak yang berada dalam perang.
Memberikan prioritas kepada ibu dan anak-anak. mendukung peningkatan pelayanan kesehatan di tingkat utama terhadap ibu dan anak dengan menyediakan tenaga medis, peralatan medis, dan obat-obatan untuk perawatan kandungan, penyakit anak dan permasalahan setelah pembedahan luka tertentu.Mengorganisasikan bantuan perlengkapan bayi yang bersih dan sehat serta sesuai untuk perawatan bayi. Menyediakan layanan kesehatan wanita yang terpisah dengan yang diperuntukkan bagi pria terhadap masyarakat tertentu yang memiliki nilai budaya yang menganggap tabu hubungan laki-laki dan wanita di luar pernikahan. Bahkan, jika diperlukan ICRC siap untuk menggunakan tenaga medis wanita untuk menangani korban wanita. Mendukung struktur lokal yang dijalankan oleh lembaga nasional dan dalam situasi yang darurat ICRC turun langsung.
Melaksanakan program imunisasi. Menyediakan akses air bersih dan kesehatan lingkungan untuk kesehatan yang baik. ICRC dengan implementasi berupa pebentukan sistem pengairan dan pembangunan kamar mandi umum, Memberikan pengobatan terhadap anak-anak bergizi buruk dan membantu ibu-ibunya dalam melakukan perawatan. Memberikan kontribusi terhadap program-program yang dijalankan oleh lembaga nasional terkait dengan penyediaan dukungan psikososial untuk anak-anak korban kekerasan bersenjata. Menyediakan dukungan dan kasih sayang terhadap orang-orang yang kehilangan keluarganya sebagai bentuk bantuan psikososial dan kepedulian.


BAB X
MEKANISME PENEGAKAN HHI

A.           Mekanisme menurut Konvensi Jenewa
Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 1 Konvensi Jenewa memberikan kewajiban bagi pihak peserta agung untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap Konvensi. Menghormati berarti negara bersangkutan harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi. Sedangkan menjamin penghormatan berarti negara harus melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan bila terjadi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi, termasuk menjatuhkan sanksi bila diperlukan (seperti Pasal 49 ayat (1)).
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka negara yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa diwajibkan untuk menerbitkan suatu Undang-Undang nasional yang memberikan sanksi pidana efekti kepada setiap orang yang melakukan atau memerintah untuk melakukan pelanggaran berat terhadap Konvensi.
Mekanisme yang terdapat pada ketentuan ini adalah suatu mekanisme dimana penegakan HHI yang dilaksanakan berdasarkan suatu proses peradilan nasional. Artinya, bila terjadi kasus pelanggaran hukum humaniter maka si pelaku akan dituntut dan dihukum berdasarkan peraturan perundang-undangan nasional dan dengan menggunakan mekanisme peradilan nasional yang bersangkutan.
Sejak awal ketika terjadi pelanggaran hukum humaniter atau ketika ada indikasi mengambil tindakan yang diperlukan. Contoh, bila seorang prajurit melakukan pelangaran HHI, maka Komandan atau atasannya harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk menghentikan pelanggaran tersebut dan bila perlu menjatukan hukuman kepada si pelaku.
Dalam ketentuan pasal 87 dinyatakan bahwa adanya komandan untuk mencegah dan kalau perlu menghukum serta melaporkan kepada pihak yang berwenang mengenai pelanggaran terhadap konvensi dan protokol. Kemudia pasal ayat 3 bahkan ditekankan mengenai perlunya memberikan sanksi disiplin atau hukuman pidana kepada mereka yang melanggar Konvensi dan Protokol.
Di lingkungan TNI bila ada seorang prajurit yang melakukan hukum humaniter maka komandan atau atasan yang berwenang untuk menghukum, berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan sebagaimana yang dimaksud. Begitu seterusnya, sampai kepada tingkat yang paling tinggi. Jika diperlukan, disamping menggunakan sistem disiplin internal komando, maka institusi pengadilan (militer dan atau sipil) juga dapat menjalankan fungsinya bagi tegaknya penghormatan terhadap ketentuan-ketentuan hukum humaniter. Apabila mekanisme internal atau nasional ini tidak berfungsi atau tidak difungsikan dengan baik, maka tahapan berikutnya kasus yang bersangkutan dapat diambil alih oleh suatu mekanisme internasional (baik melalui pengadilan yang bersifat ad hoc atau yang permanen).
Salah satu perkembangan baru yang terdapat dalam Protokol Tambahan 1977 antara lain mengenai mekanisme. Mekanisme yang dimaksud, yang dilakukan melalui Komisi Internasional Pencari Fakta. Komisi pencari fakta merupakan penyempurnaan atas ketentuan yang terdapat dalam Pasal 149 Konvensi IV yang mengatur mengenai prosedur penyelidikan terhadap pelanggaran yang terjadi terhadap hukum humaniter atau terhadap ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa.
B.            Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua mahkamah yang mengadili penjahat perang dunia II, yaitu Mahkamah Tokyo dan Mahkamah Nuremberg. Mahkamah Tokyo dibentuk untuk mengadili para penjahat Jepang, sedangkan Mahkamah Nuremberg dibentuk untuk mengadili para penjahat perang Nazi, Jerman.
Mahkamah Nuremberg dibentuk berdasarkan Piagam Nuremberg atau biasa juga disebut dengan nama Piagam London. Sejak terbentuknya Mahkamah ini telah menjatuhkan hukumannya kepada dua puluh empat tersangka. Ada tiga kategori pelanggaran atau kejahatan yang menjadi yurisdiksi dari Mahkamah Nuremberg yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity).
Pada Mahkamah Nuremberg ada empat orang Hakim ditambah dengan empat hakim pengganti. Hakim-hakim tersebut berasal dari negara-negara yang menyusun Statuta Mahkamah yaitu:
1.            Amerika Serikat : Francis Biddle, John Parker (pengganti)
2.            Inggris : Lord Justice Geoffrey Lawrence, Justice Norman Birkitt (pengganti)
3.            Perancis : Prof. Donnedieu de Vabres, Judge R Falco
4.            Uni Sovyet : I.T. Niktchenko, Maj. Gen, A.F. Volchkof, Lt.Col (pengganti)
Adapun mengenai penuntut atau prosecutor di Mahkamah Nuremberg ada empat chief prosecutor yang masing-masing berasal dari keempat negara tersebut di atas.
Mahkamah penjahat perang Tokyo dibentuk pada tanggal 19 Januari 1946. Nama resmi dari Mahkamah ini adalah International Military Tribunal for The Far East. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang dibentuk Treaty yang disusun oleh beberapa negara. Tokyo Tribunal dibentuk berdasarkan suatu pernyataan atau proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh, Jenderal Douglas Mac Arthur. Kemudian oleh Amerika Serikat disusun Piagam untuk Mahkamah ini yang pada dasarnya mengacu kepada Piagam Mahkamah Nuremberg.
Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo juga mempunyai jurusdiksi terhadap tiga kejahatan, yaitu: kejahatan terhadap perdamaian (crimes againts peace), kejahatan perang (war crimes), dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity). Di dalam Piagam Mahkamah Tokyo dikatakan bahwa alasan tindakan negara (Act of State) dan perintah atasan tidak dapat dijadikan dasar untuk membebaskan tanggungjawab si pelaku, tetapi hal tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengurangi hukumannya. Hal yang sama juga diterapkan jika si pelaku melakukan tindakan tersebut dalam kapasitanya sebagai pejabat resmi.
Pada Mahkamah Tokyo ini ada seorang chief prosecutor yang berasal dari Amerika Serikat dan dibantu oleh sepuluh orang associate prosecutors. Setelah perang dunia II selesai, kemudian telah dibentuk dua Mahkamah ad hoc lainnya yaitu Mahkamah yang mengadili penjahat perang dieks- Yugoslavia serta di Rwanda. Perlu diketahui bahwa pembentukan Mahkamah-mahkamah semacam itu adalah bersifat ad hoc atau sementara, yang b erarti bahwa Mahkamah tersebut dibentuk untuk jangka waktu dan daerah tertentu saja.
Mahkamah eks Yugoslavia dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 808 (22 Fabruari 1993) dan nomor 827 (25 Mei 1993). Perkembangan yang terakhir kemudian Statuta Mahkamah eks Yugoslavia yang dibentuk berdasarkan Resolusi DK-PBB No 827 tahun 1993 diamandemen oleh Resolusi DK PBB nomor 1166 tahun 1998.
Pasal 1 sampai dengan pasal 5 dari Statuta Mahkamah eks yugoslavia mengatur mengenai kompetensi atau yurisdiksi mahkamah yaitu:
1.            Pelanggaran serius terhadap hukum humaniter
2.            Pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam konvensi-konvensi jenewa 1949
3.            Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang
4.            Genocide
5.            Kejahatan terhadap kemanusiaan
Penjelasan dari pelanggaran atau kejahatan yang dimaksud di atas terdapat pada Pasal-pasal yang mengaturnya. Misalnya, tentang pelanggaran berat. Statuta ini mengambil rumusan sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa 1949. Begitu juga misalnya apa yang dimaksud dengan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity) diuraikan pada ketentuan Pasal 5 Statuta. Mahkamah eks Yugoslavia terdiri dari dua kamar (chambers) yaitu Trial Chambers dan Appeals Chambers; Jaksa Penuntut Umum (Prosecutor) dan Panitera (Registry). Hakim pada Trial Chamber berjumlah 3 orang sedangkan pada Appeals Chamber hakimnya berjumlah 5 orang.
Mahkamah ad hoc lainnya yang telah dibentuk adalah mahkamah peradilan kejahatan perang di Rwanda. Nama lengkap dari Mahkamah ini adalah International Criminal tribunal for Rwanda (ICTR). Mahkamah ini dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 955 tanggal 8 November 1994. Tujuan dari dibentuknya Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang melakukan genocide di Rwanda dan mengadili warga negara Rwanda yang melakukan genocide dan serupa lainnya di wilayah negara tetangga dan di Rwanda yang dilakukan antara 1 Januari 1994 sampai dengan tanggal 31 Desember 1994.
Kompetensi Mahkamah Rwanda ditujukan untuk kejahatan-kejahatan sebagai berikut:
1.                Genocide
2.                Crimes Againts Humanity
3.                Pelanggaran terhadap pasal 3 ketentuan yang bersamaan dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II 1977
Baik Mahkamah eks Yugoslavia maupun Mahkamah Rwanda menetapkan individual criminal responsibility terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan atau pelanggaran sebagaimana yang dimaksud dalam Statuta. Adapun untuk hokum acaranya maka ICTY menggunakan sistem common law, sedangkan ICTR menggunakan campuran antara sistem civil law dan common law.

C.           Mahkamah Pidana Internasional
Pada bulan Juli 1998 masyarakat internasional mencatat suatu perkembangan penting, yakni ketika disepakatinya. Statuta mahkamah pidana internasional (International Criminal Court selanjutnya ICC). Berbeda dengan Mahkamah ad hoc yang telah dibentuk sebelumnya (misalnya Mahkamah Nuremberg, Tokyo, ICTY, dan ICTR), maka ICC ini merupakan suatu mahkamah yang bersifat permanen.
Mahkamah ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang melakukan kejahatan-kejahatan yang oleh masyarakat internasional dikategorikan sebagai kejahatan serius sebagaimana ditetapkan dalam Statuta ICC, Mahkamah ini juga dibentuk sebagai pelengkap (complementarity) dari mahkamah pidana nasional. Mengenai complementarity tersebut merupakan hal yang penting. Maksudnya adalah bahwa ICC baru menjalankan fungsinya apabila mahkamah nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Sehubungan dengan hal ini dalam Statuta dikatakan bahwa ICC akan bekerja bila mahkamah nasional tidak mau (unwilling) dan tidak mampu (unable) untuk mengadili pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud. Dengan cara ini berarti bila terjadi suatu kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi ICC, maka si pelaku harus diadili dahulu oleh mahkamah nasionalnya. Bila mahkamah nasional tidak mau dan atau tidak mampu mengadili si pelaku, maka barulah ICC akan menjalankan fungsinya untuk mengadili si pelaku kejahatan yang bersangkutan.
Yurisdiksi ICC mencakup empat kejahatan yaitu kejahatan yang dikategorikan sebgai the most serious crimes of concern to the international, yaitu:
1.            Genocide
2.            Crimes againts humanity
3.            War crimes
4.            Crime of aggression
Tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai genocide dijelaskan pada pasal 6 Statuta ICC, yaitu tindakan yang ditujukan untuk memusnahkan seluruhnya atau sebagian dari suatu bangsa, etnis, kelompok rasial atau agama tertentu. Yang termasuk dalam kategori genocide menurut ketentuan Pasal ini adalah:
1.            Killing members of the group
2.            Causing serious bodily or mental harm to members of the group
3.            Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about it’s physical destruction in whole or in part
4.            Imposing measures intended to prevent births within the group
5.            Forcibly transferring children of the group to another group
Kejahatan-kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai crimes againts humanity dirumuskan secara lengkap dan rinci pada Pasal 7 Statuta ICC. Selanjutnya pasal 8 Statuta ICC menjelaskan apa yang dimaksud dengan war crimes, yaitu mencakup pelanggaran berat sebagaimana yang dimaksud dalam Konvensi Jenewa dan pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan perang yang diberlakukan pada sengketa bersenjata yang bersifat internasional dan non internasional.
Daftar dari kejahatan-kejahatan yang dimaksud secara lengkap diuraikan pada ketentuan Pasal 8 Statuta ICC. Mengenai crime of aggression belum dirumuskan secara lengkap di dalam Statuta. Hanya pada pasal 5 ayat (2) dikatakan bahwa pelaksanaan yurisdiksi Mahkamah terhadap kejahatan agresi ini akan dilaksanakan setelah diterimanya suatu ketentuan atau pasal yang menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan tersebut serta syarat-syarat apa yang diperlukan agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya atas kejahatan agresi yang dimaksud.
Agar Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya maka negara yang meratifikasi Statuta ICC menerima yurisdiksi Mahkamah. Ini berarti tindakan meratifikasi Statuta ICC oleh suatu negara belum berarti bahwa Mahkamah dapat melaksanakan yurisdiksinya di negara tersebut. Untuk itu masih diperlukan suatu tindakan dari negara yang bersangkutan yang menyatakan bahwa negara tersebut menerima yurisdiksi Mahkamah. Hal ini antara lain diatur dalam Pasal 12 Statuta ICC. Beberapa asas pokok hukum pidana diberlakukan menurut Statuta ini, misalnya tentang ne bis in idem, nullum crimen sine lege, bulla poena sine lege, dan non retroactive.
Seperti halnya dengan mahkamah yang lainnya, pada Statuta ICC ini juga ditegaskan tentang tanggungjawab pidana individual (individual criminal responsibility). Di samping itu pada Pasal 28 diatur mengenai tanggung jawab Komandan dan atasan terhadap tindakan yang dilakukan oleh anak buah atau bawahannya.


BAB XI
PERKEMBANGAN-PERKEMBANGAN BARU HHI

A.           Hukum Perang Di Laut (San Remo Manual)
Hukum perang di laut diatur dalam Konvensi ke-III Den Haag tahun 1899. Konvensi ini merupakan hasil dari Konferensi Perdamaian ke-I (The First Hague Peace Conference), yang diadakan di Den Haag, yang lengkapnya berjudul “Convention for the Adaptation to Maritime Warfare of the Principles of the Geneva Convention of 22August 1864” (Konvensi tentang Adaptasi Prinsip-prinsip Konvensi Jenewa tanggal 22 Agustus 1864 bagi Peperangan Di Laut) Selanjutnya dalam Konferensi Perdamaian ke-II (The Second Hague Peace Conference), di Den Haag tahun 1907, maka aturan-aturan tentang hukum perang di laut berkembang menjadi lebih lengkap. Hasil-hasil dari Konferensi Perdamaian II ini menghasilkan sejumlah konvensi yang ‘bersinggungan’ dengan hukum perang di laut, yaitu Konvensi Den Haag VI, VII, VIII, IX, X, XI, dan Konvensi ke-XIII.
Perkembangan paling mutakhir tentang hukum perang di laut ini akhirnya dicapai pada
bulan Juni tahun 1994 yaitu dengan terbentuknya “Pedoman San Remo tentang Hukum Internasional yang dapat diterapkan pada Konflik Bersenjata di Laut” (San Remo Manual on International Law applicable to Armed Conflicts at Sea). Terbentuknya Pedoman ini melalui perjalanan yang panjang sejak tahun 1987. Pedoman ini dipersiapkan selama periode 1987-1994 oleh suatu kelompok para ahli hukum dan kelautan yang berpartisipasi dalam kapasitas pribadi mereka. Pertemuan-pertemuan yang diadakan disebut dengan “Round Tables”. Round Table pada tahun 1987 diselenggarakan oleh Institute International of Humanitarian Law yang bekerja sama dengan Institute of International Law dari Universitas Pisa (Italia) dan Universitas Syracuse (Amerika Serikat). Pertemuan selanjutnya diadakan di Madrid (1988) yang menghasilkan suatu Rencana Aksi untuk merancang "pernyataan kembali yang mutakhir" (contemporary restatement) tentang hukum perang di laut.
Rencana Aksi Madrid ini kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Bochum (1989), Toulon (1990), Bergen (1991), Ottawa (1992), Jenewa (1993) dan akhirnya di Livorno (1994). Adapun tujuan dibentuknya Pedoman ini adalah untuk membentuk pernyataan kembali yang mutakhir (contemporary restatement) mengenai hukum internasional yang diterapkan pada sengketa bersenjata di laut. Pedoman ini tidak saja berisi tentang perkembangan yang progresif dalam hukum perang di laut, namun banyak pula ketentuannya yang masih diakui dan diterapkan.
Di samping terbentuknya Pedoman San Remo tersebut, dihasilkan pula suatu penjelasan (explanation) yang dipersiapkan oleh suatu kelompok inti (core group) yang anggotanya juga telah bertindak sebagai pelapor (rapporteurs). Terbentuknya Explanation ini tidak luput dari peran ICRC yang telah menyelenggarakan tiga pertemuan para rapporteurs, yang hasilnya menjadi dasar terbentuknya Explanation tersebut. Oleh karena itu Pedoman San Remo harus dibaca pula bersama-sama dengan Explanation, untuk mendapatkan pemahaman yang sepenuhnya.
Pada saat ini San Remo Manual telah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dan telah disosialisasikan dan dilatihkan secara luas dikalangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL). Tidak hanya itu, bahkan San Remo Manual juga telah dijadikan salah satu dokumen yang ada pada setiap kapal perang TNI AL.
B.            Ketentuan-Ketentuan Tentang Persenjataan
1.            Konvensi Senjata Konvensional Tertentu (CCW)
Penggunaan bom napalm mulai didiskusikan pada Konperensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia di Teheran (1968). Usulan Konperensi agar diadakan suatu penelitian, didukung oleh Komite Palang Merah Internasional. Laporan tentang napalm, senjata penghancur lainnya dan semua aspek yang mungkin timbul akibat penggunaannya, disampaikan oleh Majelis Umum 1972, yang menyimpulkan bahwa penyebaran kebakaran melalui senjata ini berdampak kepada seluruh sasaran baik militer maupun sipil, bahwa orang yang terluka benar-benar kesakitan, dan bahwa tindakan pengobatan sulit didapat di sebagian besar Negara.
Konvensi PBB tentang Larangan Atau Pembatasan Penggunaan Senjata Konvensional Tertentu yang dapat mengakibatkan Luka Berat atau Berdampak secara Menyeluruh, merupakan hal yang dituangkan dalam Konperensi yang diselenggarakan di Jenewa pada 1979 dan 1980. Penyelenggaraan Konperensi ini telah direkomendasikan oleh Konperensi diplomatik, yang pada 1977 memberi persetujuan atas Protokol Tambahan dari Konvensi Jenewa 1949.
Hubungan yang dekat antara konvensi senjata konvensional dan aturan Humaniter Internasional lainnya, termasuk protokol 1977, diakui oleh Negara Pihak dengan mengingat ‘prinsip umum perlindungan bagi penduduk sipil dari akibat perang,‘ seperti juga prinsip untuk menghindari penderitaan yang tidak semestinya dan perlindungan terhadap lingkungan hidup.
Tiga perangkat Protokol menyertai Konvensi ini. Protokol pertama melarang penggunaan senjata yang mengakibatkan luka yang tidak dapat dideteksi dengan sinar X. Protokol kedua bertujuan untuk melarang atau membatasi penggunaan ranjau darat dan peralatannya yang diaktifkan dengan kontrol jarak jauh atau kontrol waktu. Protokol ketiga membatasi penggunaan senjata yang dapat membakar.
PBB telah menetapkan peraturan bagi kerja sama Internasional untuk pencegahan dan hukuman tindak kejahatan terhadap perdamaian, tindak kejahatan dalam perang dan tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Komitmen ini telah menambah dimensi baru dan penting terhadap hukum Humaniter Internasional.
Konvensi pencegahan dan hukuman bagi tindak kejahatan genosida yang disetujui oleh Majelis Umum pada 1948 merupakan salah satu langkah awal dalam bidang ini. Konvensi sepakat bahwa genosida, baik yang dilakukan pada saat damai maupun perang, merupakan tindak kejahatan berdasarkan hukum Internasional yang mesti dicegah dan dihukum Negara Pihak. Tugas utama lainnya adalah untuk merumuskan prinsip-prinsip hukum Internasional yang diakui dalam Piagam Pengadilan Nuremberg, yang mengadili penjahat perang setelah Perang Dunia II. Rumusan ini disiapkan komisi hukum Internasional berdasarkan petunjuk dari Majelis Umum pada 1950.
Komisi juga membuat rancangan kode pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, yang berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana dari individu, sebagaimana diputuskan dalam pandangan Pengadilan Nuremberg bahwa “tindak kejahatan terhadap hukum Internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh suatu entitas abstrak, dan hanya dengan menjatuhkan hukuman kepada individu yang melakukan tindak kejahatan tersebut, maka ketentuan Hukum Internasional baru dapat ditegakkan.
2.            Ranjau Anti Personil
Ranjau anti-personil,  berarti suatu ranjau yang didisain untuk diledakan dengan kehadiran, dekatnya atau kontak sesorang sehingga akan menjadikan tidak mampu, mencederai atau membunuh satu atau lebih orang, yang diperlengkapi dengan alat-alat anti- penanganan, yang tidak dianggap ranjau anti-personil sebagai suatu hasil diperlengkapi demikikan. "Ranjau" berarti suatu amunisi yang didisain untuk ditempatkan dibawah, pada atau dekat darat atau area permukaan lainnya dan untuk diledakan dengan kehadiran, kedekatan atau kontak seseorang atau suatu kendaraan.
Ditetapkan untuk mengakhiri penderitaan dan korban-korban kecelakaan akibat ranjau anti-personil, yang membunuh dan mencederai ratusan orang tiap minggunya, yang kebanyakan adalah penduduk tak berdosa dan tanpa pertahanan serta khususnya anak-anak, merusak pembangunan dan rekonstruksi ekonomi, menghalangi pengembalian pengungsi luar negeri maupun dalam negeri, dan mengakibatkan penderitaan-penderitaan lain bertahun setelah penempatannya,
Mempercayai bahwa diperlukan usaha keras mereka dalam memberikan konstribusi secara efisien dan terkoordinasi, untuk menghadapi tantangan pengangkatan ranjau-ranjau anti personil yang ditempatkan diseluruh dunia dan untuk menjamin pemusnahannya. Berharap untuk sepenuhnya berusaha dalam memberikan bantuan perawatan dan rehabilitasi, termasuk re-integrasi sosial dan ekonomi bagi korban-korban ranjau. Menyadari bahwa suatu tindakan penghentian total terhadap ranjau-ranjau darat akan merupakan suatu tindakan membangun kepercayaan yang penting. Menyambut pengadopsian Protokol tentang Pelarangan atau Pembatasan Penggunaan Ranjau, Perangkap Peledak dan Peralatan Lain, sebagaimana diamandemenkan pada tanggal 3 May 1996, yang dilampirkan pada Konvensi tentang Pelarangan dan Pembatasan Penggunaan Senjata Konvesional Tertentu Yang Dianggap Dapat Melukai Secara Berlebihan atau Memberikan Akibat yang Membabi-buta, dan menghimbau ratifikasi awal atas Protokol ini yang oleh Negara-negara juga belum diratifikasi, Menyambut juga Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 51/45 S 10 Desember 1996 yang meminta Negara-Negara untuk mengupayakan secara giat suatu pernjanjian internasional yang mengikat secara hukum dalam melarang penggunaan, penimbunan, produksi dan pengiriman ranjau-ranjau anti personal.
Menekankan peranan kesadaran publik dalam meneruskan prinsip-prinsip kemanusiaan sebagaimana dibuktikan dalam himbauan tentang pelarangan total atas ranjau-ranjau anti-personil dan menyadari usaha-usaha mengakhirinya yang dilakukan oleh Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional, Kampanye Internasional untuk Melarang Ranjau dan berbagai organisasi non-pemerintah lainnya diseluruh dunia. Menitik-beratkan keingingan menarik perlekatan Negara-Negara pada Konvensi ini, dan menetapkan untuk bekerja kuat menuju promosi universalisasinya pada semua forum yang relevan, termasuk, Perserikatan Bangsa-Bangsa, Konfrensi Perlucutan Senjata, organisasi-organisasi regional, dan perkumpulan-perkumpulan, dan konfrensi-konfrensi peninjauan Konvensi tentang Pelarangan dan Pembatasan Penggunaan Senjata-Senjata Konvensional Tertentu yang dianggap dapat melukai secara berlebihan atau dapat menyebabkan akibat yang membabi-buta.
Mendasarkan pada prinsip hukum humaniter internasional bahwa hak para pihak suatu sengketa bersenjata untuk memilih alat dan cara berperang adalah tidak tak terbatas, pada prinsip yang di saat sengketa bersenjata melarang penggunaan senjata-senjata, proyektil-proyektil dan bahan-bahan serta metode-metode perang yang bersifat menyebabkan cedera yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu serta pada prinsip bahwa suatu pembedaan harus dibuat antara penduduk sipil dan kombatan.
3.            Senjata Kimia Dan Biologi
Penggunaan senjata kimia bukan sesuatu yang baru. Di zaman antik pun, orang Persia membakar bahan aspal dan belerang untuk meracuni legiun Romawi. Pada perang Dunia I untuk pertama kalinya digunakan gas klor dalam jumlah yang besar. Ini merupakan awal dari perang modern dengan senjata pemusnah massal. Saat itu, sekitar 124.000 ton bahan kimia digunakan untuk perang, dan menewaskan sekitar 90.000 orang. Sekitar satu juta orang mengalami gangguan kesehatan, di antaranya sangat berat. Pakar kimia Jerman, Fritz Haber yang dianugerahi hadiah Nobel Kimia tahun 1918, dianggap sebagai "bapak" senjata kimia.
Tahun 1925 Protokol Jenewa sudah menuntut larangan penggunaan senjata kimia. Meskipun demikian, pada Perang Dunia II, perang Vietnam, dan perang Teluk Golf I digunakan bahan kimia. Ribuan jiwa lenyap dalam waktu singkat. Sekitar 5000 warga Kurdi, terutama perempuan dan anak, tewas pada 16 Maret 1988 dalam hanya satu serangan gas beracun di Halabja, Akhirnya, April 1997 diberlakukan perjanjian senjata kimia. 188 negara menandatangani kesepakatan ini. Namun Suriah, Angola, Burma, Mesir, Israel, Korea Utara, Somalia dan Sudan Selatan tidak menandatanganinya. Menurut perjanjian itu, semua yang disebut senjata C harus dimusnahkan. Organisasi bagi larangan senjata kimia, OPCW bermarkas di Den Haag dengan sekitar 500 petugas.
Senjata kimia terdiri dari bahan kimia untuk perang dan penyandangnya, misalnya ranjau, granat tangan, panser penyemprot atau hulu ledak rudal. Bahan ini membuat korbannya kehilangan nafas atau lumpuh. Awalnya terdiri dari gas beracun, misalnya klor atau asam biru, namun mudah menguap. Industri kemudian mulai memproduksi racun dalam bentuk cairan yang tidak lagi hanya masuk lewat paru-paru tetapi juga melalui kontak dengan kulit dan menyebar  keseluruh organ tubuh serta menimbulkan akibat yang sangat berat. Bahan yang ditakuti dalam kelompok ini adalah yang disebut gas sulphur mustard . Tahun 1822 seorang ahli kimia Belgia secara kebetulan berhasil membuat cairan berbau busuk yang pada PD I melukai atau membunuh ribuan orang.
Gas Sarin yang diperkirakan dipakai di Suriah, termasuk gas syaraf. Dikembangkan pada PD II dan dapat membunuh hanya dengan porsi kecil. Sarin memasuki tubuh tidak hanya melalui jalan pernafasan tetapi juga melalui kulit. Gunnar Jeremias, pemimpin penelitian pengawasan senjata biologi di Pusat bagi Ilmu Pengetahuan Alam dan Perdamaian, Universitas Hamburg mengatakan, orang dapat melindungi diri dari Sarin hanya bila mengenakan pakaian yang menutup keseluruhan tubuh. Sarin membuat orang tidak bisa lagi bernafas.
Tidak semua korban Sarin, tewas. Namun membawa dampak kesehatan yang sangat parah, misalnya buta, luka bakar pada kulit atau bayi cacat. Sejumlah senjata kimiawi sangat merusak lingkungan yang dampaknya tak terhitung jumlahnya bagi manusia. Namun, hingga kini senjata kimia masih mudah diproduksi. Yang lebih rumit adalah mendapatkan bahannya. Karena itu, larangan senjata kimia juga menyangkut larangan produksi atau perdagangan bahan yang dapat digunakan bagi senjata kimia. Tapi pakar memperkirakan, bahan-bahan tersebut bisa diperoleh di pasar gelap. Selain itu bahan kimia ini sangat tahan lama
Senjata biologis juga diguanakan dalam perang dan tentunya memiliki efek yang berbeda kepada korban. Memang tidak langsung membunuh tetapi korban akan menderita dan bentuknya seperti wabah. Ada banyak cara untuk menerapkan serangan biologis , tetapi ini adalah beberapa senjata yang paling ditakuti , Berikut ialah 6 Senjata Biologis yang Mematikan dan Urutannya dari yang paling tidak berbahaya sampai yang paling berbahaya :
a.             Virus Ebola, Virus membutuhkan waktu sekitar seminggu untuk membunuh korban , dan menyebar melalui kontak langsung .
b.             Botulinum toxin, bakteri Clostridium botulinum menghasilkan toksin botulinum, dan racun ini sangat mematikan bagi orang-orang dalam jumlah yang sangat kecil (hanya seperrmilyar gram). Toksin menghambat pelepasan bahan kimia dalam sel-sel saraf yang menyebabkan kontraksi otot, sehingga menyebabkan kelumpuhan.
c.             Tularemia, Bakteri ini menyebabkan tularemia. Bentuk yang paling mematikan, yang menyebabkan demam atau penyakit pernapasan, membunuh 5 sampai 7 persen orang yang terkena, tetapi vaksin merupakan pencegahan yang efektif, dan antibiotik dapat menghapus infeksi ini.
d.             Wabah pneumonia, Wabah disebabkan oleh bakteri. Dalam wabah pneumonia, bakteri memasuki paru-paru , dan seseorang akan meninggal dalam tiga sampai empat hari jika tidak diobati . Wabah pneumonia juga menular , menyebar melalui batuk dan bersin. Pandemi terbaru, yang berlangsung sampai tahun 1922, menewaskan 10 juta orang. Akhirnya, Dinas kesehatan masyarakat bertindak dengan mangarahkan inang bakteri,  hewan pengerat dan kutu, dari kota, dan antibiotik menjadi tersedia. Bahkan hari ini, antibiotik harus cepat diberikan untuk mencegah kematian akibat wabah pneumonia. Wabah adalah senjata. Jepang mungkin telah menyebarkan kutu yang terinfeksi di Cina selama Perang Dunia II, Amerika Serikat dan Uni Soviet menemukan cara untuk membuat aerosol bakteri selama Perang Dingin.
e.             Anthrax, Sebuah bakteri penyebab anthrax. Memiliki bentuk spora yang sangat tahan lama. Jika spora atau bakteri masuk ke dalam paru-paru Anda , mereka mereproduksi dan menciptakan racun yang dapat berakibat fatal.
f.              Cacar, Cacar adalah virus. dan merupakan pembunuh utama sampai bisa dikendalikan dengan vaksinasi pada abad ke-20. Telah diberantas di seluruh dunia , tapi tetap ada rasa takut akan adanya teroris (para penjajah) bisa melepaskan strain/jenis baru. Masalah utama pada cacar, seperti anthrax , yaitu bahwa hal itu sangat menular. Menyebar dan membunuh sangat cepat . Sampai dengan 40 persen orang yang terkena virus mati dari itu dalam waktu sekitar dua minggu , dan tidak ada pengobatan yang baik untuk penyakit ini . Vaksinasi adalah perlindungan utama, namun mereka harus diberikan sebelum infeksi agar vaksin dapat bekerja.
4.            Senjata Pemusnah Masal-Nuklir
Senjata nuklir adalah senjata yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat - sebuah bom nuklir mampu memusnahkan sebuah kota. Senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali dalam pertempuran - semasa Perang Dunia II oleh Amerika Serikat terhadap kota-kota Jepang, Hiroshima dan Nagasaki.Pada masa itu daya ledak bom nuklir yg dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki sebesar 20 kilo(ribuan) ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini berdaya ledak lebih dari 70 mega(jutaan) ton TNT
Negara pemilik senjata nuklir yang dikonfirmasi adalah Amerika Serikat, Rusia, Britania Raya (Inggris), Perancis, Republik Rakyat Tiongkok, India, Korea Utara dan Pakistan. Selain itu, negara Israel dipercayai mempunyai senjata nuklir, walaupun tidak diuji dan Israel enggan mengkonfirmasi apakah memiliki senjata nuklir ataupun tidak. Lihat daftar negara dengan senjata nuklir lebih lanjut. Senjata nuklir kini dapat dilancarkan melalui berbagai cara, seperti melalui pesawat pengebom, peluru kendali, peluru kendali balistik, dan Peluru kendali balistik jarak benua.
Senjata nuklir mempunyai dua tipe dasar. Tipe pertama menghasilkan energi ledakannya hanya dari proses reaksi fisi. Senjata tipe ini secara umum dinamai bom atom (atomic bomb, A-bombs). Energinya hanya diproduksi dari inti atom.
Pada senjata tipe fisi, masa fissile material (uranium yang diperkaya atau plutonium) dirancang mencapai supercritical mass - jumlah massa yang diperlukan untuk membentuk reaksi rantai- dengan menabrakkan sebutir bahan sub-critical terhadap butiran lainnya (the "gun" method), atau dengan memampatkan bulatan bahan sub-critical menggunakan bahan peledak kimia sehingga mencapai tingkat kepadatan beberapa kali lipat dari nilai semula. (the "implosion" method). Metoda yang kedua dianggap lebih canggih dibandingkan yang pertama. Dan juga penggunaan plutonium sebagai bahan fisil hanya bisa di metoda kedua.
Tantangan utama di semua desain senjata nuklir adalah untuk memastikan sebanyak mungkin bahan bakar fisi terkonsumsi sebelum senjata itu hancur. Jumlah energi yang dilepaskan oleh pembelahan bom dapat berkisar dari sekitar satu ton TNT ke sekitar 500.000 ton (500 kilotons) dari TNT.
Tipe kedua memproduksi sebagian besar energinya melalui reaksi fusi nuklir. Senjata jenis ini disebut senjata termonuklir atau bom hidrogen (disingkat sebagai bom-H), karena tipe ini didasari proses fusi nuklir yang menggabungkan isotop-isotop hidrogen (deuterium dan tritium). Meski, semua senjata tipe ini mendapatkan kebanyakan energinya dari proses fisi (termasuk fisi yang dihasilkan karena induksi neutron dari hasil reaksi fusi.) Tidak seperti tipe senjata fisi, senjata fusi tidak memiliki batasan besarnya energy yang dapat dihasilkan dari sebuah sejata termonuklir.
Dasar kerja desain Tellr-Ulam pada bomb hidrogen: sebuah bomb fisi menghasilkan radiasi yang kemudian mengkompresi dan memanasi butiran bahan fusi pada bagian lain. Senjata termonuklir bisa berfungsi dengan melalui sebuah bomb fisi yang kemudian memampatkan dan memanasi bahan fisi. Pada desain Teller-Ulam, yang mencakup semua senjata termonuklir multi megaton, metoda ini dicapai dengan meletakkan sebuah bomb fisi dan bahan bakar fusi (deuterium atau lithium deuteride) pada jarak berdekatan di dalam sebuah wadah khusus yang dapat memantulkan radiasi. Setelah bomb fisi didetonasi, pancaran sinar gamma and sinar X yang dihasilkan memampatkan bahan fusi, yang kemudian memanasinya ke suhu termonuklir. Reaksi fusi yang dihasilkan, selanjutnya memproduksi neutron berkecepatan tinggi yang sangat banyak, yang kemudian menimbulkan pembelahan nuklir pada bahan yang biasanya tidak rawan pembelahan, sebagai contoh depleted uranium. Setiap komponen pada design ini disebut "stage" (atau tahap). Tahap pertama pembelahan atom bom adalah primer dan fusi wadah kapsul adalah tahap sekunder. Di dalam bom-bom hidrogen besar, kira-kira separuh dari 'yield' dan sebagian besar nuklir fallout, berasal pada tahapan fisi depleted uranium. Dengan merangkai beberapa tahap-tahap yang berisi bahan bakar fusi yang lebih besar dari tahap sebelumnya, senjata termonuklir bisa mencapai "yield" tak terbatas. Senjata terbesar yang pernah diledakan (the Tsar Bomba dari USSR) merilis energi setara lebih dari 50 juta ton (50 megaton) TNT. Hampir semua senjata termonuklir adalah lebih kecil dibandingkan senjata tersebut, terutama karena kendala praktis seperti perlunya ukuran sekecil ruang dan batasan berat yang bisa di dapatkan pada ujung kepala roket dan misil.
Ada juga tipe senjata nuklir lain, sebagai contoh boosted fission weapon, yang merupakan senjata fisi yang memperbesar 'yield'-nya dengan sedikit menggunakan reaksi fisi. Tetapi fisi ini bukan berasal dari bom fusi. Pada tipe 'boosted bom', neutron-neutron yang dihasilkan oleh reaksi fusi terutama berfungsi untuk meningkatkan efisiensi bomb fisi. contoh senjata didesain untuk keperluan khusus; bomb neutron adalah senjata termonuklir yang menghasilkan ledakan relatif kecil, tetapi dengan jumlah radiasi neutron yang banyak. Meledaknya senjata nuklir ini diikuti dengan pancaran radiasi neutron. Senjata jenis ini, secara teori bisa digunakan untuk membawa korban yang tinggi tanpa menghancurkan infrastruktur dan hanya membuat fallout yang kecil. Membubuhi senjata nuklir dengan bahan tertentu (sebagain contoh cobalt atau emas) menghasilkan senjata yang dinamai "salted bomb". Senjata jenis ini menghasilkan kontaminasi radioactive yang sangat tinggi. Sebagian besar variasi di disain senjata nuklir terletak pada beda "yield" untuk berbagai keperluan, dan untuk mencapai ukuran fisik yang sekecil mungkin









BAB XII
IMPLEMENTASI HHI DI INDONESIA

A.           Tindakan Legalisasi
Setiap negara peserta harus mengeluarkan unang-undang dan peraturan-peraturan yang dibutuhkan untuk menjamin pelaksanaan konvensi-konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya, sebagaimana yang diatur pada Pasal 48, 49, 128, 145 masing-masing konvensi dan Pasal 84 Protokol I.
Setiap negara peserta harus menetapkan undang-undang yang diperlukan untuk member sanksi pidana efektif, jika terjadi pelanggaran. Orang yang harus diadili adalah orang yang melakukan dan orang yang memerintahkan untuk melakukan pelanggaran.
Perbuatan yang dianggap salah adalah pelanggaran berat seperti ditentukan dalam Konvensi Jenewa, serta setiap perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum tersebut, sesuai Pasal 49-50, 50-51, 129-130, 146-147 masing-masing Konvensi Jenewa dan Pasal 85-92 Protokol I. setiap negara peserta harus menyusun peraturan yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan lambang pelindung Palang Merah; jika terjadi pelanggaran, “dibutuhkan pula peraturan yang menerapkan sanksi pidana-“ terhadap orang/kelompok /perusahaan yang melakukan penyalahgunaan lambang Palang Merah.
Penggunaan lambang Palang Merah oleh pihak yang tidak berwenang maupun penggunaan lambang tiruan merupakan penyalahgunaan, seperti ditetapkan pada Pasal 53-54 Konvensi I dan Pasal 43-45 Konvensi II. Disamping undang-undang baru yang harus dikeluarkan, negara peserta juga mempunyai kewajiban untuk menyesuaikan sistem undang-undang yang sudah berlaku dengan berbagai ketentuan-ketentuan HHI. Untuk menjamin penerapan hukum humaniter, peraturan yang perlu disesuaikan mencakup berbagai bidang: militer, pidana, medis dan pertahanan sipil. Misalnya untuk negara peserta Protokol I, jika perundang-undangan pidana nasional menetapkan hukuman mati untuk kejahatan tertentu, Protokol I meminta agar hukuman mati tidak dijatuhkan pada orang yang berumur dibawah 18 tahun, pada wanita hamil maupun seorang ibu yang mempunyai anak kecil (Pasal 76-77 Protokol I).

B.            Tindakan Organisasional
1.            Tindakan organisatoris yang harus diambil di masa damai
Perhimpunan Palang Merah Nasional harus diakui secara resmi oleh pemerintah dan memperoleh ijin, agar dapat bertindak di bawah perlindungan Konvensi-konvensi Jenewa (pasal 26 Konvensi I).
Bangunan-bangunan tetap dan unit-unit kesehatan bergerak dari Dinas Kesehatan sedapat mungkin ditempatkan dengan cara sedemikian rupa agak jauh dari objek militer, sehingga serangan yang dilakukan musuh terhadap sasaran-sasaran militer tidak membahayakan keselamatan dari dinas medis tersebut (Pasal 19 Konvensi I).
Bangunan tetap, unit kesehatan dari Dinas Kesehatan, serta pengangkutannya, alat perlengkapan dan personil medisnya harus ditandai dengan lambang pelindung Palang Merah agar perlindungan yang diberikan oleh Konvensi-konvensi Jenewa bersifat efektif, beberapa persyaratan harus terpenuhi seperti mengeluarkan kartu pengenal khusus untuk personil medis (Pasal 38-44 Konvensi I, Pasal 41-45 Konvensi II dan Pasal 18 Konvensi IV).
2.            Tindakan organisatoris yang diambil pada waktu pertikaian bersenjata, tetapi yang harus disiapkan di masa damai
Negara peserta dapat mengadakan persetujuan khusus tentang semua hal yang dianggap sesuai untuk diatur sendiri (Pasal 6, 6, 6, 7 masing-masing konvensi). Jadi, sebelumnya perlu diadakan penelitian tentang aspek-aspek yang mungkin diatur dalam persetujuan khusus tersebut. Negara-negara yang mungkin menjadi negara pelindung, serta pihak yang akan menjadi wakil dan utusannya harus ditentukan sebagaimana diatur didalam pasal 8, 10.
Di samping itu, HHI seperti hukum yang lainnya, tidak mungkin mengatur semua permasalahan yang diahadapi dalam kenyataan. Misalnya, bagaimana dengan perlindungan yang dibutuhkan pesawat helicopter yang sedang melakukan kegiatan kemanusiaan, seperti mengevakuasi korban atau menyelamatkan orang yang sakit dan diperlukan apabila pesawat tersebut juga dapat dipakai untuk menjalankan misi militer.

 C.           Implementasi Hukum Humaniter Internasional di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi Konvensi-konvensi Jenewa pada tahun 1958. Jumlah negara yang telah menjadi peserta pada Konvensi-konvensi Jenewa mencapai 188, berarti hampir seluruh dunia. Sejauh mana Indonesia telah memenuhi kewajibannya sesuai HHI? Tindakan pelaksanaan yang mana telah diambil di tingkat nasional untuk menjamin penerapan efektif dari Konvensi Jenewa apabila terjadi konflik bersenjata?
Di Indonesia telah dibentuk Perhimpunan Palang Merah Nasional (PMI) yang diakui secara resmi oleh pemerintah Indonesia. Namun ada suatu tindakan legislatif penting yang belum diambil, yaitu menyangkut sanksi pidana terhadap pelanggaran Konvensi-konvensi Jenewa. Peraturan itu dibutuhkan untuk menentukan hukuman yang harus dijatuhkan terhadap mereka yang melakukan pelanggaran hukum humaniter. Selama Indonesia belum mengeluarkan peraturan tersebut, tidak ada jaminan bahwa sanksi pidana efektif akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang melanggar HHI. Dan jika tidak ada kejelasan tentang sanksi pidana efektif ini maka dapat dibayangkan bahwa upaya pencegahan pelanggaran hukum humaniter menjadi lebih sulit lagi.
Meskipun demikian, terdapat beberapa peraturan nasional lainnya yang merupakan implementasi HHI dan Konvensi Jenewa. Misalnya Surat Keputusan KASAD mengenai petunjuk lapangan untuk perlakuan tawanan perang. Disamping itu, terdapat pula suatu Surat Keputusan KASAD tentang senjata bakteri dan kimia yang mengimplementasikan prinsip-prinsip dasar dari HHI.
TNI Angkatan Darat telah pula mengeluarkan sebuah pedoman tentang Hak Asasi Manusia dalam melaksanakan operasi militer. Untuk sementara, buku petunjuk tersebut hanya berlaku untuk jajaran TNI yang berada di wilayah Kodam Trikora (Irian Jaya dan Maluku) dan Kodam Udayana (Bali-NTB-NTT). Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pedoman TNI-AD tersebut penting sekali, karena menyesuaikan pelaksanaan prinsip-prinsip HHI dan penghormatan hak-hak dasar manusia dalam suatu operasi militer untuk kondisi di Indonesia, meisalnya penggunaan istilah GPK (Gerakan Pengacau Keamanan / Gerombolan Pengacau Kemanan). Diharapkan buku pedoman tersebut dipergunakan oleh semua kalangan di seluruh wilayah Indonesia.
Di jajaran Polri, ICRC juga membantu upaya untuk mempromosikan perlindungan hak-hak dasar manusia. Kegiatan yang telah dilaksanakan antara lain memberikan pembekalan HAM dan HHI kepada anggota Polri yang akan memberikan pembekalah HAM dan HHI kepada anggota Polri yang akan melakukan tugas operasi. Juga atas kerjasama antara Mabes Polri dan ICRC telah dilaksanakan pelatihan untuk para instrukur Polri di bidang HAM.
Dengan pihak universitas, ICRC telah memperluas jaringan kerjasamanya, mencakup seluruh wilayah Indonesia. Tujuannya adalah untuk membantu dan mendorong para dosen dalam pengajaran materi HHI di berbagai perguruan tinggi. Untuk itu telah dilaksanakan kursus regional HHI (di Jakarta, Medan, Palembang, Ujung Pandang, Yogyakarta, Manado, dan Mataram). Untuk menengkatkan kualitas pengajaran HHI juga kepada para dosen yang bersangkutan telah diberikan bahan/sarana pendukung yang dibutuhkan.
Pada saat ini materi HHI sudah dimasukkan dalam kurikulum di berbagai fakultas hukum dan disajikan sebagai mata kuliah tersendiri / wajib atau sebagai bagian dari mata kuliah lain. Bahkan di beberapa universitas telah didirikan pusat studi HAM dan Hukum Humaniter (yaitu di Universitas Trisakti, UGM Yogya, UNSRI Palembang dan UNSYAH Banda Aceh). Dapat dikatakan bahwa minat mahasiswa Indonesia untuk mempelajari HHI cenderung menigkat.















DAFTAR PUSTAKA

Agus Fadillah. Hukum Humaniter Suatu Perspektif. Jakarta: Pusat Studi Hukum, Humaniter Internasional Universitas Trisakti. 1997.
Arlina Permanasari, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999
Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi-Konvensi Palang Merah 1949, Alumni, Bandung, 2002.
C. de Rover, To Serve & To Protect : Acuan Universal Penegakan HAM, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000.
Frits Kalshoven and Liesbeth Zegveld, Constraints on the Waging War, Geneva: ICRC, 2001
Gary D. Solis, The Law of Armed Conflict: International Humanitarian Law in War, United Kingdom: Cambridge Press, 2010
GPH. Haryo Mataram, Bunga Rampai Hukum Humaniter (Hukum Perang), Bumi Nusantara Jaya, Jakarta, 1988.
----------------, Konflik Bersenjata dan Hukumnya, Universitas Trisakti, Jakarta, 2002. Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, Terjemahan Konvensi Jenewa tahun 1949, Agustus 1999.
Geoffrey Robertson QC, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: Perjuangan untuk Mewujudkan Keadilan Global, Komnas HAM, Jakarta, 2002
Hans Peter Gasser, International Humanitarian Law An Introduction. Haupt: ICRC-Henry Dunant Institute. 1993.
Human Rights Watch, Genocide, War Crimes and Crimes Against Humanity: A Topical Digest of the Case Law of the International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, United States of America: Human Rights Watch, 2006
ICRC, Pengantar Hukum Humaniter, ICRC, Jakarta, 1999.
-------------, Penghormatan Terhadap Hukum Humaniter Internasional: Buku Pedoman untuk Anggota Parlemen No. 1 tahun 1999, ICRC, 1999.
J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, Edisi Kesepuluh, Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, 2008
Komnas HAM. “Hukum Humaniter International dan Hak Asasi Manusia, Kampanye Dunia Untuk Hak Asasi Manusia.” 2009.
Made Nidya Lestari Karma. “Perlindungan Hukum terhadap Korban Perang (Perempuan) dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia”, Kertha Aksara Media Komunikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana. 2008
Syahmin A.K. SH, Hukum Internasional Humaniter, Jilid 1: Bagian Umum, Bandung: Armico, 1985

Jurnal
Agustinus Supriyanto. 2000. “Peranan yang Dapat Dijalankan oleh ICRC dalam Internal Strife yang Terjadi di Aceh.” Banda Aceh: Jurnal Ilmu Hukum, No. 25 Tahun X April 2000, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala Darussalam.
David Kretzmer, The Supreme Court of Israel: Judicial Review During Armed Conflict, German Yearbook of International Law, 392, 2004
Heribertus Jaka Triyana “Prinsip Kompensasi dalam Hukum Humaniter” dalam Makalah Penataran Tingkat Lanjut Hukum Internasional. Purwokerto: Fakultas Hukum Unsoed. 2000
Heribertus Jaka Triyana, 2000. “Relevansi Penerapan Prinsip Pembedaan (Distinction Principle) dan Penerapan Sanksi Dewan Keamanan PBB Terhadap Upaya Perlindungan Penduduk Sipil Pada Pelanggaran Hukum Internasional.” Purwokerto: Makalah Penataran Tingkat lanjut Hukum Internasional, Fakultas Hukum Unsoed
Michael N. Schmitt, Military Necessity and Humanity in International Humanitarian Law: Preserving the Delicate Balance, Virginia Journal of International Law, Volume 50:4, 2010
Nobuo Hayashi, Requirements of Military Necessity in International Humanitarian Law and International Criminal Law, Boston University International Law Journal, Volume 28:39, 2010
Westra, Joel H. International Law and the Use of Armed Force – The UN Charter and the Mayor Powers, London and New York: Routledge, 2007.
Jurnal Dan Working Papers

Instrumen-Instrumen Internasional :
Convention (IV) relative to the Treatment of Prisoners of War. Geneva, 12 August 1949.
Customary International Humanitarian Law First Report of The Prosecutor of The International Criminal Court to The UN Security Council Pursuant To Unscr 1970 (2011
Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), 8 June 1977