PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN
DAERAH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR
12 TAHUN 2011
( Study Di Kabupaten Bantul )
A. Latar Belakang Permasalahan
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat
ini telah mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik
kearah desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah. Bagaimanapun
juga sentralisasi mengakibatkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan pembangunan
yang hanya terpusat pada pulau jawa dengan hegemoni “Jakarta”nya pembangunan di berbagai sektor di
daerah-daerah mengalami ketimpangan dengan adanya desentralisasi seperti
sekarang diharapkan daerah dapat melakukan pembangunan secara maksimal di
daerahnya sendiri sehingga tercipta pemerataan pembangunan.
Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa
pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik
penting untuk mencapai sebuah stabilitas system dan sekaligus membuka
kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan
stabilitas sistim secara keseluruhan.
Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi
kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan
otonomi daerah segalanya akan berjalan dengan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi
daerah sangat tergantung kepada pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah dan Perangkat daerah lainnya,
artinya perlu adanya hubungan yang harmonis antara Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah, antara eksekutif dengan legislatif.
Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi
dan Otonomi Daerah ini adalah adanya keinginan yang sangat kuat agar proses
pembangunan dimasa depan benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan
terutama mereka yang ada didaerah daerah. Keinginan yang sangat kuat ini
didasarkan pada kenyataan masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat
yang dianggap telah mencerminkan dan mewakili kepentingan massa rakyat daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain
diselenggarakan sesuai dengan amanat undang-undang otonomi daerah yaitu
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dirubah dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah tentu saja
memerlukan aturan-aturan perundangan lain yang bersifat kedaerahan yang disebut
dengan peraturan daerah yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi
daerah yang diidamkan selama ini.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo.
Undang-Undang 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 42 ayat (1)
huruf a menjelaskan yang pada intinya adalah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) bersama Kepala Daerah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas
untuk mendapat persetujuan bersama Junto Pasal 25 butir b dan c yang berbunyi
Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang mengajukan Peraturan Daerah dan
menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Peraturan Daerah ini menjadi sangat penting karena
selain merupakan penjabaran atas peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, peraturan daerah juga harus memperhatikan betul kebutuhan dan
perkembangan yang ada di daerah yang bersangkutan, artinya dengan
diterbitkannya Peraturan Daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya
kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan
ketentraman/ketertiban umum serta menimbulkan kebijakan yang bersikap
diskriminatif.
Berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Daerah telah
pula diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang prosedur dan teknis
pembentukan Peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya Peraturan daerah. Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus
dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga akan terjadi
keseragaman bentuk aturan perundang-undangan antara daerah yang satu dengan
daerah yang lainnya.
Sebelumnya perlu kiranya Peneliti menjabarkan sedikit
apa sebenarnya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah. Dalam Undang-Undang No. 32 pengertian Perda
dijelaskan dalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 angka 10, yaitu :
“Peraturan Daerah selanjutnya disebut Peraturan
Daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi dan/atau Peraturan Daerah
Kabupaten/Kabupaten”.
Menurut
Farida Indrati membagi Peraturan Daerah menjadi dua yaitu Peraturan daerah Tk.
I dan Peraturan Daerah Tingkat II.1
“Peraturan Daerah Tingkat I adalah Peraturan yang
dibentuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I. sedangkan Peraturan Daerah Tingkat
II adalah Peraturan yang dibentuk oleh Bupati atau WaliKabupaten/Kepala Daerah
Tingkat II bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II
dalam melaksanakan Otpnomi Daerah ”.
Pengertian
berikutnya dapat disimak dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Bab
I Pasal 1 angka 7, menjelaskan :
“Peraturan Daerah adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.
Dari beberapa pengertian diatas dapatlah
disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah itu adalah
Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah setempat
dalam hal ini Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.
Peraturan
daerah sebagaimana yang dimaksud diatas terbagi dalam tiga bagian, seperti yang
telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 7 ayat (1), point f dan g yaitu :
1.
Peraturan
Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama
dengan Gubernur.
2.
Peraturan
Daerah Kabupaten/Kabupaten dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kabupaten bersama Bupati/WaliKabupaten.
3.
Peraturan
Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama
lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah dan sepele karena
didalamnya melibatkan faktor-faktor lain seperti faktor kemasyarakatan serta
faktor cabang pengetahuan hukum dan pengetahuan lainnya. Pembentukan peraturan
perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya merealisasikan tujuan tertentu,
dalam arti mengarahkan, mempengaruhi pengaturan prilaku dalam konteks
kemasyarakatan yang dilakukan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang
diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan.
Dalam
terwujudnya negara hukum, tentu diperlukan adanya suatu tatanan yang tertib,
salah satunya di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk
sebuah peraturan daerah. Tertib pembentukan suatu peraturan daerah harus diaplikasikan
sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya.
Untuk
membentuk suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang
baik, maka diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas,
tata cara penyiapan dan pembahasan, tekhik, penyusunan maupun pemberlakuannya.
Namun justru hal-hal tersebut diatas banyak yang tidak diwujudkan dalam
pembentukan berbagai peraturan daerah.
Pada
kenyataannya saat ini, banyak peraturan daerah diberbagai daerah yang mengalami
ketimpangan, dalam artian bahwa terdapat ketidaksinkronan antara peraturan
daerah dengan Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Presiden (Perpres), dan
berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain
itu berbagai faktor-faktor dan ketentuan lain yang seharusnya menjadi
pertimbangan dalam penyusunan sebuah peraturan daerah juga turut diabaikan.
Seperti
halnya yang terjadi dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 2 Tahun 2012 Tentang
Pengawasan, Pengendalian, Pengedaran Dan Pelarangan Penjualan Minuman
Beralkohol di Kabupaten Bantul dan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 04
Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 -
2030 yang peneliti jadikan obyek analisa dalam penelitian ini.
Kedua buah
Peraturan Daerah diatas pada awal
keberlakuannya sempat mendapat pertentangan ini disebabkan isi materi dalam
peraturan daerah tersebut dianggap terlalu mengedepankan aspek peningkatan
pendapatan daerah, selain itu ada beberapa pasal yang sangat merugikan masyarakat
apalagi memang pada dasarnya peraturan daerah ini kurang dilakukan sosialisasi
sehingga masyarakat bisa lebih mengetahui maksud diadakannya Peraturan Daerah
ini.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang
diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
a.
Apakah
pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Bantul sudah mencerminkan asas teknik
pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ?
b.
Apakah
asas materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sudah tercermin
dalam pembentukan Peraturan Daerah
Kabupaten Bantul ?
C. Landasan Teoritis
Ada
beberapa hal yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah menurut peneliti
perlu diuraikan dalam penelitian ini sebagai landasan umumnya yakni mengenai: Negara
Hukum, Pemerintahan Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan.
1.
Negara Hukum
Konsep
Negara Hukum telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam system hukum yang
berbeda-beda. Secara Historis ada dua istilah yang sangat berpengaruh didunia
untuk gagasan Negara yang berdasarkan atas Hukum, yaitu “ Rechtstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental dan “The Rule Of law” yang berkembang di
Inggris dan Negara-negara Anglo Saxon.
Konsepsi Rechtstaat bertumpu pada Civil law yang lahir dari suatu
perjuangan menentang absolutisme kekuasaan (machtstaat)
sehinga sifatnya revolusioner dan
mempunyai karateristik administratif yang dilatar belakangi kekuasaan raja yang
sering membuat peraturan melalui dekrit yang kemudian didelegasikan kepada para
pejabat administratif yang membuat pengarahan tertulis pada hakim tentang
bagaimana memutus suatu perkara/sengketa.
Sedangkan
konsep The Rule Of law bertumpu pada
sistem Common law bersifat memutus
perkara yang kemudian didelegasikan kepada hakim peradilan umum untuk memutus
perkara kebiasaan umum inggris.[1]
Burkens
seperti dikutip oleh A. Hamid Attamini,[2] mengemukakan pengertian dari Negara
hukum, yaitu Negara yang menempatkan hukum sebagai Dasar Kekuasaan dan
penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah
kekuasaan hukum.
Dari
pandangan sederhana ini mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintah dalam suatu
Negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara harus berdasarkan pada kekuasaan.
Tepat
seperti apa yang dikatakan Hirsch Ballin dalam tulisannya berjudul “De Mens in de sociale rechstaat “ yang
dikutip Abdul Latief, bahwa : [3]
“Niet elke
staat is een rechstaat, maar dit betekent geenszins dat staten die geen
rechtstaat zijn, niets met recht van doen hebben. Integendeel, onde r’staat’
word gewoonlijk de organisatie van een gemeenschap verstaan die zich van andere
organisaties juist daar in onderscheidt dat zij in algemene zin tot taak heft,
recht tot gelding te brengen. ( tidak setiap Negara dapat disebut Rechstaat meskipun hal ini tidak berarti
bahwa negara yang bukan rechstaat tidak berhubungan dengan hukum. Suatu Negara
senantiasa berkewajiban menegakkan hukum, tetapi tidak semua Negara senantiasa
tunduk pada hukum ).”
Mochtar
Kusumaatmadja menyatakan bahwa Negara Hukum
sebagai : [4]
“ …negara
yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama
dihadapan hukum “.
Di
Indonesia sendiri ide dasar Negara hukum Indonesia tidaklah terlepas dari ide
dasar tentang rechtstaat sebagai warisan dari Negara Belanda yang pernah
menjajah negeri ini yang tentu saja menganut konsep Rechtstaat.
Dalam suatu
Rechtstaat yang dalam UUD 1945
diterjemahkan sebagai Negara berdasar atas hukum, fungsi peraturan
Perundang-Undangan tidak saja hanya memberi bentuk pada nilai-nilai dan
norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-Undang bukan
hanya sekedar produk fungsi Negara dibidang Pengaturan.
A. Hamid
Attamini,[5] berpendapat Peraturan perundang-undangan
adalah salah satu metoda dan instrument ampuh yang tersedia untuk mengatur dan
mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.
Dalam suatu
Negara Hukum terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana dikemukakan
oleh Burkens seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon dalam tulisannya adalah :[6]
1.
Asas Legalitas : setiap tindak pemerintahan harus didasarkan
atas dasar Peraturan Perundang-Undangan (Wetterlijke
Grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal dan UUD
sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan.
2.
Pembagian Kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa
kekuasaan Negara tidak bertumpu pada satu tangan.
3.
Hak-Hak Dasar (Grondrechten) : Hak-hak Dasar merupakan sasaran
perlindungan hokum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan
Undang-Undang.
4.
Pengawasan Pengadilan : Bagi rakyat tersedia saluran melalui
Pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakpemerintahan (rechtmatigheids toetsing).
Apa yang
dikemukakan oleh Burkens di atas sejalan dengan pendapat Frederich Julius Stahl
yang dikutip oleh Sri Soemantri dalam bukunya, yang mengemukakan suatu Negara
hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :[7]
1.
Bahwa
Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasarkan atas hukum
atau Praturan Perundang-Undangan.
2.
Adanya
jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3.
Adanya
Pembagian kekuasaan dalam negara.
4.
Adanya
Pengawasan dari Badan-badan Peradilan.
Syarat-syarat dasar Rechtstaat
diatas secara teoritis melukiskan dengan teliti kapan dan dibawah syarat-syarat
apa administrasi Negara itu dapat dan harus bertindak. Dalam kaitannya dengan
pembagian kekuasan perlu pula sedikit peneliti singgung disini berkaitan dengan
teori pembagian kekuasaan, sebagaimana diketahui bahwa teori pembagian
kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquie yang dikenal dengan Trias Politica.
Dalam Trias
politika Montesquie ini memisahkan kekuasan dalam 3 (tiga) jenis kekuasaan
yaitu : Kekuasaan perundang-undangan (legislatif),
yang memilki kekuasaaan dalam membuat Undang-Undang. Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif), yang memilikikekuasaan dalam
menjatuhkan hukuman (putusan) atas kejahatan-kejahatan ataupun
perselisihan serta Kekuasaan
Pemerintahan (Eksekutif) yang memilki
kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan pengambil kebijakan.
2.
Peraturan
Perundang-undangan
Istilah
perundang-undangan (Legislation, Wetgeving atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, disatu sisi
diartikan sebagai proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan
Negara baik pusat maupun daerah, disatu sisi diartikan sebagai segala peraturan
negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik pusat maupun
daerah.
Pengertian
Peraturan perundang-undangan dapat disimak pendapat Maria Farida Indrati
Soeprapto, yaitu :[8]
“Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik
Indonesia yang merupakan Formell Gesetz
dan Verordnung Autonome Satzung
adalah peraturan-peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya
yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintahan lainnya”
Atau dapat
pula disimak definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
dalam Pasal 1 angka 2, yang berbunyi :
“ Peraturan Perundang-Undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang dan mengikat secara umum”
Keberlakuan
suatu peraturan perundang-undangan mempunyai lingkuan keberlakuan yang disebut
dengan istilah lingkungan kuasa. Lingkungan Kuasa suatu aturuan hukum Menurut
Logemann meliputi empat hal, yaitu: [9]
a. Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial
sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan
perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan
hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu
bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, "daerah kekuasaan"
berlakunya suatu Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi
untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan
untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan daerah hanya berlaku untuk
suatu daerah tertentu (Provinsi, dan Kabupaten/Kabupaten) saja.
b. Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang
diatur dalam suatu peraturan perudangundangan mengidentifikasi masalah
tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya
adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana dsb. Materi
tersebut menunjukkan lingkup masalah
atau persoalan yang diatur.
c. Lingkungan kuasa orang (personengebied).
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan
bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan
ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan
perundangundangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai
orangnya. Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga
Kerja. Undangundang tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang
Asing,dsb; menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya
diberlakukan bagi kelompak orang yang diidenrifikasi dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
d. Lingkungan
kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu
peraturan perundana-undangan berlaku, apakah beriaku untuk suatu masa tertentu
atau untuk masa tidak tertentu. Apakah mulai berlaku sejak ditetapkan atau
berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan
oleh waktu.
Dalam teori tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan
sebagairnana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asas-asas atau
prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:[10]
a)
Perundang-undangan
yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan
ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi;
b)
Perundang-undangan
hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan
yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c)
Ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan
hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi tingkatannya. Sebaliknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang lebih tinggi, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat,
walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
d)
Materi
yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya
tidak dapat diatur oleh perundng-undangan yang lebih rendah;
Peraturan
perundang-undangan memiliki tiga landasan yaitu: landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan
sosiologis (sociologische grondslag)
dan landasan yuridis (yuridische
grondslag).12 Suatu peraturan mempunyai landasan sosiologis apabila
ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran umum
masyarakat.
Selain
landasan tersebut (filosofis, sosiologis,
yuridis, politis), masih terdapat
landasan lain yaitu landasan tehnik perancangan Peraturan perundang–undangan.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi
disebabkan karena tidak jelasnya perumusan sehingga menimbukan ketidakjelasan
dalam arti, maksud, dan tujuannya (ambigguous)
atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif) atau terjadi inkonsistensi
menggunakan peristilahan atau sistematika yang baik, bahasa yang
berbelit-belit sehingga sukar di mengerti dan sebagainya.13
Untuk
memberikan perlindungan hukum, diperlukan perangkat hukum sebagai tolok ukur
yaitu ketentuan-ketentuan perundang-undangan tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam hal hukum tidak tertulis, asas-asas umum pemerintahan yang baik akan sangat
besar artinya dijadikan sebagai tolok ukur. 14
Asas-asas
umum pemerintahan yang baik merupakan
prinsip institusional dalam pembangunan di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan harus
didasarkan pada prinsip-prinsip Good
Governance. Prinsip-prinsip atau
asas-asas tersebut adalah: rule of law
(negara hukum), openness
(keterbukaan), participatory (peran
serta masyarakat), accountability
(tanggung jawab).
Partisipasi
merupakan salah satu hal yang esensial mencapai tujuan hukum, sebab dengan
partisipasi maka hukum dapat diberdayakan, sehingga akan dapat mencapai tujuan
yang diharapkan. Partisipasi masyarakat merupakan kebutuhan nasional guna
menyelesaikan dan memecahkan permasalahan–permasalahan yang sedang dihadapi,
karena adanya kesenjangan antara budaya hukum penguasa atau penegak hukum
dengan budaya hukum masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu
diperhatikan beberapa faktor yaitu:
a.
Menyangkut
persepsi penegak hukum terhadap masyarakat yang bukan lagi sebagai sasaran (andreesat hukum) tetapi lebih sebagai
pemegang peran (role accupant)
b.
Penegak
hukum-birokrat seharusnya melakukan perubahan terhadap makna kedudukan dan
fungsi kekuasaan. Mereka tidak hanya menerapkan peraturan saja tetapi harus
membangun pula budaya hukum dan membantu masyarakat miskin agar mengathui
hak-hak mereka.
c.
Penegak
hukum-birokrat hendaknya menyadari bahwa mereka mengadapi masyarakat yang
pruralistik. Sedangkan hukum dirumuskan dan berlaku universal sehingga penegak hukum-birokrat
perlu mempelajari budaya-budaya lokal sebagai aset dalam menciptakan
tujuan-tujuan hukum.
d.
Penegak
hukum-birokrat hendaknya merubah anggapan bahwa masyarakat lokal adalah
masyarakat yang apatis, miskin sehingga tidak mampu berbuat,
e.
Penegak
hukum-birokrat dapat memahami secara kritis terhadap realitas sosial ekonomi
masyarakat yang dihadapi.
Disamping
itu dalam pembentukan aturan-aturan hukum harus berpedoman pada norma-norma
yang hidup dalam masyarakat. Norma-norma tersebut diangkat dan dijadikan
sebagai pranata hukum positif dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan
masyarakat pada masa sekarang dan masa akan datang, sehingga norma-norma hukum
tersebut dapat diterapkan dan ditegakkan ditengah kehidupan masyarakat.
Pembangunan
hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik. Sudah saatnya
pembangunan hukum menggunakan pendekatan kemasyarakatan yang menyeluruh. Mengingat hukum bukan sekedar formalitas atau berurusan dengan soal–soal normatif
semata melainkan unsur budaya hukum pun perlu mendapat perhatian yang lebih
disamping struktur dan substansinya.
Keberlakuan
secara holistik sangat penting, mengingat problema yang dihadapi oleh setiap
upaya pembangunan hukum di Indonesia masa mendatang bukan semata-mata kepatuhan
pada hukum semata tetapi bagaimana hukum benar-benar dapat mewujudkan keadilan
masyarakatnya.
Oleh sebab
itu, masalah nilai moral dan etis (yang terkandung dalam asas hukum) sebagai
landasan bagi pembentukan suatu peraturan, perlu mendapat perhatian yang utama
sejak perumusan hukum sampai pada prosesnya untuk mencapai tujuan hukum yang
hakiki. Persoalan nilai moral dan etis tidak dicari di tempat lain, melainkan
ditempat di dalam masyarakat sebagai pedoman dalam menentukan perilaku yang
hendak diatur.
Hukum
merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan ditentukan
atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang
melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan
kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang
saling berinteraksi di kalangan politisi.
Meskipun
dari sudut das sollen ada pandangan
bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dilihat sudut das sein atau empirik bahwa hukumlah
yang dalam kenyataan ditentukan olek konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya.15
Pernyataan
demikian ini menunjukkan bahwa hukum merupakan hasil kompromi dan kebijakan
politik dari orang-orang yang berwenang untuk itu, yaitu legislatif dan
eksekutif. Oleh karena hukum sebagai suatu kompromi politik maka misi yang
diemban oleh hukum sesuai dengan ciri dan kemauan aparat politik yang berkuasa.
Berikut,
akan peneliti uraikan pengertian dari beberapa Peraturan perundang-undangan :
a.
Undang-Undang
Undang-Undang
adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang ini ada dalam arti formal,
material dan Undang-Undang Pokok. Istilah Undang-Undang dalam arti formal dan
Undang-Undang dalam arti material merupakan terjemahan secara harfiah dari Wet in Formele Zin dan Wet in Materiele Zin yang dikenal di
Belanda. Di Belanda Wet in Formele Zin
ini merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering
dan Staten Generaal bersama-sama (Gezamenlijk) terlepas apakah isinya
peraturan (Regeling) atau penetapan (Beschikking).
Jadi disini
kita melihat dari pembentukannya, atau siapa yang membentuknya, sedangkan Wet in Materiele Zin adalah setiap
keputusan yang mengikat umum (Algemeen
Verbindende Voorschriften), baik yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal
bersama-sama ataupun yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah,
seperti Regering/Kroon serta peraturan-peraturan
lainnya yang berisi peraturan yang mengikat umum (Algemeen Verbindende Voorschriften). Kalau Undang-Undang Pokok
dimaksudkan sebagai Undang-Undang yang merupakan induk dari Undang-Undang yang
lain, karena semua Undang-Undang berasal dari Undang-Undang itu.
b.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU)
Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebenarnya merupakan suatu peraturan
pemerintah yang bertindak sebagai suatu undang-undang atau dengan perkataan
lain PERPU ini adalah peraturan pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan
Undang-Undang.
Dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 4, menggariskan:
“Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
dalam hal ihwal keadaan genting yang memaksa”
Dilihat
dari pengertian yang diberikan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 ini, maka peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang ini ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa
harus ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila terjadi hal
ihwal keadaan genting yang memaksa, inilah yang membedakan antara peraturan
pemerintah pengganti Undang-Undang ini dengan Undag-Undang.
c.
Peraturan Pemerintah
Peraturan
Pemerintah adalah Peraturan
perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 2
Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan :
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”.
Dilihat
dari ketentuan ini, maka peraturan pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk
menjalankan Undang-Undang atau dengan perkataan lain peraturan pemerintah
merupakan peraturan-peraturan yang membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu
Undang-Undang bisa berjalan/diberlakukan, artinya peraturan pemerintah ini baru
dapat dibentuk apabila sudah ada
Undang-Undangnya.
Menurut
Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida ada beberapa karakteristik dalam
peraturan pemerintah, yaitu :16
a)
Peraturan
pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada undang-undang yang
menjadi induknya.
b)
Peraturan
pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, apabila undang-undang yang
bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana.
c)
Ketentuan
peraturan pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan
undang-undang yang bersangkutan.
d)
Untuk
menjalankan, menjabarkan atau merinci ketentuan undang-undang dan peraturan
pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut tidak
memintanya secara tegas.
e)
Ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan.
Peraturan pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata.
d.
Peraturan Daerah
Pengertian Peraturan
Daerah dapat kita simak, baik dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 8, menyatakan :
“Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan
bersama Kepala Daerah”.
Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 angka 10, yaitu :
“Peraturan daerah adalah Peraturan Daerah
Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kabupaten”.
Dari
pengertian diatas jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Peraturan
Daerah (PERDA) itu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh
pemerintah daerah setempat, dalam hal ini Kepala Daerah bersama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a.
Untuk mengetahui dan mengkaji apakah asas teknk
pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di implementasikan dalam
Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Bantul.
b.
Untuk mengetahui apakah asas materi muatan
pembentukan peraturan perundang-undangan sudah tercermin dalam peraturan daerah
yang ada di Kabupaten Bantul
2.
Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah
paling tidak penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi
pihak-pihak yang berkepentingan baik untuk kepentingan praktis maupun toritis,
antara lain sebagai berikut :
a.
Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
keilmuan dalam hukum khususnya Hukum Pemerintahan yang nantinya dapat dijadikan
bagian dari sumber-sumber referensi dalam pengkajian ilmu hukum dan
perundang-undangan.
b.
Manfaat Praktis.
Sebagai bahan masukan, baik bagi Pemerintah Daerah (Kepala
Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) maupun bagi Instansi-instansi
terkait yang berhubungan, sehingga dalam pembentukan Peraturan
perundang-undangan tidak keluar dari asas-asas dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini akan dititikberatkan pada
pembahasan tentang pembentukan peraturan Daerah, utamanya menyangkut tentang
teknik pembentukan peraturan Daerah serta materi muatan dalam pembentukan
peraturan daerah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
perundang-undangan
F. Metode Penelitian
Metode
dapat diartikan sebagai jalan (cara, pendekatan, alat) yang harus ditempuh (dipakai) guna memperoleh
pengetahuan tentang sesuatu hal (sasaran kajian), baik yang lalu, kini, maupun
yang akan datang: yang dapat terjadi dan akan terjadi.17 Sedangkan
hasil pengkajian terhadap berbagai metode menjadi bahan pembentukan seperangkat
pengetahuan tentang metode, disebut metodologi.
1.
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan
jenis penelitian hukum normatif, yaitu dengan mengkaji asas-asas atau teori
hukum berdasarkan hukum positif yang berkaitan dengan Pembentukan
perundang-undangan, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan,
dan pendapat para pakar.
2.
Pendekatan Masalah
Sesuai
dengan tipe penelitian yang dilaksanakan maka dilakukan juga beberapa pendekatan hukum sebagai
berikut :
a.
Pendekatan
doktrinal18 (doctrinal
Approach), dengan penekanan pada aspek doktrin atau ajaran atau teori dan
asas dan lain-lain disekitar Hukum Pemerintahan. Pendekatan doktrinal
dipergunakan untuk menganalisa berbagai kebijakan Yang ada dalam Peraturan
perundangan.
b.
Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu dengan
mengamati berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pembentukan peraturan daerah.
3.
Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka pada penelitian ini
akan menggunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
a.
Bahan
Hukum Primer
Bahan hukum
primer adalah UUD 1945,
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan.
b.
Bahan
Hukum Sekunder
Bahan-bahan
hukum sekunder ini adalah dapat berupa buku-buku, teori dan pendapat atau
komentar-komentar ilmiah para sarjana, yang dimuat dalam artikel-artikel,
jurnal-jurnal hukum, dari media masa (koran, majalah, dan sebagainya) maupun
media elektronik (internet).
c.
Bahan
Hukum Tersier
Bahan Hukum
Tersier adalah bahan-bahan hukum yang dimaksudkan untuk menjelaskan bahan-bahan
hukum primer dan sekunder, seperti kamus, indeks, dan ensiklopedia serta yang
lain-lain.
Untuk
menunjang penelitian ini, maka akan dilakukan juga pengumpulan beberapa
Peraturan Daerah Kabupaten Bantul serta wawancara ringan sehubungan dengan
pembentukan Pearaturan Daerah di Kabupaten Bantul.
4.
Teknik Pengumpulan dan Penelusuran Bahan Hukum
Mengumpulkan dan menginvetarisir segala bahan hukum baik
primer, skunder, maupun tersier, serta beberapa Peraturan Daerah. Pengumpulan
bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan Snow
Ball Method, dengan menggunakan alat bantu kartu kutipan (card system) berdasarkan pengarang/peneliti (subjek) maupun
tema ataupun pokok masalah (objek).
5.
Analisa Bahan Hukum
Dalam
menganalisa sumber bahan hukum menggunakan analisis dengan pendekatan deduktif
yaitu berangkat dari kerangka teori yang umum untuk selanjutnya dikorelasikan
dengan kenyataan-kenyataan obyektif. Dan bahan-bahan hukum dianalisis dengan
menggunakan teknik interpretatif, evaluatif, dan argumentatif. Kegiatan yang
dilakukan dalam analisis bahan hukum yaitu dengan:
a.
Memilih
ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan
yang berisi kaedah hukum yang berhubungan dengan kebijakan Otonomi
Daerah dan perundang-undangan di Indonesia.
b.
Menyusun
sistematika dari ketentuan-ketentuan tersebut sehingga menghasilkan
interpretasi tertentu.
c.
Bahan
hukum tersebut kemudian dianalisis dan dievaluasi dengan kenyataan-kenyataan
obyektif.
d.
Pada
akhirnya hasil evaluasi dan analisa tersebut berguna untuk menarik asas-asas
hukum yang terkandung di dalamnya.
Dengan
analisis tersebut akan diketahui kesesuaian antara peraturan perundang-undangan
(das sein) dengan kenyataan yang ada
(das sollen).
DAFTAR PUSTAKA
Attamini, A. Hamid, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato
PengukuhannJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, 25 April 1992
Fadjar, A. Mukhtie, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi
Paradigmatik, InTRANS, Malang 2003
Hadjon, Philipus M., Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan
Republik Indonesia, (makalah) 1994
Indrati, Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Penerbit
Kanisius, Cet. 11, Tahun 2006
Kusumaatmadja, Mochtar, “ Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum
Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah Jakarta 1995
Latief, Abdul, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel)
pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta 2005
Mahfud, Moh. M.D., Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama
Media, Yogyakarta, 1999
Manan, Bagir, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta,1996, hlm.46
Marbun, S.F., “Menggali Dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik Di Indonesia”. UII Press,Yogyakarta,2001, Halaman 203
Ndraha, Taliziduhu, Metodologi
Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997
Rosidi, Ranggawijaya, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia,
Penerbit, Mandar Maju, Bandung, 1998
Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta 1992
1 . Maria Farida
Indrati Soeprapto, Ilmu
Perundang-Undangan, Penerbit Kanisius, Cet. 11, Tahun 2006, Hal. 102
[2] A.
Hamid Attamini, Teori Perundang-Undangan
Indonesia, Pidato PengukuhannJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, 25
April 1992, hal.8
[3] Abdul
Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan
(Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta 2005, hal.16
[4] Mochtar Kusumaatmadja, “ pemantapan cita hukum dan asas asa hukum nasional di Masa Kini dan
Masa Yang Akan Datang, Makalah Jakarta 1995, Hal.1
[5] A.
Hamid Attamini, Op.cit., Hal.8
[6]
Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (makalah) 1994, Hal.4
[7] Sri
Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata
Negara Indonesia, 1992, hal. 8
[8] Maria
Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit, hal. 91
[9] Ranggawijaya Rosidi, Pengantar Ilmu perundang-Undangan
Indonesia, Penerbit, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 98.
[10]
ibid
12 Bagir
Manan, Politik Hukum
Otonomi Sepanjang Peraturan
Perundang-Undangan Pemerintah Daerah, Pustaka Sinar Harapan Jakarta,1996, hlm.46
13 Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1998, Halaman 43-4
14 S.F. Marbun, “Menggali Dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di
Indonesia”. UII Press,Yogyakarta,2001, Halaman 203
15 Moh. Mahfud.M.D.,Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia,
Gama Media, Yogyakarta, 1999, Halaman 4
18 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto,
penelitian hukum doktrinal adalah penelitian- penelitian atas hukum yang
dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan
atau sang pengembangnya. Di Indonesia metode doktrinal ini terlanjur secara
lazim disebut sebagai metode penelitian normatif, untuk melawankan dengan
metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang alam literatur
internasional disebut penelitian non doktrinal), Op Cit, hal 145-146
Tidak ada komentar:
Posting Komentar