Senin, 17 Juni 2013

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011



PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH
BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011
( Study Di Kabupaten Bantul )

A.    Latar Belakang Permasalahan
Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia saat ini telah mengakibatkan pula terjadinya pergeseran paradigma dari sentralistik kearah desentralisasi, yang ditandai dengan pemberian otonomi kepada daerah. Bagaimanapun juga sentralisasi mengakibatkan terjadinya ketimpangan pertumbuhan pembangunan yang hanya terpusat pada pulau jawa dengan hegemoni “Jakarta”nya pembangunan di berbagai sektor di daerah-daerah mengalami ketimpangan dengan adanya desentralisasi seperti sekarang diharapkan daerah dapat melakukan pembangunan secara maksimal di daerahnya sendiri sehingga tercipta pemerataan pembangunan.
Pengalaman dari banyak negara mengungkapkan bahwa pemberian otonomi kepada daerah-daerah merupakan salah satu resep politik penting untuk mencapai sebuah stabilitas system dan sekaligus membuka kemungkinan bagi proses demokratisasi yang pada gilirannya nanti akan semakin mengukuhkan stabilitas sistim secara keseluruhan.
Pelaksanaan desentralisasi dengan pemberian otonomi kepada daerah tidak demikian mudahnya memenuhi keinginan daerah bahwa dengan otonomi daerah segalanya akan berjalan dengan lancar dan mulus. Keberhasilan otonomi daerah sangat tergantung kepada pemerintah daerah dalam hal ini yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Kepala Daerah dan Perangkat daerah lainnya, artinya perlu adanya hubungan yang harmonis antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan Kepala daerah, antara eksekutif dengan legislatif.
Salah satu unsur penting dalam gagasan desentralisasi dan Otonomi Daerah ini adalah adanya keinginan yang sangat kuat agar proses pembangunan dimasa depan benar-benar bertumpu pada kepentingan rakyat kebanyakan terutama mereka yang ada didaerah daerah. Keinginan yang sangat kuat ini didasarkan pada kenyataan masa lampau yang lebih mengedepankan pandangan pusat yang dianggap telah mencerminkan dan mewakili kepentingan massa rakyat daerah.
Dalam pelaksanaan otonomi daerah ini selain diselenggarakan sesuai dengan amanat undang-undang otonomi daerah yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang telah dirubah dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah tentu saja memerlukan aturan-aturan perundangan lain yang bersifat kedaerahan yang disebut dengan peraturan daerah yang diharapkan akan mampu menunjang perwujudan otonomi daerah yang diidamkan selama ini.
Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a menjelaskan yang pada intinya adalah bahwa Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) bersama Kepala Daerah membentuk Peraturan Daerah yang dibahas untuk mendapat persetujuan bersama Junto Pasal 25 butir b dan c yang berbunyi Kepala Daerah mempunyai tugas dan wewenang mengajukan Peraturan Daerah dan menetapkan Peraturan Daerah yang telah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Peraturan Daerah ini menjadi sangat penting karena selain merupakan penjabaran atas peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, peraturan daerah juga harus memperhatikan betul kebutuhan dan perkembangan yang ada di daerah yang bersangkutan, artinya dengan diterbitkannya Peraturan Daerah ini jangan sampai mengakibatkan terganggunya kerukunan antar warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum dan ketentraman/ketertiban umum serta menimbulkan kebijakan yang bersikap diskriminatif.
Berkaitan dengan Pembentukan Peraturan Daerah telah pula diatur dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur tentang prosedur dan teknis pembentukan Peraturan perundang-undangan termasuk didalamnya Peraturan daerah. Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah ini sangat diperlukan sebagai suatu pedoman khusus dalam membentuk suatu peraturan perundang-undangan, sehingga akan terjadi keseragaman bentuk aturan perundang-undangan antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Sebelumnya perlu kiranya Peneliti menjabarkan sedikit apa sebenarnya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah. Dalam Undang-Undang No. 32 pengertian Perda dijelaskan dalam BAB I ketentuan umum Pasal 1 angka 10, yaitu :
“Peraturan Daerah selanjutnya disebut Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi dan/atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kabupaten”.

Menurut Farida Indrati membagi Peraturan Daerah menjadi dua yaitu Peraturan daerah Tk. I dan Peraturan Daerah Tingkat II.1
“Peraturan Daerah Tingkat I adalah Peraturan yang dibentuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I. sedangkan Peraturan Daerah Tingkat II adalah Peraturan yang dibentuk oleh Bupati atau WaliKabupaten/Kepala Daerah Tingkat II bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II dalam melaksanakan Otpnomi Daerah ”.

Pengertian berikutnya dapat disimak dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Bab I Pasal 1 angka 7, menjelaskan :
“Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.
 Dari beberapa pengertian diatas dapatlah disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan Peraturan Daerah itu adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah setempat dalam hal ini Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah.
Peraturan daerah sebagaimana yang dimaksud diatas terbagi dalam tiga bagian, seperti yang telah digariskan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011  Pasal 7 ayat (1), point f dan g yaitu :
1.             Peraturan Daerah Provinsi dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama dengan Gubernur.
2.             Peraturan Daerah Kabupaten/Kabupaten dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kabupaten bersama Bupati/WaliKabupaten.
3.             Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat, dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa atau nama lainnya.
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan bukanlah hal yang mudah dan sepele karena didalamnya melibatkan faktor-faktor lain seperti faktor kemasyarakatan serta faktor cabang pengetahuan hukum dan pengetahuan lainnya. Pembentukan peraturan perundang-undangan dimaksudkan sebagai upaya merealisasikan tujuan tertentu, dalam arti mengarahkan, mempengaruhi pengaturan prilaku dalam konteks kemasyarakatan yang dilakukan dengan bersaranakan kaidah-kaidah hukum yang diarahkan kepada perilaku warga masyarakat atau badan pemerintahan.
Dalam terwujudnya negara hukum, tentu diperlukan adanya suatu tatanan yang tertib, salah satunya di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan, termasuk sebuah peraturan daerah. Tertib pembentukan suatu peraturan daerah harus diaplikasikan sejak saat perencanaan sampai dengan pengundangannya.
Untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan termasuk peraturan daerah yang baik, maka diperlukan berbagai persyaratan yang berkaitan dengan sistem, asas, tata cara penyiapan dan pembahasan, tekhik, penyusunan maupun pemberlakuannya. Namun justru hal-hal tersebut diatas banyak yang tidak diwujudkan dalam pembentukan berbagai peraturan daerah.
Pada kenyataannya saat ini, banyak peraturan daerah diberbagai daerah yang mengalami ketimpangan, dalam artian bahwa terdapat ketidaksinkronan antara peraturan daerah dengan Peraturan Pemerintah (PP), atau Peraturan Presiden (Perpres), dan berbagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Selain itu berbagai faktor-faktor dan ketentuan lain yang seharusnya menjadi pertimbangan dalam penyusunan sebuah peraturan daerah juga turut diabaikan.
Seperti halnya yang terjadi dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengawasan, Pengendalian, Pengedaran Dan Pelarangan Penjualan Minuman Beralkohol di Kabupaten Bantul dan Peraturan Daerah Kabupaten Bantul Nomor 04 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bantul Tahun 2010 - 2030 yang peneliti jadikan obyek analisa dalam penelitian ini.
Kedua buah Peraturan Daerah diatas  pada awal keberlakuannya sempat mendapat pertentangan ini disebabkan isi materi dalam peraturan daerah tersebut dianggap terlalu mengedepankan aspek peningkatan pendapatan daerah, selain itu ada beberapa pasal yang sangat merugikan masyarakat apalagi memang pada dasarnya peraturan daerah ini kurang dilakukan sosialisasi sehingga masyarakat bisa lebih mengetahui maksud diadakannya Peraturan Daerah ini.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu :
a.          Apakah pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Bantul sudah mencerminkan asas teknik pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 ?
b.         Apakah asas materi muatan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sudah tercermin dalam pembentukan Peraturan Daerah  Kabupaten Bantul ?

C.    Landasan Teoritis
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan pembentukan Peraturan Daerah menurut peneliti perlu diuraikan dalam penelitian ini sebagai landasan umumnya yakni mengenai: Negara Hukum, Pemerintahan Daerah dan Peraturan Perundang-Undangan.
1.                Negara Hukum
Konsep Negara Hukum telah muncul dalam bentuk yang bervariasi dalam system hukum yang berbeda-beda. Secara Historis ada dua istilah yang sangat berpengaruh didunia untuk gagasan Negara yang berdasarkan atas Hukum, yaitu “ Rechtstaat” yang berkembang di Eropa Kontinental dan “The Rule Of law” yang berkembang di Inggris dan Negara-negara Anglo Saxon.
Konsepsi Rechtstaat bertumpu pada Civil law yang lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme kekuasaan (machtstaat) sehinga sifatnya revolusioner dan mempunyai karateristik administratif yang dilatar belakangi kekuasaan raja yang sering membuat peraturan melalui dekrit yang kemudian didelegasikan kepada para pejabat administratif yang membuat pengarahan tertulis pada hakim tentang bagaimana memutus suatu perkara/sengketa.
Sedangkan konsep The Rule Of law bertumpu pada sistem Common law bersifat memutus perkara yang kemudian didelegasikan kepada hakim peradilan umum untuk memutus perkara kebiasaan umum inggris.[1]
Burkens seperti dikutip oleh A. Hamid Attamini,[2] mengemukakan pengertian dari Negara hukum, yaitu Negara yang menempatkan hukum sebagai Dasar Kekuasaan dan penyelenggaraan kekuasaan tersebut dalam segala bentuknya dilakukan dibawah kekuasaan hukum.
Dari pandangan sederhana ini mengandung arti bahwa kekuasaan pemerintah dalam suatu Negara bersumber pada hukum dan sebaliknya untuk melaksanakan hukum  dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu Negara  harus berdasarkan pada kekuasaan.
Tepat seperti apa yang dikatakan Hirsch Ballin dalam tulisannya berjudul “De Mens in de sociale rechstaat “ yang dikutip Abdul Latief,    bahwa : [3]
Niet elke staat is een rechstaat, maar dit betekent geenszins dat staten die geen rechtstaat zijn, niets met recht van doen hebben. Integendeel, onde r’staat’ word gewoonlijk de organisatie van een gemeenschap verstaan die zich van andere organisaties juist daar in onderscheidt dat zij in algemene zin tot taak heft, recht tot gelding te brengen. ( tidak setiap Negara dapat disebut  Rechstaat meskipun hal ini tidak berarti bahwa negara yang bukan rechstaat tidak berhubungan dengan hukum. Suatu Negara senantiasa berkewajiban menegakkan hukum, tetapi tidak semua Negara senantiasa tunduk pada hukum ).”

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa Negara Hukum   sebagai : [4]
“ …negara yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama dihadapan hukum “.
Di Indonesia sendiri ide dasar Negara hukum Indonesia tidaklah terlepas dari ide dasar tentang rechtstaat sebagai warisan dari Negara Belanda yang pernah menjajah negeri ini yang tentu saja menganut konsep Rechtstaat.
Dalam suatu Rechtstaat yang dalam UUD 1945 diterjemahkan sebagai Negara berdasar atas hukum, fungsi peraturan Perundang-Undangan tidak saja hanya memberi bentuk pada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-Undang bukan hanya sekedar produk fungsi Negara dibidang Pengaturan.
A. Hamid Attamini,[5] berpendapat Peraturan perundang-undangan adalah salah satu metoda dan instrument ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan.
Dalam suatu Negara Hukum terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana dikemukakan oleh Burkens seperti dikutip oleh Philipus M. Hadjon dalam tulisannya adalah :[6]
1.         Asas Legalitas : setiap tindak pemerintahan harus didasarkan atas dasar Peraturan Perundang-Undangan (Wetterlijke Grondslag). Dengan landasan ini, Undang-Undang dalam arti formal dan UUD sendiri merupakan tumpuan dasar tindak pemerintahan.
2.         Pembagian Kekuasaan : syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan Negara tidak bertumpu pada satu tangan.
3.         Hak-Hak Dasar (Grondrechten) : Hak-hak Dasar merupakan sasaran perlindungan hokum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentukan Undang-Undang.
4.         Pengawasan Pengadilan : Bagi rakyat tersedia saluran melalui Pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindakpemerintahan (rechtmatigheids toetsing).

Apa yang dikemukakan oleh Burkens di atas sejalan dengan pendapat Frederich Julius Stahl yang dikutip oleh Sri Soemantri dalam bukunya, yang mengemukakan suatu Negara hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :[7]
1.         Bahwa Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban harus berdasarkan atas hukum atau Praturan Perundang-Undangan.
2.         Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara).
3.         Adanya Pembagian kekuasaan dalam negara.
4.         Adanya Pengawasan dari Badan-badan Peradilan.
Syarat-syarat dasar Rechtstaat diatas secara teoritis melukiskan dengan teliti kapan dan dibawah syarat-syarat apa administrasi Negara itu dapat dan harus bertindak. Dalam kaitannya dengan pembagian kekuasan perlu pula sedikit peneliti singgung disini berkaitan dengan teori pembagian kekuasaan, sebagaimana diketahui bahwa teori pembagian kekuasaan yang dikembangkan oleh Montesquie yang dikenal dengan Trias Politica.
Dalam Trias politika Montesquie ini memisahkan kekuasan dalam 3 (tiga) jenis kekuasaan yaitu : Kekuasaan perundang-undangan (legislatif), yang memilki kekuasaaan dalam membuat Undang-Undang. Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif), yang memilikikekuasaan dalam menjatuhkan hukuman (putusan) atas kejahatan-kejahatan ataupun perselisihan  serta Kekuasaan Pemerintahan (Eksekutif) yang memilki kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan dan pengambil kebijakan.
2.                    Peraturan Perundang-undangan
Istilah perundang-undangan (Legislation, Wetgeving atau gesetzgebung) mempunyai dua pengertian yang berbeda, disatu sisi diartikan sebagai proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan Negara baik pusat maupun daerah, disatu sisi diartikan sebagai segala peraturan negara yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan baik pusat maupun daerah.
Pengertian Peraturan perundang-undangan dapat disimak pendapat Maria Farida Indrati Soeprapto, yaitu :[8]
“Peraturan Perundang-Undangan Negara Republik Indonesia yang merupakan Formell Gesetz dan Verordnung Autonome Satzung adalah peraturan-peraturan yang dibentuk oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu Undang-Undang dan Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang dibentuk oleh lembaga-lembaga pemerintahan lainnya”

Atau dapat pula disimak definisi yang diberikan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam Pasal 1 angka 2, yang berbunyi :
“ Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”
Keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan mempunyai lingkuan keberlakuan yang disebut dengan istilah lingkungan kuasa. Lingkungan Kuasa suatu aturuan hukum Menurut Logemann meliputi empat hal, yaitu: [9]
a.  Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (peraturan perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat. Apakah sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, "daerah kekuasaan" berlakunya suatu Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan daerah hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu (Provinsi, dan Kabupaten/Kabupaten) saja.
b.        Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perudangundangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup  masalah atau persoalan yang diatur.
c.        Lingkungan kuasa orang (personengebied).
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan perundangundangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja. Undangundang tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing,dsb; menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompak orang yang diidenrifikasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

d.        Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundana-undangan berlaku, apakah beriaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu. Apakah mulai berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.

Dalam teori tata urutan atau hirarki peraturan perundang-undangan sebagairnana dikemukakan oleh Hans Kelsen, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip tata urutan, yaitu bahwa:[10]
a)             Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundangundangan yang lebih tinggi;
b)            Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c)             Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. Sebaliknya ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
d)            Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh perundng-undangan yang lebih rendah;

Peraturan perundang-undangan memiliki tiga landasan yaitu: landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis (sociologische grondslag) dan landasan yuridis (yuridische grondslag).12 Suatu peraturan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran umum masyarakat.
Selain landasan tersebut (filosofis, sosiologis, yuridis, politis),  masih terdapat landasan lain yaitu landasan tehnik perancangan Peraturan perundang–undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan yang kurang baik dapat juga terjadi disebabkan karena tidak jelasnya perumusan sehingga menimbukan ketidakjelasan dalam arti, maksud, dan tujuannya (ambigguous) atau rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti (interpretatif) atau terjadi inkonsistensi menggunakan peristilahan atau sistematika yang baik, bahasa yang berbelit-belit sehingga sukar di mengerti dan sebagainya.13
Untuk memberikan perlindungan hukum, diperlukan perangkat hukum sebagai tolok ukur yaitu ketentuan-ketentuan perundang-undangan tertulis maupun tidak tertulis. Dalam hal hukum tidak tertulis, asas-asas umum pemerintahan yang baik akan sangat besar artinya dijadikan sebagai tolok ukur. 14
Asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan prinsip institusional dalam pembangunan di Indonesia. Perencanaan  dan pelaksanaan kebijakan pemerintahan harus didasarkan pada prinsip-prinsip Good Governance.  Prinsip-prinsip atau asas-asas tersebut adalah: rule of law (negara hukum), openness (keterbukaan), participatory (peran serta masyarakat), accountability (tanggung jawab).
Partisipasi merupakan salah satu hal yang esensial mencapai tujuan hukum, sebab dengan partisipasi maka hukum dapat diberdayakan, sehingga akan dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Partisipasi masyarakat merupakan kebutuhan nasional guna menyelesaikan dan memecahkan permasalahan–permasalahan yang sedang dihadapi, karena adanya kesenjangan antara budaya hukum penguasa atau penegak hukum dengan budaya hukum masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diperhatikan beberapa faktor yaitu:
a.            Menyangkut persepsi penegak hukum terhadap masyarakat yang bukan lagi sebagai sasaran (andreesat hukum) tetapi lebih sebagai pemegang peran (role accupant)
b.            Penegak hukum-birokrat seharusnya melakukan perubahan terhadap makna kedudukan dan fungsi kekuasaan. Mereka tidak hanya menerapkan peraturan saja tetapi harus membangun pula budaya hukum dan membantu masyarakat miskin agar mengathui hak-hak mereka.
c.            Penegak hukum-birokrat hendaknya menyadari bahwa mereka mengadapi masyarakat yang pruralistik. Sedangkan hukum dirumuskan dan berlaku universal sehingga penegak hukum-birokrat perlu mempelajari budaya-budaya lokal sebagai aset dalam menciptakan tujuan-tujuan hukum.
d.           Penegak hukum-birokrat hendaknya merubah anggapan bahwa masyarakat lokal adalah masyarakat yang apatis, miskin sehingga tidak mampu berbuat,
e.            Penegak hukum-birokrat dapat memahami secara kritis terhadap realitas sosial ekonomi masyarakat yang dihadapi.
Disamping itu dalam pembentukan aturan-aturan hukum harus berpedoman pada norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Norma-norma tersebut diangkat dan dijadikan sebagai pranata hukum positif dan disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa akan datang, sehingga norma-norma hukum tersebut dapat diterapkan dan ditegakkan ditengah kehidupan masyarakat.
Pembangunan hukum hendaknya dilihat secara utuh melalui pendekatan holistik. Sudah saatnya pembangunan hukum menggunakan pendekatan kemasyarakatan yang menyeluruh.  Mengingat hukum bukan sekedar formalitas  atau berurusan dengan soal–soal normatif semata melainkan unsur budaya hukum pun perlu mendapat perhatian yang lebih disamping struktur  dan substansinya.
Keberlakuan secara holistik sangat penting, mengingat problema yang dihadapi oleh setiap upaya pembangunan hukum di Indonesia masa mendatang bukan semata-mata kepatuhan pada hukum semata tetapi bagaimana hukum benar-benar dapat mewujudkan keadilan masyarakatnya.
Oleh sebab itu, masalah nilai moral dan etis (yang terkandung dalam asas hukum) sebagai landasan bagi pembentukan suatu peraturan, perlu mendapat perhatian yang utama sejak perumusan hukum sampai pada prosesnya untuk mencapai tujuan hukum yang hakiki. Persoalan nilai moral dan etis tidak dicari di tempat lain, melainkan ditempat di dalam masyarakat sebagai pedoman dalam menentukan perilaku yang hendak diatur. 
Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Asumsi ini dipilih berdasarkan  kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.
Meskipun dari sudut das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dilihat sudut das sein atau empirik bahwa hukumlah yang dalam kenyataan ditentukan olek konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.15
Pernyataan demikian ini menunjukkan bahwa hukum merupakan hasil kompromi dan kebijakan politik dari orang-orang yang berwenang untuk itu, yaitu legislatif dan eksekutif. Oleh karena hukum sebagai suatu kompromi politik maka misi yang diemban oleh hukum sesuai dengan ciri dan kemauan aparat politik yang berkuasa.
Berikut, akan peneliti uraikan pengertian dari beberapa Peraturan perundang-undangan :
a.             Undang-Undang
Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Undang-Undang ini ada dalam arti formal, material dan Undang-Undang Pokok. Istilah Undang-Undang dalam arti formal dan Undang-Undang dalam arti material merupakan terjemahan secara harfiah dari Wet in Formele Zin dan Wet in Materiele Zin yang dikenal di Belanda. Di Belanda Wet in Formele Zin ini merupakan keputusan yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama (Gezamenlijk) terlepas apakah isinya peraturan (Regeling) atau penetapan (Beschikking).
Jadi disini kita melihat dari pembentukannya, atau siapa yang membentuknya, sedangkan Wet in Materiele Zin adalah setiap keputusan yang mengikat umum (Algemeen Verbindende Voorschriften), baik yang dibuat oleh Regering dan Staten Generaal bersama-sama ataupun yang dibuat oleh lembaga-lembaga lain yang lebih rendah, seperti Regering/Kroon serta peraturan-peraturan lainnya yang berisi peraturan yang mengikat umum (Algemeen Verbindende Voorschriften). Kalau Undang-Undang Pokok dimaksudkan sebagai Undang-Undang yang merupakan induk dari Undang-Undang yang lain, karena semua Undang-Undang berasal dari Undang-Undang itu.
b.             Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) sebenarnya merupakan suatu peraturan pemerintah yang bertindak sebagai suatu undang-undang atau dengan perkataan lain PERPU ini adalah peraturan pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 1 angka 4, menggariskan:
“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal keadaan genting yang memaksa”
Dilihat dari pengertian yang diberikan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 ini, maka peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini ditetapkan sendiri oleh Presiden tanpa harus ada persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), apabila terjadi hal ihwal keadaan genting yang memaksa, inilah yang membedakan antara peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang ini dengan Undag-Undang.
c.             Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan  perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, yang menentukan :
“Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”.

Dilihat dari ketentuan ini, maka peraturan pemerintah berisi peraturan-peraturan untuk menjalankan Undang-Undang atau dengan perkataan lain peraturan pemerintah merupakan peraturan-peraturan yang membuat ketentuan-ketentuan dalam suatu Undang-Undang bisa berjalan/diberlakukan, artinya peraturan pemerintah ini baru dapat dibentuk apabila sudah ada   Undang-Undangnya.
Menurut Attamimi sebagaimana dikutip oleh Maria Farida ada beberapa karakteristik dalam peraturan pemerintah, yaitu :16
a)         Peraturan pemerintah tidak dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu ada undang-undang yang menjadi induknya.
b)        Peraturan pemerintah tidak dapat mencantumkan sanksi pidana, apabila undang-undang yang bersangkutan tidak mencantumkan sanksi pidana.
c)         Ketentuan peraturan pemerintah tidak dapat menambah atau mengurangi ketentuan undang-undang yang bersangkutan.
d)        Untuk menjalankan, menjabarkan atau merinci ketentuan undang-undang dan peraturan pemerintah dapat dibentuk meski ketentuan undang-undang tersebut tidak memintanya secara tegas.
e)         Ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah berisi peraturan atau gabungan peraturan dan penetapan. Peraturan pemerintah tidak berisi penetapan semata-mata.

d.                Peraturan Daerah
Pengertian Peraturan Daerah dapat kita simak, baik dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 maupun dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. dalam  Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011  Pasal 1 angka 8,  menyatakan :
“Peraturan Daerah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diatur dalam Pasal 1 angka 10, yaitu :
 “Peraturan daerah adalah Peraturan Daerah Propinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kabupaten”.

Dari pengertian diatas jelaslah bagi kita, bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Daerah (PERDA) itu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat, dalam hal ini Kepala Daerah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

D.    Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1.            Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a.              Untuk mengetahui dan mengkaji apakah asas teknk pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di implementasikan dalam Pembentukan Peraturan Daerah di Kabupaten Bantul.
b.             Untuk mengetahui apakah asas materi muatan pembentukan peraturan perundang-undangan sudah tercermin dalam peraturan daerah yang ada di Kabupaten Bantul
2.            Manfaat Penelitian
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah paling tidak penelitian ini dapat memberikan kontribusi positif bagi pihak-pihak yang berkepentingan baik untuk kepentingan praktis maupun toritis, antara lain sebagai berikut :
a.              Manfaat Teoritis.
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah keilmuan dalam hukum khususnya Hukum Pemerintahan yang nantinya dapat dijadikan bagian dari sumber-sumber referensi dalam pengkajian ilmu hukum dan perundang-undangan.
b.             Manfaat Praktis.
Sebagai bahan masukan, baik bagi Pemerintah Daerah (Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) maupun bagi Instansi-instansi terkait yang berhubungan, sehingga dalam pembentukan Peraturan perundang-undangan tidak keluar dari asas-asas dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

E.     Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini akan dititikberatkan pada pembahasan tentang pembentukan peraturan Daerah, utamanya menyangkut tentang teknik pembentukan peraturan Daerah serta materi muatan dalam pembentukan peraturan daerah  sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan

F.     Metode Penelitian
Metode dapat diartikan sebagai jalan (cara, pendekatan, alat)  yang harus ditempuh (dipakai) guna memperoleh pengetahuan tentang sesuatu hal (sasaran kajian), baik yang lalu, kini, maupun yang akan datang: yang dapat terjadi dan akan terjadi.17 Sedangkan hasil pengkajian terhadap berbagai metode menjadi bahan pembentukan seperangkat pengetahuan tentang metode, disebut metodologi.           
1.                Jenis Penelitian
           Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu dengan mengkaji asas-asas atau teori hukum berdasarkan hukum positif yang berkaitan dengan Pembentukan perundang-undangan, serta beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan, dan pendapat para pakar.
2.                Pendekatan Masalah
Sesuai dengan tipe penelitian yang dilaksanakan maka dilakukan  juga beberapa pendekatan hukum sebagai berikut :
a.              Pendekatan doktrinal18 (doctrinal Approach), dengan penekanan pada aspek doktrin atau ajaran atau teori dan asas dan lain-lain disekitar Hukum Pemerintahan. Pendekatan doktrinal dipergunakan untuk menganalisa berbagai kebijakan Yang ada dalam Peraturan perundangan.
b.             Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), yaitu dengan mengamati berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembentukan peraturan daerah.
3.            Sumber dan Jenis Bahan Hukum
Sesuai dengan jenis penelitiannya, maka pada penelitian ini akan menggunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari :
a.         Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
b.         Bahan Hukum Sekunder
Bahan-bahan hukum sekunder ini adalah dapat berupa buku-buku, teori dan pendapat atau komentar-komentar ilmiah para sarjana, yang dimuat dalam artikel-artikel, jurnal-jurnal hukum, dari media masa (koran, majalah, dan sebagainya) maupun media elektronik (internet).
c.         Bahan Hukum Tersier
Bahan Hukum Tersier adalah bahan-bahan hukum yang dimaksudkan untuk menjelaskan bahan-bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, indeks, dan ensiklopedia serta yang lain-lain.
Untuk menunjang penelitian ini, maka akan dilakukan juga pengumpulan beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Bantul serta wawancara ringan sehubungan dengan pembentukan Pearaturan Daerah di Kabupaten Bantul.
4.            Teknik Pengumpulan dan Penelusuran Bahan Hukum
Mengumpulkan dan menginvetarisir segala bahan hukum baik primer, skunder, maupun tersier, serta beberapa Peraturan Daerah. Pengumpulan bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan Snow Ball Method, dengan menggunakan alat bantu kartu kutipan (card system) berdasarkan pengarang/peneliti (subjek) maupun tema ataupun pokok masalah (objek).
5.            Analisa Bahan Hukum
Dalam menganalisa sumber bahan hukum menggunakan analisis dengan pendekatan deduktif yaitu berangkat dari kerangka teori yang umum untuk selanjutnya dikorelasikan dengan kenyataan-kenyataan obyektif. Dan bahan-bahan hukum dianalisis dengan menggunakan teknik interpretatif, evaluatif, dan argumentatif. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis bahan hukum yaitu dengan:
a.          Memilih ketentuan-ketentuan dari peraturan-peraturan  yang berisi kaedah hukum yang berhubungan dengan kebijakan Otonomi Daerah dan perundang-undangan di Indonesia.
b.         Menyusun sistematika dari ketentuan-ketentuan tersebut sehingga menghasilkan interpretasi  tertentu.
c.          Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis dan dievaluasi dengan kenyataan-kenyataan obyektif.
d.         Pada akhirnya hasil evaluasi dan analisa tersebut berguna untuk menarik asas-asas hukum yang terkandung di dalamnya.     
Dengan analisis tersebut akan diketahui kesesuaian antara peraturan perundang-undangan (das sein) dengan kenyataan yang ada (das sollen).



























DAFTAR PUSTAKA


Attamini, A. Hamid, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato PengukuhannJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, 25 April 1992

Fadjar, A. Mukhtie, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, InTRANS, Malang 2003

Hadjon, Philipus M., Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (makalah) 1994

Indrati, Maria Farida Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Penerbit Kanisius, Cet. 11, Tahun 2006

Kusumaatmadja, Mochtar, “ Pemantapan Cita Hukum dan Asas-asas Hukum Nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah Jakarta 1995

Latief, Abdul, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta 2005

Mahfud, Moh. M.D., Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Manan, Bagir, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan     Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,  Pustaka Sinar Harapan Jakarta,1996, hlm.46     

Marbun, S.F., “Menggali Dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia”. UII Press,Yogyakarta,2001, Halaman 203

Ndraha, Taliziduhu, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997

Rosidi, Ranggawijaya, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia, Penerbit, Mandar Maju, Bandung, 1998

Soemantri, Sri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 1992



1 . Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan, Penerbit Kanisius, Cet. 11, Tahun 2006, Hal. 102
2 A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, InTRANS, Malang 2003, hal.9
[2] A. Hamid Attamini, Teori Perundang-Undangan Indonesia, Pidato PengukuhannJabatan Guru Besar Tetap Fakultas Hukum UI, 25 April 1992, hal.8
[3] Abdul Latief, Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah, UII Press, Yogyakarta 2005, hal.16
[4]  Mochtar Kusumaatmadja, “ pemantapan cita hukum dan asas asa hukum nasional di Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, Makalah Jakarta 1995, Hal.1
[5] A. Hamid Attamini, Op.cit., Hal.8
[6] Philipus M. Hadjon, Ide Negara Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (makalah) 1994, Hal.4
[7] Sri Soemantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, 1992, hal. 8
[8] Maria Farida Indrati Soeprapto, Op. Cit, hal. 91
[9] Ranggawijaya Rosidi, Pengantar Ilmu perundang-Undangan Indonesia, Penerbit, Mandar Maju, Bandung, 1998, hal 98.
[10]  ibid
12 Bagir Manan, Politik Hukum Otonomi Sepanjang Peraturan     Perundang-Undangan Pemerintah Daerah,  Pustaka Sinar Harapan Jakarta,1996, hlm.46       
13 Rosjidi  Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1998, Halaman 43-4
14 S.F. Marbun, “Menggali Dan Menemukan Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik Di Indonesia”. UII Press,Yogyakarta,2001, Halaman 203
15 Moh. Mahfud.M.D.,Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999, Halaman 4
16 Maria Farida Indrati, op. cit, Hal. 99
17 Taliziduhu Ndraha, Metodologi Ilmu Pemerintahan, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, ha. 22
18 Menurut Soetandyo Wignyosoebroto, penelitian hukum doktrinal adalah penelitian- penelitian atas hukum yang dikonsepkan dan dikembangkan atas dasar doktrin yang dianut sang pengkonsep dan atau sang pengembangnya. Di Indonesia metode doktrinal ini terlanjur secara lazim disebut sebagai metode penelitian normatif, untuk melawankan dengan metode penelitian yang dikatakan terbilang empiris (yang alam literatur internasional disebut penelitian non doktrinal), Op Cit, hal 145-146

Tidak ada komentar:

Posting Komentar